Melihat Jokowi Tangani COVID-19 dari Konsep Paradoks Stockdale

Boleh optimistis, tapi harus realistis

Jakarta, IDN Times – Lewat akun Twitter-nya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkicau, “Agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemik ialah kesehatan dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, kita sudah me-restart ekonomi.  Kesehatan tetap nomor satu.” 

Cuitan itu diunggah pada 7 September 2020, Pukul 14.39 WIB.

Sampai tulisan ini dibuat, kicauan di akun dengan 14 juta pengikuti itu di Re-Tweet oleh  1.466, di Re-Tweet dengan kutipan oleh 2.513 dan disukai 13 ribuan kali.

Akun @fajaranugerah mengomentari kicauan itu dengan, “COBA DARI FEBRUARI, PAAAAK.” Dimuat pada 7 September Pukul 14.52 WIB.

Beberapa berkomentar bahwa mestinya cuitan, yang dibaca sebagai kepedulian presiden itu, terlambat diunggah enam bulan. Pada 2 September ini, genap enam bulan pandemik COVID-19 di Indonesia. Terhitung dari 2 Maret 2020, saat presiden mengumumkan kasus pertama positif virus corona.

Ada yang mengomentari dengan memuat kembali cuitan @jokowi pada 17 Februari 2020, yang isinya, “Saat daya saing pariwisata meningkat dari tahun ke tahun, wabah virus korona terjadi di Tiongkok. Salah satu yang sedang kita pertimbangkan untuk mengantisipasi dampak wabah ini ke pariwisata kita adalah pemberian insentif untuk wisatawan, termasuk bironya.”

Setelah berjalan enam bulan, belum nampak kapan kurva pandemik di Indonesia bakal turun. 

Juru bicara pemerintah urusan COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan, kasus aktif di Indonesia berada di bawah rata-rata dunia. Indonesia memiliki kasus aktif sebesar 24,4 persen atau 48.847 kasus, sedangkan tingkat dunia rata-rata 25,47 persen.

Dalam jumpa pers di kantor presiden pada Selasa (8/9/2020), Wiku menyampaikan zona risiko tinggi (merah) naik menjadi 70 daerah dari sebelumnya 65 daerah. Zona risiko sedang (oranye) naik jadi 267 daerah dari 230 daerah, sedangkan risiko rendah (kuning) turun jadi 114 daerah dari 151 daerah.

Persentase kesembuhan di Indonesia 71,5 persen dibandingkan rata-rata dunia 71,26 persen.  Kasus meninggal dunia ada 8.230 kasus atau 4,1 persen, sementara angka rata-rata dunia 3,26 persen. 

Wiku membeberkan, dalam seminggu terakhir, kasus positif naik 18,6 persen dari sebelumnya 18.625 kasus menjadi 22.097 kasus. “Kenaikan kasus ini tertinggi di Bali, naik 100 persen, Sulawesi Selatan  naik 84,4 persen, Riau naik 68,5 persen, DKI Jakarta naik 31 persen dan Jawa Tengah naik 19,6 persen,” kata dia.

Saya kutip ucapan Wiku dari laman Setkab.go.id bahwa lima provinsi dengan persentase kematian tertinggi adalah Jawa Timur (7,14 persen), Jawa Tengah (7,06 persen), Bengkulu (6,65 persen),  Sumatera Selatan (5,95 persen) dan Nusa Tenggara Barat (5,9 persen)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun khawatir dengan perkembangan COVID-19 di Jakarta. Dalam sepekan positivity rate Jakarta mencapai 13,2 persen. 

“Mengapa mengkhawatirkan? Karena kapasitas rumah sakit ada batasnya. Apabila jumlah yang membutuhkan perawatan makin hari makin banyak di atas kemampuan kapasitas rumah sakit dan tenaga medis, maka kita akan menghadapi masalah besar,” ujar Anies kepada jurnalis, Rabu (9/9/2020).

Di berbagai daerah laporan soal makin kecilnya ketersediaan tempat tidur dan ruang isolasi untuk pasien COVID-19 bikin tambah miris. Di Bali bahkan okupansi kamar di RS rujukan hampir 100 persen. Padahal, Bali sempat dianggap anomali, karena sebagai daerah tujuan wisatawan asing, kasusnya sempat relatif kecil, yaitu 88 kasus pada pertengahan April. Jurnalis John McBeth menulis ini di laman asiatimes.com, dengan judul “Bali’s mysterious immunity to Covid-19”.

Dalam webinar APINDO, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung kearifan lokal obat herbal. Dia mencontohkan jus herbal dari buah Manggis yang diproduksi di Surabaya dapat menyembuhkan ribuan orang.  Arak dari Bali diklaim dapat menyembuhkan COVID-19.

“Gubernurnya mengatakan ada herbal daerah. Minum arak dari mereka. Entah benar atau tidak, saya dukung saja,” ucap Luhut.

Gubenur Bali I Wayan Koster mengaku banyak pasien yang sembuh setelah konsumsi arak Bali. Bahkan mengklaim 80 persen pasien sembuh karena perlakuan ini. Selasa (8/9/2020), 12 orang meninggal dunia karena COVID-19. Total jumlah yang meninggal di Pulau Dewata gara-gara virus laknat ini ada 128 orang.

Klaim yang optimistis bahwa pandemik COVID-19 bisa dikendalikan datang dari pusat dan daerah. Sikap yang menular. 

Baca Juga: Luhut: Banyak Hal Aneh Dibuat Indonesia, Orang Asing Sebut Kita Bohong

Melihat Jokowi Tangani COVID-19 dari Konsep Paradoks StockdalePresiden Jokowi melakukan peninjauan kesiapan TNI dan Polri dalam penerapan 'New Normal' di sarana transportasi dan perniagaan, Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan Mal Sumarecon Bekasi, Selasa (26/5) (setkab.go.id)

Ini yang kita amati sejak awal pandemik. Gembar-gembor akan undang wisatawan asing bahkan siapkan insentif, padahal negara lain sejak Januari-Februari sudah menyiapkan diri untuk pandemik.

Pada Mei lalu, Jokowi minta kurva pandemik turun. “Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai target yang kita berikan, yaitu kurvanya harus sudah harus turun.  Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apapun,” kata Jokowi saat membuka rapat paripurna kabinet yang disiarkan lewat YouTube Sekretariat Presiden pada 6 Mei 2020.

Pada Mei 2020, pemerintah mulai gencar sosialisasikan konsep “New Normal” yang diartikan membuka kembali kegiatan ekonomi dengan menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Alasannya, kita tetap harus produktif setelah warga termasuk di ibu kota menjalani dua periode Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini yang dipilih ketimbang lockdown alias karantina wilayah.

Mal kembali dibuka. Jokowi bahkan berkunjung ke Mal Summarecon di Bekasi pada Sabtu 26 Mei 2020, meskipun para ahli dan epidemiologi mengatakan pandemik belum mereda, dan membuka kegiatan ekonomi yang berpotensi mengundang kerumunan bukan solusi tepat.

Kemudian, pada 13 Juli 2020, Jokowi meramalkan puncak kasus COVID-19 bakal terjadi Agustus hingga September.

Ekonomi Indonesia alami kontraksi, selaras dengan melonjaknya kasus virus corona. 

Klaster tercipta di mana-mana, mulai dari klaster kegiatan ibadah, klaster instansi pendidikan, klaster keluarga, klaster pemerintah daerah, klaster perkantoran, dan yang paling anyar tak kalah mengerikan, klaster pilkada.

Pada 3 September 2020 Menteri Kelautan dan Perikatan Edhy Prabowo terinfeksi COVID-19. Politikus Partai Gerindra ini menjadi menteri kedua yang terpapar virus setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 14 Maret 2020 lalu.

Tengoklah jejak sikap pemerintahan yang dipimpin Jokowi ini, yang juga diresonansi oleh pemimpin daerah lainnya. Dinamika sikap dan kebijakan menggambarkan kegamangan, bahkan setelah enam bulan pandemik.

Tak heran posisi Indonesia kini ada di peringkat ke-79 negara yang aman soal COVID-19, sebagaimana dilansir The Deep Knowledge Group yang mengumpulkan data dari berbagai instansi termasuk Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit menular (CDC) Amerika Serikat menerbitkan peringatan level tiga dan merekomendasikan tidak berkunjung ke Indonesia.

Negeri kita dianggap tinggi risiko penularan penyakit. Malaysia juga melakukan hal yang sama, begitu pula sejumlah negara.

Yang muncul sejak awal adalah pernyataan yang tidak berbasis sains, penyangkalan, dan sikap simpang-siur. Sikap optimistis yang berlebihan, padahal fakta di lapangan korban jatuh makin banyak. Dokter dan tenaga kesehatan gugur. Mereka yang jadi benteng terakhir pertahanan melawan COVID-19 mengalami kelelahan mental.

Sementara disiplin masyarakat makin sulit ditegakkan karena mereka sudah “terkurung” enam bulan, penghasilannya drop bahkan hilang, dan merasa kehilangan panduan dari para pemimpinnya.

Yang sedang terjadi di pemerintahan ini adalah apa yang disebut sebagai The Stockdale Paradox. Sikap optimistis yang “buta”, tidak berdasarkan realitas dan fakta yang ada.

Paradoks Stockdale adalah konsep yang dikenalkan oleh penulis Jim Collins dalam bukunya, Good to Great.

Collins mewawancarai James Stockdale, mantan kandidat persiden  AS, perwira AL veteran perang Vietnam dan pernah ditahan lebih dari tujuh tahun di sana. Stockdale alami penyiksaan saat jadi tahanan perang, dan berhasil melaluinya.  Pengalaman mengerikan yang dia alami dan bagaimana dia berhasil melaluinya dalam keadaan hidup, menjadi awal dari lahirnya konsep Paradoks Stockdale.

Stockdale menjelaskan pengalaman hidupnya sebagai berikut: 

"You must never confuse faith that you will prevail in the end — which you can never afford to lose — with the discipline to confront the most brutal facts of your current reality, whatever they might be." 

Intinya, Stockdale mengingatkan bahwa optimistis itu boleh, tapi jangan sampai mengaburkan fakta-fakta brutal dari realitas yang ada.

Stockdale yakin bahwa dia akan berhasil menjalani penyiksaan dan keluar hidup-hidup dari penjara di Vietnam. Lalu Collins bertanya, “jika demikian, siapa yang tidak  berhasil melewati situasi itu?”. Stockdale menjawab, ”mereka yang optimistis!”.

Collins bertanya lagi, karena belum mengerti. Stockdale bilang, “Mereka yang optimistis. Mereka yang berkata, ‘Kita akan keluar sebelum Natal.’ Natalnya lewat, namun mereka masih belum keluar (dari penjara). Mereka akan optimistis kembali, ‘Kita akan keluar sebelum Paskah’, lalu Paskah berlalu tapi mereka belum keluar, terus saja seperti itu sampai mereka meninggal karena kecewa.”

Singkatnya, Paradoks Stockdale adalah sikap mental kita boleh saja berharap yang terbaik, tetapi jangan lupakan dan siapkan diri untuk kejadian yang terburuk.

Ketika pemerintahan ini sibuk melontarkan pernyataan anggap remeh, terlalu optimistis soal virus tidak akan sampai ke Indonesia, lantas tingkat kematian virus ini rendah, virus akan sembuh sendiri, sehingga “enjoy aja”, pandemik akan mereda Mei, Juni, Juli, bahkan September, padahal dasarnya adalah data yang tidak akurat, maka kalau menurut versi Paradoks Stockdale ini adalah optimistis “buta”.

Mengapa data belum jadi jaminan? Karena sampai saat ini tingkat testing, tracing dan treatment masih jauh dari harapan dan standar WHO.  Selain itu, data yang diumumkan setiap hari, bukanlah gambaran riil saat itu, melainkan terlambat bisa sampai 5-7 hari. 

Baca Juga: Begini Susahnya Tes Swab COVID-19 di Puskesmas Jakarta dan Sekitarnya

Melihat Jokowi Tangani COVID-19 dari Konsep Paradoks StockdaleIlustrasi tes usap atau PCR Test. IDN Times/Irfan Fathurohman

Pengalaman tim IDN Times menjajaki uji usap dengan PCR, di Puskesmas di Jabodetabek, hasilnya baru diketahui 7-10 hari.

Bagaimana kita bisa mengambil keputusan yang tepat, dan menyampaikannya secara yakin, padahal data dasarnya tidak akurat? Apakah presiden mendapat masukan informasi yang benar?

Maka yang harus dilakukan adalah bersiap menghadapi fakta-fakta brutal, bahwa kondisi infrastruktur kesehatan kita kembali kritis saat ini, seperti awal pandemik. Berhentilah mengumbar janji, dan fokus menangani masalah di depan mata. Termasuk janji soal vaksin.

Sebelum sampai ke vaksin, cek dulu benarkah 320 laboratorium di bawah 12 lembaga siap dengan sumber daya manusia yang cukup? Apakah semua Puskesmas dan RS dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang cukup? Apakah tenaga kesehatan diberikan dukungan kesehatan mental dan kesempatan istirahat? 

Apakah tes cepat alias Rapid Test masih efektif untuk menyeleksi kasus? Apakah perlu segera lakukan tes massal dengan uji usap PCR di zona merah?

Apakah koordinasi antara pejabat di Satuan Tugas COVID-19 sudah solid dan lancar? Apakah komunikasi publik COVID-19 dilakukan secara kredibel dan tepat sehingga dipatuhi warga? Apakah sikap mempercayai influencer lebih tepat dibandingkan mengajak para ahli, termasuk dokter, untuk kampanye publik ini?

Apakah perlu mengganti pejabat yang terbukti tidak berhasil mengendalikan pandemik ini? Apakah mementingkan membuka ekonomi dan pariwisata sudah tepat? Apakah pilkada perlu ditunda atau pelanggar protokol COVID-19 harus ditindak tegas, tidak hanya ditegur dan diimbau? Apakah perlu lakukan karantina mikro secara ketat? Kalau gak suka istilah lockdown ya.

Ini fakta-fakta brutalnya, yang penting dijawab dan dijalankan segera. Bisa?

 

Baca Juga: 100 Negara Paling Aman Soal COVID-19, Indonesia Peringkat Berapa?

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Anata Siregar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya