[OPINI] Antara Demian, Persekusi, Hingga Kebencian Tak Berkesudahan

Mengapa seseorang mudah memperlihatkan benci dan caci maki?

Belum lewat satu hari perayaan hari lahir Pancasila dirayakan begitu spesial, ternyata banyak yang masih gagal paham tentang arti menghargai, arti sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Beramai-ramai orang di dunia maya saling menunjukkan bahwa mereka memiliki Pancasila. Setelah itu? Tidak ada.

Mengapa begitu mudah bagi seseorang untuk memperlihatkan benci juga memulai caci maki? Apakah pekerjaan dunia nyata sungguh sudah habis untuk dilakukan? Apakah waktu begitu tidak berarti sehingga nyinyir terhadap hidup orang lain, bahkan ideologi menjadi masif untuk diperbincangkan?

Ketika seorang gadis belia bernama Afi “menelanjangi” pemikiran orang dewasa, maka tuduhan berdatangan padanya. Entah, ia benar melakukan plagiarisme atau tidak, tidakkah pemikiran Afi juga jawaban-jawaban cerdasnya mengenai toleransi bisa membuka mata juga hati kita terkait masa depan negeri?

Mata dari seorang Asa Firda Inayah membuktikan bahwa ada bagian bangsa ini yang tidak siap dikritik, tidak siap bangkit, dan terkurung kenangan masa lalu. Afi berusaha menjelaskan. Namun, semakin tajam ia berujar, semakin giat ada yang menggugat. Seandainya Afi tidak lantas tenar, para pencemooh seperti kehilangan gairah.

Belum genap 24 jam, lima sila sakti didengungkan dengan pasti, luka anak negeri kembali mengurai hati. Persekusi, kata ini kembali bangkit dan banyak dipahami setelah sebelumnya seperti “kata mati”. Pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas, arti persekusi yang kini menjadi sorotan.

Terpampang dengan jelas di media sosial, bagaimana kekerasan yang dominan verbal ini dilakukan oleh sekelompok orang atas remaja 15 tahun Putra Mario Alfian. Putra Mario mendapat perlakuan ini karena statusnya yang dinilai memuat pelecehan, penghinaan, dan entahlah.

Pemandangan bertabur kebencian, terutama di dunia maya sangat bebas dilakukan. Entah siapa yang memulai, harus ada yang berani mengakhirinya. Jika tidak, generasi ini akan mendapat tontonan kekerasan setiap hari, ujaran kebencian menjadi “biasa”, serta hukuman yang tidak pasti untuk setiap yang terlibat. Setelah sebelumnya ada kasus dokter Fiera Lovita.

Berpendapat di dunia maya sama kejamnya dengan lisan dalam dunia nyata. Keduanya siap memberi pedang atau sanjungan. Tulisan sama tajamnya dengan lidah, begitu juga sebaliknya.

Tak hanya polisi, hakim, jaksa, ormas, setiap perguliran kasus, yang paling menyakitkan adalah komentar netizen. Entah, mereka muncul dari belahan langit yang mana, setiap kalimatnya seakan membuat mendidih, memelihara benci, hingga niat membui benar-benar murni.

Kebencian, bukan hanya sekadar ujaran, melainkan penggugatan. Ada yang berseberangan dibenci, dicaci, hingga permaslahan pribadi kadang ikut memberi bukti. Apakah dengan menyampaikan kebenaran, lantas seseorang bisa menjadi musuhmu? Benar-benar menjadi musuh? Bukankah kebenaran itu yang seharusnya dilihat lebih dalam, lebih lekat, dan dihayati?

Yang paling memilukan adalah komentar warga Indonesia terkait aksi Demian Aditya yang menggugah dunia di ajang American’s Got Talent. Masih ada dalam barisan komentar itu kalimat nyinyir dan kebencian. Bisakah para haters ini tidak melihat sisi buruk, melainkan sisi baik bagi mereka yang berjuang untuk Indonesia?

Tidakkah menjadi angin segar ketika Demian begitu menggoda dunia di tengah Indonesia yang terus mendebat? Dimana Aku dan Kamu yang disebut memiliki Pancasila dan satu Indonesia itu? Yang terlanjur benci akan melihat tulisan ini menjijikkan. Biarlah.

Demian dikatakan penipu? Bukankah menipu adalah keahlian seorang pesulap? Yang ditipu bukan jutaan uang rakyat, pasukan pendemo penggerak isu sara, melainkan mata, pandangan, imajinasi, juga halusinasi. Tidak banyak yang memiliki keahlian itu. Tidak banyak. Demian berlatih, hingga akhirnya ia siap. Mungkin juga istrinya juga berlatih. Berlatih untuk menerima kemungkinan paling buruk dari pertunjukan itu. Jangan nyinyir langsung menyebutnya berlebihan atau mengaitkannya dengan masa lalu Demian.

Bagi kaum nyinyir yang suka merendahkan dan memandang sebelah mata, Demian, Afi, dokter Fiera, juga orang-orang yang menjadi korban kebencian yang masif, menjadi contoh bahwa hidup di negeri bhinneka tunggal ika tak melulu soal yang sama. Harus banyak ikhlas, menggali diri meski dicaci, jangan menyerah. Mereka akan paham pada masanya nanti. Hidup yang tidak dipertaruhkan, maka tidak akan pernah dimenangkan. 

Kebencian memang tumbuh liar. Kebencian tidak memiliki tuan, namun siap membangun pasukan yang menguasai hati. Apakah benci lantas jadi hobi? Dimana Pancasila sakti, Indonesia kini, jika generasinya ramai membenci?

Sejauh itu Demian melangkah banyak yang memberi dukungan. Sebab ia pantas, ia membanggakan dan semoga bisa jadi jalan “menjual” Indonesia. Ia melakukannya demi sebuah pencapaian yang tidak berhak kita hakimi. Cukup bangga. Itu saja cukup.

Menebar kebencian apalagi membiarkannya liar bertolak belakang dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila yang baru saja memberi kita libur sehari. 72 tahun Pancasila bergema, jangan dibiarkan menua sia-sia.

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya