[OPINI] Belajar Menghargai Pikiran Terbuka dari Afi Nihaya

"Begitu bahayakah keinginan untuk mengajak berpikir?"

Afi Nihaya Faradisa bangkit dari duduknya setelah ditanya perubahan apa yang sudah dia lakukan untuk Indonesia oleh salah satu peserta Talkshow Kebangsaan di Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Senin (29/5). “Jangankan saya,” sambar Afi sesaat setelah penanya duduk, “para profesor yang duduk di depan saya ini sudah membuat perubahan apa?” Jawaban retoris yang sontak membuat seisi aula bersorak-sorai.

Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto yang turut hadir dalam acara tersebut terlihat masih bisa tertawa dari tempat duduknya.

Pada talkshow bertajuk “Saya Indonesia, Saya Pancasila” itu, ratusan orang yang terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis, hingga guru SD datang untuk mendengar sudut pandang remaja yang memiliki nama asli Asa Firda Inayah ini. (Ya, nama penanya adalah anagram. Cerdik!)

Mereka semua –termasuk Afi sendiri– datang karena memiliki niat yang sama: menjaga kemajemukan Indonesia.

Afi, yang berasal dari sebuah desa di Banyuwangi selatan, mengaku bahwa menulis dan membaca adalah kegemarannya sedari kecil. Dari kegemaraannya inilah dia rajin mengutarakan pendapat dan menuliskannya di laman Facebook. Tulisan berjudul Warisan muncul dari keresahan dan kegeraman akan situasi bangsa saat ini.

Baca juga: [OPINI] Demokrasi Takkan Membiarkan Satu Agama Berkuasa Atas Agama Lain

Afi menjelaskan bahwa Warisan merupakan hasil pengamatannya melihat keadaan di sekitarnya. Ide utama dari Warisan bukanlah hanya untuk menunjukkan keragaman suku, agama, atau ras yang ada di Indonesia namun soal warisan turun temurun dari aspek-aspek hidup teresbut.

[OPINI] Belajar Menghargai Pikiran Terbuka dari Afi NihayaFisipol UGM

“Warisan kan bisa kita dapatkan baik dari turun-temurun atau kita cari sendiri. Turun-temurun atau pilihan sendiri, apakah kita punya hak untuk menyalahkan?”

Saat disinggung soal tulisannya yang mengundang reaksi beragam di masyarakat, Afi mengaku mengapresiasi semua feedback baik yang pro maupun kontra. Dia juga menghargai sanggahan salah seorang netizen bernama Gilang Kazuya Shimura beberapa waktu lalu. Dengan adanya feedback, Afi merasa tujuannya menulis tercapai, yakni mengajak orang untuk berpikir. 

Untuk itulah dia menambahkan kalimat ”Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir” di akhir Warisan.

Afi menyangkal tudingan bahwa tulisan-tulisannya dapat menimbulkan perpecahan baru. Justru, menurutnya, dia menulis untuk mengajak orang berpikir.

“Jika mengajak berpikir dianggap memecah persatuan? Saya angkat tangan, gak tahu mau jawab apa. Begitu bahayakah keinginan untuk mengajak berpikir?”, ujarnya.

Perempuan muda yang bercita-cita jadi psikolog ini malah akan merasa usahanya jadi sia-sia, jika ternyata mengajak banyak orang untuk berpikir dengan pikiran terbuka untuk menerima perbedaan malah membawa perpecahan.

Begitu bahayakah keinginan untuk mengajak berpikir?

Di akhir diskusi, Afi mengajak generasi muda untuk aktif memberi kontribusi demi perubahan ke arah yang lebih baik dengan berpikiran terbuka. “Jangan ragu untuk menuliskan atau mengutarakan apa yang kamu pikirkan. Semua orang punya hak, jika kamu tidak punya teman dekat maka di luar sana pasti ada yang berpikiran sama sepertimu,” tutupnya.

Asa Firda Inayah mungkin masih berusia belasan namun banyak hal yang bisa kita –para generasi yang lebih “dewasa”– pelajari darinya.

 

Baca juga: [OPINI] Apa Makna Sebenarnya Hari Kartini Bagi Para Wanita Indonesia?

Topik:

Berita Terkini Lainnya