Lunturnya Permainan Tradisional Anak-anak di Pedesaan

Permainan tradisional anak-anak perlu dilestarikan

Bermain erat kaitannya dengan anak-anak. Apalagi anak-anak yang sedang di tahap fase pertengahan sampai fase akhir (menginjak awal remaja), yaitu kisaran umur 6 - 12 tahun. Usia masa anak-anak di sekolah dasar merupakan masa yang sangat menyenangkan, masa yang sedang berkembang dan rasa ingin tahu yang lebih, serta mulai mengenal berbagai macam pengetahuan baru di lingkungannya. Oleh karena itu, keaktifan dan kekreatifan anak sedang di asah-asahnya dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kesehariannya. Salah satunya dengan permainan-permainan yang diperkenalkan terhadap anak. Dalam hal ini permainan tradisional menjadi media untuk belajar sambil bermain yang menyenangkan.

Namun, apakah di era digital sekarang masih bisa ditemukan permainan tradisional yang dimainkan anak-anak di pedesaan? jawabannya mungkin masih ada atau bahkan tidak ada sama sekali, karena sulit sekali untuk menemukan anak-anak yang bermain permainan tradisional. Banyak anak-anak di pedesaan, tetapi intensitas untuk bermain bersama sudah jarang ditemukan. Mereka hanya bertemu di sekolah. Lantas setelah pulang sekolah mereka melanjutkan aktivitas di rumahnya masing-masing dengan bermain gawai. Suasana pedesaan yang dulunya setelah salat duhur, setelah salat asar ramai dengan suara anak-anak yang sedang asik bermain bersama-sama, kini mulai senyap tanpa suara. Hanya kokokkan ayam, suara kendaraan yang lalu lalang mengisi kesunyian yang melanda.

Dulu di pedesaan seperti tempat saya tinggal (Adisana, Kab. Brebes), sebelum mengenal gawai, anak-anak desa pasti akan bermain permainan tradisonal sesuai musimnya. Misalnya musim bermain dongkrakan (egrangan) pasti semuanya akan membuat dongkrak untuk bermain bersama, bermain gobak sodor, cingcotan (lompat tali), jimprakan (engklek), layangan, gambaran, nekeranan (bermain kelereng) dan masih banyak lagi permainan tradisional lainnya yang biasanya dimainkan sesuai musimnya. Kegiatan bermain akan dilakukan setelah pulang sekolah misal sehabis duhur atau sambil menunggu giliran mengaji. Nanti setelah mengaji pulang ke rumah dulu untuk salat asar di mushola, mandi sore, dan melanjutkan bermainnya bersama kawan-kawan di lapangan. Namun, berbeda di era sekarang, semua hari sama tidak ada musim-musiman permainan, karena sudah tergantikan oleh gawai.

Hasil analisis Internet World Stats and Populations Statistics (2017) mencatat per 30 Juni 2016 bahwa Indonesia termasuk peringkat 5 (lima) pengguna internet terbesar di dunia. Jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 132.700.000 orang dari total penduduk Indonesia saat itu berjumlah 258.316.015 orang atau dengan tingkat penetrasi 51,4 %. Melihat hal tersebut artinya hampir setiap hari masyarakat di Indonesia menjadikan internet dan gawai sebagai aktivitas keseharian mereka termasuk anak-anak. Tidak heran apabila perlahan-lahan permainan tradisional di pedesaan semakian menghilang.

Penggunaan gawai yang hampir merata di seluruh pelosok pedesaan, membuat anak-anak mempermudah aksesnya untuk mendapatkan pengetahuan baru hanya dengan genggamannya mereka. Ditambah game online yang semakin merajalela membuat anak-anak semakin tidak mengenal permainan tradisional. Mereka nyaman dengan permainannya yang serba instan, tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga untuk bergerak, cukup duduk dan jari-jemarinya yang bekerja. Sangat mudah, namun banyak pengaruhnya. Tidak ada yang mempertanyakan apa itu engrangan? Apa itu bola bekel? Mereka hanya tahunya mabar.

Pengaruh pemakaian gawai terhadap anak-anak lebih berdampak negatif daripada positifnya. Anak-anak mudah terpancing emosi, dia akan semakin malas terhadap belajarnya, dan yang bahaya bisa terindikasi kecanduan gawai. Anak yang suka bermain gawai jiwa sosialnya akan sulit untuk ditumbuhkan karena kurangnya interaksi dengan kawan-kawan di lingkungan sekitarnya, sehingga bisa menyebabkan sifat acuh tak acuh dalam diri mereka. Gawai memang alat komunikasi untuk mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat pula. Melihat hal tersebut, realitanya dunia ini semakin sempit, dunia maya semakin meluas. Lantas apakah selamanya kita akan hidup dan bergaul seutuhnya dalam dunia maya?

Baca Juga: [OPINI] Kendalikan dan Kuasai Diri Sendiri Lewat Filosofi Stoisisme

Via Maria Photo Writer Via Maria

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya