Kenangan Indah dalam Tradisi Nyadran Sebelum Ramadan

Tradisi Nyadran bukan hanya sekadar ritual keagamaan

Sebagai seorang anak kecil yang tumbuh di desa kecil di Jawa Tengah, setiap bulan Ramadan selalu menjadi momen yang istimewa dan penuh kenangan bagi saya. Salah satu tradisi yang paling saya nantikan adalah Nyadran, sebuah ritual yang dijalankan oleh masyarakat setempat untuk menghormati para leluhur.

Setiap bulan Ruwah, yang jatuh pada bulan Sura dalam penanggalan Jawa, desa kami selalu dipenuhi dengan kesibukan persiapan untuk Nyadran. Ayah, ibu, dan keluarga besar biasanya akan sibuk menyiapkan berbagai macam hidangan khas Jawa, seperti nasi kuning, ayam ingkung, sayur lodeh, dan aneka jajanan tradisional. Mereka juga mempersiapkan sesaji berupa bunga, dupa, dan kemenyan yang akan dibawa ke makam leluhur atau ditaruh di dalam rumah.

Di beberapa desa, tak jarang penduduknya akan mengadakan pagelaran wayang kulit 2–3 hari secara terus-menerus dan banyak penjual-penjual mainan atau makanan berkumpul di sekitarnya untuk menjajakan dagangannya. Tentu momen ini begitu saya nantikan, yang saat itu masih belum tahu betul makna puasa Ramadan sesungguhnya. Momen Nyadran ini begitu dinanti karena sepupu-sepupu saya yang tinggal jauh dari rumah nenek, biasanya akan berkumpul dan melaksanakan tradisi Nyadran bersama-sama sehingga rumah nenek yang sehari-harinya sepi jadi begitu riuh ramai akan sepupu dan saudara jauh yang datang.

Sebagai anak kecil yang polos dan penuh semangat, saya selalu antusias untuk ikut serta dalam tradisi Nyadran. Bersama dengan keluarga dan tetangga, kami berangkat menuju pemakaman desa yang dipenuhi oleh kuburan-kuburan nenek moyang kami. Di sana, banyak penduduk desa lain yang melaksanakan hal yang sama, berkumpul dan mendoakan leluhur yang meninggal.

Kami mulai meletakkan sesaji di depan masing-masing makam, sambil berdoa dan mengenang jasa-jasa serta kebaikan para leluhur. Meskipun saya masih kecil, namun saya bisa merasakan keheningan yang menyelimuti suasana, serta rasa hormat dan penghargaan yang mendalam kepada mereka yang telah tiada.

Setelah menyelesaikan ritual ziarah kubur, kami berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk melaksanakan salat dan membaca doa bersama. Kepala desa biasanya memberikan pengajaran-pengajaran agama dan nasihat-nasihat bijak kepada kami, yang membuat saya merasa lebih dekat dengan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal.

Setelah salat dan doa selesai, saatnya untuk menikmati hidangan lezat yang telah disiapkan oleh keluarga. Kami duduk bersila di tikar yang telah disediakan, sambil berbagi cerita dan tawa dengan tetangga-tetangga kami. Suasana kebersamaan dan kehangatan begitu terasa di tengah malam yang gelap. Masuk jam 9 malam, pagelaran wayang kulit mulai digelar dan penduduk desa biasanya berkumpul ke balai desa untuk menonton pagelaran wayang kulit hingga keesokan harinya.

Tradisi Nyadran gak hanya meninggalkan kenangan indah dalam ingatan saya, tetapi juga mengajarkan saya tentang pentingnya menghormati leluhur, menjaga tradisi, dan mempererat hubungan antar anggota masyarakat. Meskipun saya kini sudah dewasa dan tak lagi melakukan tradisi Nyadran karena merantau, namun saya selalu menyimpan kenangan manis tentang momen-momen bersama keluarga dalam tradisi yang penuh makna ini. Tradisi Nyadran telah membentuk bagian dari identitas dan kehidupan saya sebagai seorang Jawa, yang selalu saya banggakan dan lindungi.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Kehangatan Berbuka Puasa di Pelosok Provinsi Jambi

Topik:

  • Siantita Novaya
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya