Tidak Ada yang Spesial dalam "Si Doel The Movie” Kecuali Mak Nyak

Biasa saja...

Tidak ada yang spesial dalam film “Si Doel The Movie” kecuali Mak Nyak yang tetap berakting di usia senja dalam kesehatannya yang tak kunjung membaik. 

Saya adalah salah satu fans berat sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebab ceritanya lantang, natural, dan sangat dekat dengan kenyataan. Saya ingin datang ke bioskop hari pertama atau kedua penanyangan, namun niat itu saya urungkan. Sebab gempa yang terus melanda Bali membuat saya takut-takut berani melangkah ke gedung tinggi.

Akhirnya, tiket di tangan, meski gempa sesekali ikut menggoyangkan. Di antara penonton yang sudah tua (melihat diri saya juga begitu), penonton yang pasti punya kaitan dengan sinetron Si Doel Anak Sekolahan, saya menelan kekecewaan. Film Si Doel the Movie tak memberikan apa-apa. Entah silinder saya yang bertambah atau apa, saya melihat bagian-bagian film itu nyaris blur.

Pengambilan gambarnya banyak yang mubazir, tak berarti. Ceritanya sama sekali tidak matang. Jauh berbeda dengan cerita sinetronnya yang justru lebih berkualitas. Setidaknya kisah Doel sang tukang insinyur bisa menjadi ilham bagi mereka yang percaya bahwa pendidikan bisa membawa perubahan berarti bagi kehidupan.

Pendidikan itu bisa mengubah hal-hal yang sederhana jadi luar biasa. Bagi mereka yang tidak percaya dengan sekolah tinggi, pendidikan tinggi, yang tidak akan membawa kebaikan atau kemujuran dalam hidup, bisa terpatahkan. Si tukang insinyur seperti Doel memiliki kepercayaan bahwa kesuksesan itu tidak instan.

Ada proses berdarah-darah yang harus dilalui. Ia yang ingin sukses harus menelan ludah hinaan yang begitu pahitnya. Nasihat Babe Sabeni yang masih saya ingat yang terus berdengung di setiap lamunan Doel bahwa “Hidup itu harus jujur. Apalagi yang dipunya orang-orang miskin seperti kita, kecuali kejujuran. Hidup jujur siapa tahu bawa mujur” .

Sinetron Si Doel Anak sekolahan ini masih tayang di RCTI dan bisa dibandingkan ceritanya. Walaupun wajah Doel tetap tak berubah, sendu, merana, tak pernah bahagia, di filmnya sangat terkesan ada banyak hal yang hilang. Apa yang ingin disampaikan oleh Doel di layar kaca? Bukankah Si Doel sudah menjadi anak gedongan, lalu mengapa tiba-tiba jadi miskin lagi sehingga tak bisa menemui Sarah yang kala itu lari darinya? Ah...saya benar-benar tak paham apa yang ingin disampaikan dalam film yang katanya karya emas Rano Karno. 

Banyak review menyatakan bahwa kehadiran Mandra menyelamatkan wajah film ini. Menurut saya, Mandra pun tidak begitu baiknya menyampaikan segala kekonyolannya seperti waktu di Si Doel anak Sekolahan. Saya hanya terbahak saat Mandra meminjam tas sekolah cucunya (anak si Atun) untuk dibawa ke Belanda, sementara cucunya diminta membawa buku yang diikat dengan tali rafia. Ah, ini benar-benar lucu. Selebihnya, tidak ada yang spesial. Joke-jokenya hanya mengisi kekosongan durasi.

Tentang cinta segitiga Sarah, Doel, dan Zaenab, inilah persoalan yang akan dibahas Rano Karno yang sepertinya akan membuat film kelanjutannya. Ingatlah bang Doel, sikap tidak tegasmu membuat lemah kaum laki-laki. Ini sangat menonjol ketika Doel tidak bisa tegas yang selalu terombang-ambing karena wanita. Kesan ingin membahagiakan tim Sarah sekaligus tim Zaenab akan jadi malapetaka. Bukankah salam hidup ini sangat wajar jika ada hal-hal yang kita inginkan tidak selalu kita dapatkan? Cinta segitiga yang tidak segar lagi.

Oh ya...narasinya. narasi saat di Museum Tropen Belanda Doel bertemu lagi dengan Sarah setelah 14 tahun terpisah...ah sungguh mentah. Narasinya kaku. Sama sekali tak mencerminkan bahwa Rano pernah berjaya dalam sinetron. Inilah yang saya katakan bahwa Si Doel the Movie seolah menjauh dari kenyataan-kenyataan. Sarah seperti tahu tentang segala reaksi yang akan Doel lakukan.

Balik lagi soal hati Doel yang berubah-ubah seperti membosankan. Dalam sinetronnya, saya lebih menyukai kisah Mandra, Karyo, Atun, Nyak Rodiya, bahkan lebih senang jika Engkok Tile yang muncul. 

Doel the Movie juga harusnya jadi teladan bagi orangtua untuk mengasihi anaknya. Seharusnya. Tapi, lihatlah ekspresi Doel ketika melihat Dul kecil di hadapannya. Doel sebagai ayahnya tidak melalukan apapun, lalu menyalahkan anaknya yang tidak sopan karena terlalu lama tinggal di luar negeri.

Waktu makan bersama, waktu tengah malam, Doel sama sekali tak memulai berkomunikasi. Takut, merasa bersalah, bahagia, senang, bangga, sama sekali tak nampak dari Doel. Ia lebih kelihatan goblok, planga plongo, seperti bukan karakter seorang insinyur atau orang yang berpendidikan. Wah, bapak macam apa ini. 

Film Si Doel the Movie harusnya bisa jadi nostalgia yang membahagiakan, mengenang hal-hal baik. Tapi, justru menyesatkan, membingungkan. Seperti hanya ingin sekadar hadir saja begitu kesan yang saya tangkap.

Tak ada yang spesial dalam film karya emas ini kecuali Mak Nyak yang tetap menunjukkan kualitas akting prima di tengah kebutaan dan kelumpuhannya. Kehadiran Mak Nyak masih sangat membantu menghadirkan sosok ibu bijaksana, sosok ibu peneduh bagi anak-anaknya yang termakan zaman. Sehat selalu Mak Nyak!

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya