Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Egosentris Manusia dalam Animal Farm Karya George Orwell

ilustrasi orang berjalan (pexels.com/Tamar Willoughby)

Manusia tidak pernah melayani siapa pun kecuali dirinya sendiri”, begitu kutipan yang tertulis dalam Animal Farm karya George Orwell di halaman 8 yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Pernyataan tersebut mampu memberikan lebih dari satu penafsiran dari sudut pandang yang berbeda tentunya. Penafsiran sederhana yang kuterima adalah bahwa manusia memang egois.

Setelah membaca pernyataan itu, nyatanya aku banyak merenung lagi, sampai pada kesimpulan bahwa pernyataan itu ada benarnya. Hal yang kutekankan dari pernyataan itu adalah kata-kata “melayani dirinya sendiri”. Kata-kata tersebut menyinggung aspek egoisme, bukan. Maka, muncullah pertanyaan di kepala “Apakah berarti tidak ada hubungan yang benar-benar tulus?

Hubungan timbal balik antarmanusia menjadi kondisi yang mendukung kutipan Animal Farm karya George Orwell. Hubungan timbal balik merupakan hubungan yang saling memengaruhi dan berbalas.

Aku berteman denganmu karena diuntungkan dengan hal itu, begitu juga sebaliknya. Hubungan persahabatan ini berjalan baik karena kita sama-sama mendapatkan manfaat dari masing-masing pihak. Hubungan persahabatan ini berjalan baik karena kita menerapkan konsep take and give. Kalau hanya aku yang memberi tanpa kamu melakukannya, aku yang dirugikan, maka aku memilih pergi untuk memperoleh keuntungan dari orang lain. Bukankah gambaran kasarnya seperti itu?

Dalam konteks buku Animal Farm, Tuan Jones–seorang pemilik peternakan binatang yang bernama Peternakan Manor–bersedia mengurus binatang-binatang yang ada di peternakan bukan semata-mata karena dia berhati baik dan penyayang, melainkan karena dia bisa memperoleh keuntungan darinya, mendapatkan uang, menikmati makanan yang lezat, menjalani kehidupan yang layak. Bukankah manusia pun demikian? Bukankah peternak pada umumnya pun demikian?

Untuk bertahan hidup, manusia butuh egois, manusia tidak bisa selamanya tertindas dan rugi. Bahkan, jika kata tulus itu merujuk pada banyak pengorbanan, dukungan, dan pengertian yang mendalam, bukankah berarti masih ada sedikit alasan keuntungan mengapa seseorang mau melakukannya.

Dengan kata lain, seseorang tidak benar-benar berkorban tanpa alasan tertentu yang membuatnya merasa diuntungkan, sekecil apa pun keuntungan itu. Tidak ada pengorbanan murni tanpa alasan. Tindakan yang terlihat tulus dan penuh pengorbanan pun pada dasarnya didorong oleh suatu harapan maupun keinginan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Seorang pasangan mau berkorban untuk pasangannya karena ia telah memberikan kebahagiaan dan kenyamanan (ada keuntungan di sini). Seorang ibu rela berkorban untuk anaknya karena ia mampu mendapat kebahagiaan setelah melahirkannya atau di banyak kasus ibu juga punya impian besar untuk anaknya (ada keuntungan di sini). Seorang anak rela berkorban untuk orang tuanya karena ia telah mendapat kasih sayang, dibesarkan, diberi makan, diberi tempat tinggal (ada keuntungan di sini).

Berbicara tentang egoisme, terdapat konsep yang dicetuskan oleh Max Stirner. Max Stirner merupakan seorang filsuf abad ke-19 asal Jerman yang populer dengan pandangan radikal tentang individu serta masyarakat melalui konsep egoismenya.

Dalam artikel jurnal berjudul “Manusia Egois: Max Stirner” yang ditulis oleh Kembaran Banyumas dan diterbitkan pada tahun 2024, disebutkan bahwa berbeda dengan pemahaman umum mengenai egois sebagai keegoisan yang berlebihan, Stirner memandang individu sebagai "Sang Unik", yakni entitas yang bebas dari segala belenggu dan pendefinisian. Konsep itu memberikan pemahaman bahwa seorang egois adalah orang yang punya kebebasan. Konsep manusia egois Stirner menuntut seseorang agar berkuasa atas dirinya sendiri, sebagaimana Stirner dengan tegas mengatakan “Tidak ada yang lebih bagiku kecuali diriku sendiri!”.

Namun, Sang Unik dalam teori egoisme Stirner bukanlah seseorang yang tidak punya hati dan belas kasihan. Sang Unik tetap memiliki hal tersebut selagi itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Ketika individu merasakan penderitaan orang lain, tetapi tidak karena menguntungkan dirinya sendiri, individu tersebut telah gagal menjadi Sang Unik.

Dengan kata lain, seseorang tetap diperbolehkan memiliki belas kasihan terhadap orang lain selama hal tersebut untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri. Begitu juga mereka dapat bekerja sama demi kepentingan bersama selama tetap menguntungkan bagi masing-masing pihak, tidak serta-merta mengisolasikan diri dari masyarakat. Inilah yang disebut Stirner sebagai Union of Egoists.

Dalam artikel jurnal tersebut, penulis menegaskan bahwa titik tolok dari filsafat Max Stirner tentang manusia egois ialah seorang individu yang dalam hidupnya bisa menciptakan nilainya sendiri tanpa melihat nilai-nilai yang dianut oleh orang lain. Dengan kata lain, Stirner menekankan pada kebebasan individu untuk memilih tindakannya sendiri.

Teori egoisme Stirner kemudian sejalan dengan pemahaman bahwa sifat egoistis manusia tidak selalu buruk karena individu juga perlu mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Setiap orang memang memiliki sisi egois dalam diri mereka, yang membedakan adalah kadarnya. Dalam konteks ini, egoistis merupakan sifat yang wajar, hal yang perlu disadari ialah tidak memunculkannya secara berlebihan. Egoisme yang berlebihan justru berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain.

Benar memang “Manusia tidak pernah melayani siapa pun kecuali dirinya sendiri”. Walaupun kita sering diajarkan untuk tidak menjadi orang yang egois, tetap saja egoistis adalah sifat yang melekat dalam diri manusia, tetap saja ada dorongan untuk bertahan hidup dan memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Riani Shr
EditorRiani Shr
Follow Us