[OPINI] Bagaimana Survive sebagai Terlapor Pasal Karet UU ITE?

Penting, berjejaring bersama sesama korban untuk menguatkan

Tak ada yang menginginkan terlibat persoalan hukum, termasuk sebagai terlapor pasal dengan presentase tipis untuk lolos dari jeratannya.

Sejak kelahiran UU Informasi Transaksi Elektronik pada tahun 2008 dan direvisi pada 2016, menurut organisasi pembela hak digital, SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), telah ada 381 korban terjerat pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2). Sembilan puluh persen korban terkena pasal karet dengan tuduhan pencemaran nama baik, sepuluh persen sisanya karena ujaran kebencian.

Pasal ini disebut karet, karena hanya orang-orang berduit, memiliki jabatan dan aparat yang menggunakannya untuk melaporkan pihak yang tak disukai. Korban berada di posisi lemah, karena menghadapi kasus untuk mengaburkan persoalan sebenarnya.

Seperti kasus terbaru menimpa Ibu Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia menjadi korban pelecehan seksual, tapi dilaporkan menyebarkan percakapannya dengan mantan kepala sekolahnya. Padahal rekaman percakapan kepala sekolah dengannya dibuat karena merasa tergangu dengan curhatannya dan mengarah ke pelecehan seksual.

Kini, setelah kasus dilaporkan pada 2012, berselang enam tahun, Mahkamah Agung melalui putusan kasasi menghukum Ibu Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta, subsider 3 bulan berdasar putusan Nomor 574 K/PID.SUS/2018 tertanggal 26 September 2018.

Beberapa langkah di bawah ini mungkin tak bisa menyelamatkan korban, setidaknya memberikan harapan sesama korban untuk tegak berjuang dan melawan ketidakadilan. 

Saya menulis ini sebagai terlapor Pasal 27 ayat (3) UU ITE 19/2018 atas berita yang saya tulis terkait dugaan plagiat rektor sebuah kampus negeri di Kota Semarang yang kini kasusnya masih bergulir di Polda Jawa Tengah.

1. Berjejaring dengan sesama korban

[OPINI] Bagaimana Survive sebagai Terlapor Pasal Karet UU ITE?Pexels/rawpixel

Paguyuban korban UU ITE (Paku ITE) terbentuk pada tahun 2016, dengan inisiator SAFEnet bersama korban seperti Prita Mulyasari (penyintas Paku ITE) yang kasusnya menyita perhatian nasional. Entah pertanda apa, korban yang bergabung dalam Paku ITE dari tahun ke tahun bertambah hingga kini mencapai 381 orang.

Mungkin senang, karena bergabungnya korban ini menguatkan satu sama lain, sedangkan adanya korban menunjukkan pasal karet masih terus bekerja mengancam kebebasan berekspresi dan merengut hak digital.

Paku ITE telah secara resmi terbuka untuk publik setelah pertemuan di Bali pada 4 November 2018 di Bali. Mereka tak lagi berkutat pada kasusnya, tapi saling mengadvokasi dengan instrumen yang dimiliki seperti media sosial dan jejaring media. Mereka bisa disapa di twitter @pakuite yang baru saja lahir dari rahim kebebasan berekspresi.

Kenapa penting tergabung support group? Sederhana saja alasannya, karena musuh yang dihadapi bukan orang sembarangan. Bersatu agar kuat dan tidak kalah menghadapi kasus. Boleh saja percaya diri menang dalam pertempuran, tapi tanpa strategi, perlawanan mudah terpatahkan. Bersatu ini menjawab pertanyaan mengapa rakyat kerap kalah melawan kesewenang-wenangan, karena solidaritas tercerai-berai dan dilemahkan oleh pihak yang menginginkan.

2. Menggalang dukungan publik

[OPINI] Bagaimana Survive sebagai Terlapor Pasal Karet UU ITE?Dokumentasi Paku ITE

Kasus-kasus UU ITE menyita perhatian publik, karena relasi timpang antara pelapor dan terlapor dan adanya unsur pengaburan substansi persoalan. Dalam bahasa SAFEnet yang telah meneliti kasus-kasus pasal karet UU ITE, pelapor memiliki motif tertentu, seperti balas dendam, membungkam kritik, persekusi kelompok, barter kasus dan terapi kejut. Korban terletak pada posisi lemah menghadapi pelapor yang memiliki 'kekuasaan'. Celakanya, bila pelapor memiliki niat jahat kepada terlapor dengan menggunakan instrumen pasal karet.

Kondisi korban yang lemah dalam arti sesungguhnya, memerlukan dukungan publik melawan kesewenang-wenangan. Bentuknya beragam, dari petisi change.org sampai penggalangan dana kitabisa.com, dari pemanfaatan hashtag di media sosial sampai memanfaatkan jejaring pertemanan dan masyarakat sipil. 

Tidak selamanya berhasil membuat terlapor bebas dari segala tuduhan, nyatanya kasus Ibu Nuril di atas di tingkat pertama putusannya bebas, tapi tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan bersalah. Tak kurang, wakil wali kota Mataram saat itu pun pasang badan untuk penahanan Ibu Nuril. Kini, cara yang sama ditempuh sebagai alat perjuangan membebaskan Ibu Nuril, sekaligus memberi dukungan moral.

Konon, korban itu suci dan pelaku itu kotor. Perumpamaan yang tepat untuk menggalang publik yang masih memiliki nalar dan moral waras dalam melihat ketidakadilan.

3. Mencermati putusan bebas

[OPINI] Bagaimana Survive sebagai Terlapor Pasal Karet UU ITE?Dokumentasi Paku ITE

Kisah bebasnya terdakwa UU ITE membawa angin surga bagi terlapor. Ada celah untuk bebas, meski presentasenya kecil, mengingat sebagian besar terdakwa diputus bersalah. Cerita dari penyintas Paku ITE seperti Prita Mulyasari (Tangerang) dan Ervina Emi Handayani (Yogyakarta) yang selamat melewati lubang jarum pasal karet memungkinkan diambil pelajaran dari sisi litigasi.

Pertimbangan hukum dari hakim menunjukkan tak adanya unsur pidana yang terpenuhi, berpeluang menjadi landasan untuk mengangkat sisi kelemahan pelapor seperti bukan pihak yang dirugikan langsung, penyebaran informasi tak memuat unsur kebencian dan pencemaran nama baik.

Dalam sebuah percakapan, dua penyintas di atas mengajak untuk mendekat kepada Tuhan selama proses hukum berlangsung. Tak ada putusan hukum tanpa campur tangan Tuhan, barangkali mereka hendak menegaskan hakim adalah wakilNya yang memiliki akal dan nurani, tanpa perlu tergoda kepentingan tertentu.

Cara ini mungkin berhasil dengan instrumen pengetahuan hukum yang matang, bukan dari seorang terlapor yang sangat prematur belajar saat kasus menghampirinya. Sekali lagi, terlapor bukan advokat yang baik bagi dirinya, sekalipun dia seorang advokat dalam arti sesungguhnya. Kuasa hukum terlapor memungkinkan berupaya keras menemukan celah dari kasus untuk membantu bebaskan dari tuduhan sesat UU ITE.

Tiga hal ini yang memungkinkan diambil dari perjalanan kasus saya sejak berstatus sebagai terlapor mulai pertengahan tahun sampai saat ini. Mungkin belum sempurna sebagai sebuah tips bertahan dan melanjutkan hidup tanpa memikul beban terlalu berat sebagai terlapor. Minimal sebagai terapi jiwa saya sendiri untuk melawan ketidakadilan atau mungkin mengingatkan untuk mawas diri atas peperangan yang belum jelas pangkalnya. (*)

Baca Juga: Kasus Baiq Nuril, UU ITE Tak Bisa Lindungi Korban Kekerasan Seksual

Zakki Amali Photo Writer Zakki Amali

A man who interest all about book.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya