Main Meriam Bambu, Alis Terbakar Gosong

Cerita Ramadan dari masa ke masa

Yogyakarta, IDN Times – Hari terakhir di bulan Ramadan selalu mendatangkan rasa yang nano-nano, beragam. Ada rasa bahagia, karena Alhamdulillah, kita sudah sampai di penghujung bulan suci yang selalu dinanti umat Islam yang beriman kepada Allah SWT. Tuntas sudah ibadah menahan lapar dan dahaga seharian, salat tarawih bersama keluarga ataupun teman, bahkan seraya merenung sendirian di akhir malam.

“Wah, mulai besok bisa menikmati kopi di pagi atau siang hari ini,” itu antara lain yang tak terucap. Namun menyeruak dalam hati, perasaan haru dan sedih yang menyergap. Kapan lagi merasakan nikmatnya makan sahur bersama keluarga, duduk di sekeliling meja makan dengan wajah mengantuk dan muka kucel. Beribadah bersama. Yang rajin mengaji sampai khatam Al Qur’an. Ada yang melewatkan sebagian bulan Ramadan di Masjidil Haram di Mekah, dan Masjidil Nabawi di Madinah. Indah.

Cerita Ramadan saya pun beragam. Kali ini saya bagikan empat pengalaman menjalani bulan Ramadan.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Lepas Masa Lajang Jalani Puasa Pertama Bersama Istri

1. Main meriam bambu usai salat tarawih, kenangan manis masa kecil di bulan Ramadan

Main Meriam Bambu, Alis Terbakar GosongTv

Saya melewatkan masa kecil, sejak kelas 1 Sekolah Dasar, di kota Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Ayah saya bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri di sana. Praktis saya dan adik-adik melewatkan masa SD di sana. Di awal masa tinggal di kota itu, pertengahan tahun 70-an, kami tinggal di kawasan Brangbiji, tak jauh dari bandara. Ayah menyewa rumah itu sebelum kami mendapatkan rumah di Tengah kota, yang disediakan kantor.

Rumah itu  cukup luas di tengah perkampungan masyarakat lokal. Di belakang rumah ada sungai yang airnya cukup jernih. Pulang sekolah, biasanya saya dan adik buka seragam, makan siang, lantas ‘nyebur” berendam di sungai yang dangkal.

Di bulan Ramadan, sore jelang buka puasa saya mengaji, di rumah seorang ustaz. Bayaran untuk Pak Ustaz adalah sebotol minyak tanah setiap pekan. Tambahannya, kami para murid bergiliran menimba air dari sumur untuk mengisi bak kamar mandi Pak Ustaz. Perlu trik tersendiri memastikan bahwa ember yang diikat dengan tali terbuat dari ban yang kami julurkan ke sumur, bisa menyerok air dengan penuh. Namanya masih anak-anak, seringkali ember kosong, karena kami kurang bisa “mengendalikan” ember. Kerjaan jadi lebih lama.

Sesudah buka puasa dengan keluarga dan salat tarawih, tiba saat yang menyenangkan. Main meriam bambu. Meriam dibuat dari bambu, dan diujungnya dilengkapi semacam kain yang digulung, dicelupkan ke minyak tanah, untuk disulut api dari korek api. Kami ambil posisi bergoler posisi tunduk di got kering depan rumah. Mirip posisi prajurit saat perang, yang kita lihat di film-film. Lalu dengan gaya membidik, meriam bambu ditiup, sehingga apinya menyala. Blar!...alis saya pernah terbakar karena percik apinya menyambar ke wajah. Pedih. Gosong. Kenangan tak terlupakan.

2. Ketika kuliah, saling kirim makanan menjadi simbol kepedulian antar teman dan pacar

Main Meriam Bambu, Alis Terbakar GosongRektorat Institut Pertanian Bogor. (Dok/Kampus Merdeka)

Pertengahan tahun 1980-an saya kuliah di Institut Pertanian Bogor (kini Bogor Agricultural University). Bulan Ramadan tetap kuliah, tetap ujian bahkan di akhir pekan. Bedanya, malam hari tidak ada responsi atau pelajaran tambahan yang biasanya diberikan dosen muda atau asisten dosen.

Saya indekos di Jalan Malabar No 1, persis di depan gerbang kampus pusat IPB di kawasan Baranangsiang. Alasan praktis, menghemat ongkos, karena ke ruang kelas jaraknya cuma jalan kaki 5 menitan. Tradisi Ramadan saat kuliah adalah saling kirim takjil, hidangan pembuka makanan sebelum makan berat saat buka puasa. Teman-teman sesama mahasiswa banyak yang pandai membuat takjil, lalu menjualnya. Rata-rata melakukannya berkelompok, ada yang masak, dan ada yang mengirimkan. Kemasan sederhana, dibungkus plastik.

Yang menarik adalah kartu yang menyertai, dibuat dengan bahan karton manila, warna-warni. Bentuknya beragam, bahkan ada yang digunting bentuk hati. Love. Nah, kita bisa menitipkan ucapan untuk yang dikirimi takjil. Bisa untuk teman, pacar (yang ini biasanya pakai kartu bentuk hati), atau pengirim merahasiakan identitas, semacam secret admirer, pengagum gelap hahaha. Seru kan. Kadang dari kata kunci di ucapan, kita bisa menduga ini yang pengirim si anu. Saya punya pacar saat kuliah, jadi cukup sering menerima kiriman takjil. Lumayan.

3. Kerja di TV meliput arus mudik jelang Lebaran, seraya tetap berpuasa Ramadan

Main Meriam Bambu, Alis Terbakar GosongArus mudik di wilayah Prambanan, Sleman, Selasa (9/4/2024). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Bagi yang bekerja di TV atau pernah bekerja di TV, pasti merasakan pengalaman ini. Meliput arus mudik, biasanya H-7 sebelum Lebaran dan H+5 sesudah lebaran. Ini yang saya alami saat bekerja di TV (TV7 dan ANTV). Meskipun posisi saya sudah pimpinan, saya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk turun ke lapangan, menengok tim redaksi yang sedang berjibaku meliput arus mudik.

Liputan ini berat. Teman-teman melakukannya seraya berpuasa. Medannya panas terik. Rasa haus tak terkira. Sebelum era perangkat portable untuk TV live report tersedia, tim bekerja dengan belasan orang. Ada reporter, presenter lapangan, juru kamera, produser, juru teknik, juru pencahayaan (kan ada laporan malam hari juga), manajer unit yang merangkap bagian keuangan, sampai ke penjaga keamanan. Kami ke lapangan membawa minimal 3 mobil termasuk mobil SNG (Satellite News Gathering) dengan piringan besar untuk sinyal satelit.

Biasanya titik liputan ada di dermaga penyeberangan Merak ke Bakaheuni, Lampung dan (dulu, tahun 1990-an, di Pantura dan daerah Nagrek). Pusat kemacetan saat mudik dan arus balik. Saat menengok tim, biasanya kami buka puasa bareng di restoran terbaik yang dekat dengan lokasi. Perbaikan gizi. Karena biasanya menu teman-teman cukup sederhana, nasi bungkus. Yang sudah bosan bahkan lebih suka beli mie ayam pinggir jalan. Kasihan sih. Terima kasih perjuangan melayani informasi bagi khalayak media.

4. Tantangan menulis selama 30 hari di bulan Ramadan, mencoba produktif

Main Meriam Bambu, Alis Terbakar Gosongilustrasi Ramadan (pexels.com/Thirdman)

Baca Juga: Cerita Ramadan: Tempus Tergiur Duit hingga Cari Modal Beli Kaset Game

Bulan Ramadan bagi pemimpin redaksi seperti saya, dipenuhi undangan buka puasa dari relasi. Sehari bisa dua sampai tiga undangan. Kemacetan Jakarta membuat biasanya maksimal saya hanya bisa hadir di dua acara, lainnya diwakili teman, apakah wakil pemimpin redaksi atau editor/redaktur/produser. Masalahnya, mereka pun mendapat undangan buka puasa juga. Macet parah Jakarta juga jadi alasan mengapa tidak semua undangan buka puasa bisa saya penuhi. Tahun ini, Ramadan 2024, saya sempat ke luar negeri untuk urusan pekerjaan, program Kementerian Luar Negeri, sehingga lebih dari sepekan tak bisa memenuhi undangan buka puasa dari narasumber dan relasi. Maaf ya

Nah, meskipun energi lebih terkuras di bulan Ramadan, karena hari lebih panjang dalam beraktivitas, mulai pagi sampai malam, ada masa di mana saya mencoba menantang diri saya untuk menulis selama 30 hari puasa Ramadan. Obyek tulisan adalah acara buka puasa bersama. Di acara yang saya hadiri, ada pembicara. Tidak hanya soal agama dan hikmah puasa, melainkan juga tema ekonomi kerakyatan, politik, demokrasi, dan lainnya.

Kalau tidak ada pembicara secara khusus, saya memanfaatkan momen buka puasa untuk bertanya satu-dua hal ke orang yang hadir. Atau menuliskan kisah di balik layar buka puasa di rumah para elit. Temanya bisa apa saja, termasuk soal fesyen dan makanan. Yang ringan-ringan. Catatan Ramadan ini saya muat di blog pribadi unilubis.com. Selain dari acara buka puasa bersama, yang saya tulis juga dari pengalaman lain selama Ramadan.

Ternyata tidak mudah ya untuk konsisten menulis selama 30 hari, hal-hal yang sumbernya bukan dari jumpa pers atau siaran pers. Saya harus kreatif memikirkan ide dan sudut pandang tulisan. Proses ini bagian dari mengumpulkan memori, kenangan melewati bulan Ramadan, pada suatu  masa.

Bagaimana dengan Cerita Ramadan teman-teman? Semoga mendapat berkah Ramadan ya.

Selamat menyambut Idulfitri 2024, Maaf Lahir Batin

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya