Petaka Sekeluarga Keracunan Urap, Gak Lagi-Lagi Lebaran di Rumah Sakit

Jadi terkenal seantero RS gegara sekeluarga keracunan urap

Pernah gak terkenal seantero rumah sakit gegara satu keluarga dirawat karena keracunan? Aku pernah.

Kejadiannya circa 2011. Suatu sore di pekan terakhir Ramadan, adikku pulang magang dengan membawa beberapa bungkus urap yang dibelinya dari pedagang musiman sekitar 3 km dari rumah. Mama tergiur melihat urap di sana, sebab beberapa hari lalu sempat lewat, tapi gak kesampaian membelinya.

Kebetulan, hari itu ada paman kami, adik dari mama, yang datang ke rumah dan memutuskan buka puasa bersama. Singkat cerita, mama, ayah, paman, aku, dan dua adikku makan bersama urap tersebut selepas Magrib. Lahap hingga ludes tanpa sisa.

Saat makan, kami sama sekali tak merasakan kejanggalan, seperti bau atau rasa aneh apa pun sebenarnya. Namun keesokan harinya waktu sahur, satu per satu dari kami mulai sakit perut dan bolak-balik ke kamar mandi.

Awalnya, kami mengira mungkin hanya karena masuk angin atau kondisi badan yang sedang gak fit. Tapi ketika aku muntah-muntah dan pusing, kami mulai merasa ada yang tidak benar. Apalagi, di antara kami semua hanya kakak sulung kami yang baik-baik saja. Dia satu-satunya yang tidak ikut buka puasa di rumah, karena masih di kantor kemarin sore.

Kecurigaan kami pada urap semakin kuat, sebab hanya itu yang kami makan bersama-sama kemarin. Kami pun menanyakan kondisi paman di rumahnya dan ternyata, ia juga merasakan gejala serupa.

Meski begitu, kami sekeluarga masih mencoba untuk tetap melanjutkan puasa, berharap semua gejala mereda setelah minum obat diare menjelang Imsak. Namun nyatanya, yang terjadi seharian, sungguh mengerikan.

Selepas Subuh, hanya kakak kami yang melanjutkan aktivitasnya seperti biasa, yaitu pergi kerja ke kantor. Aku dan adik-adik sudah libur kuliah dan sekolah, karena 2 hari lagi Lebaran. Begitu juga dengan ayah.

Kami pun tidur lagi, karena tubuh terasa lebih lemas dari biasanya. Berharap membaik, kami malah tepar dan tidur sepanjang hari.

Karena pusing, aku terbangun lalu hendak meminta izin pada mama karena tak kuat lagi puasa. Saat keluar kamar, rumahku ternyata masih gelap dan sunyi sekali padahal matahari sudah tinggi. Aku pun membuka jendela dan gorden sebelum pergi ke kamar orangtuaku.

Kalian tahu? Betapa terkejutnya aku mendapati mama yang masih tidur dan ayahku yang tergeletak di depan kamar mandi. Aku berkali-kali mengecek untuk memastikan dan syukurlah, dia benar-benar hanya tidur, bukan pingsan.

Aku membangunkan ayahku dan memintanya naik kembali ke tempat tidur. Sambil agak mengigau, ayahku mengaku ternyata masih bolak-balik kamar mandi dan karena lemas, memutuskan tidur di bawah. Saat itu aku sadar, kami sedang tidak baik-baik saja. Aku pun mengecek kamar adik-adik, kondisi mereka gak jauh berbeda.

Melihat situasinya, aku akhirnya membatalkan puasa dengan meminum Pocari Sweat yang dibeli kakakku kemarin sore. Aku juga meminta semua orang untuk membatalkan puasa terlebih dulu, karena kondisi kami sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkannya. Semua orang hanya minum air putih dan memutuskan untuk kembali meringkuk di tempat tidur saking lemasnya. Karena kondisiku paling mendingan, aku pun mengirim pesan pada kakakku dan mengatakan bahwa kami sedang sakit.

Kami juga sangat beruntung, karena tiba-tiba tante kami datang ke rumah. Beliau dan suaminya ingin mengambil kue akar kelapa yang sudah dibuatkan mamaku kemarin. Mereka sontak berseru kaget melihat semua orang dalam kondisi tak berdaya.

Tanpa basa-basi, kami diboyong ke mobil untuk pergi ke rumah sakit. Ketika itu, aku pun menyadari ternyata bukan ayahku yang paling parah sakitnya, melainkan adik bungsu kami. Dia sampai menceracau, gak mengenali omnya sendiri dan berkali-kali memanggilnya dengan sebutan ayah.

Kami semua pun dilarikan ke IGD yang sudah sepi, tentu saja karena sebentar lagi Lebaran. Entah karena Pocari yang aku minum atau apa, hanya aku yang diperbolehkan untuk tidak dirawat lantaran kondisiku jauh lebih baik dari semua orang. Aku dan kakak kemudian berbagi tugas. Aku menjaga ayah yang ruang rawatnya terpisah sendiri, sementara kakakku akan menjaga ibu dan kedua adikku di kamar yang sama.

Kabar soal satu keluarga yang dirawat karena keracunan urap pun menyebar cepat seantero rumah sakit. Setiap kali aku mengobrol dengan orang lain dan cerita tentang sakit keluargaku, orang-orang langsung tahu, "Oh, yang keracunan urap itu!"

Bahkan, aku sampai terkejut, karena tiba-tiba teman-teman kampusku muncul di kamar kami tanpa pemberitahuan sama sekali. Mereka bilang, orang-orang di bagian informasi langsung memberi tahu di mana kami dirawat setelah mereka menyebut, "Yang sekeluarga keracunan urap, Mbak." Sungguh ketenaran yang memalukan!

Ini pertama kalinya dalam hidupku merayakan Idul Fitri di rumah sakit. Dan untuk pertama kalinya juga, hanya aku dan kakakku yang bisa menunaikan salat Ied. Pagi itu, di halaman RS Polri Kramat Jati, di antara para dokter, perawat, staf, dan sejumlah keluarga pasien lain, aku menengadah ke langit, berdoa agar gak lagi-lagi Lebaran di rumah sakit.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Ikut Mudik Gratis saat Lebaran Ternyata Bikin Encok

Topik:

  • Zahrotustianah

Berita Terkini Lainnya