4 Fakta Ilmiah dari Proses Reproduksi Penyu, Melahirkan di Darat!

- Proses reproduksi penyu dipengaruhi oleh faktor biologis dan lingkungan sekitar, menantang untuk kelangsungan hidup.
- Natal homing: kemampuan penyu betina kembali ke pantai tempat mereka menetas dengan menggunakan medan magnet bumi.
- Suhu pasir bertelur mempengaruhi jenis kelamin tukik yang menetas, perubahan iklim dapat mengancam keseimbangan populasi penyu.
Penyu termasuk salah satu hewan laut dengan siklus reproduksi yang cukup unik dan menarik jika dibandingkan dengan hewan laut lainnya. Proses bertelur hingga menetasnya tukik anak penyu ternyata dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis dan juga kondisi lingkungan yang ada di sekitar, sehingga hal ini membuat keberlangsungan hidup dari penyu termasuk yang cukup menantang.
Walau jumlah telur yang dihasilkan penyu bisa dibilang cukup banyak, namun hal ini tidak menjamin tingkat kelangsungan hidup yang dimilikinya hingga dewasa karena rentan sekali terhadap risiko predator dan juga perubahan lingkungan yang terjadi. Berikut ini merupakan beberapa fakta ilmiah terkait proses reproduksi yang dialami penyu agar bisa semakin meningkatkan kesadaran untuk menjaga populasi mereka agar tetap terjaga.
1. Penyu betina kembali ke pantai tempat mereka menetas untuk bertelur

Salah satu keunikan tersendiri yang terletak pada reproduksi penyu adalah kemampuannya untuk bisa datang kembali ke pantai yang menjadi tempat mereka menetas, sehingga fenomena yang satu ini kerap disebut sebagai 'natal homing'. Penyu betina ternyata menggunakan adanya medan magnet bumi sebagai cara untuk bernavigasi secara alami dalam menemukan kembali pantai tempat kelahirannya, bahkan jika mereka telah mengembara di lautan selama bertahun-tahun lamanya.
Proses yang satu ini menunjukkan bahwa penyu memiliki daya ingat yang luar biasa dan ketergantungan yang cukup tinggi terhadap habitat alami yang dimiliki. Namun, jika tempat mereka dilahirkan telah mengalami adanya kerusakan akibat perubahan lingkungan atau pun bangunan, maka penyu pun akan mengalami kesulitan untuk menemukan tempat yang dirasa aman untuk bisa bertelur.
2. Penyu bertelur di malam hari untuk menghindari predator

Penyu betina biasanya akan mulai naik ke darat pada malam hari agar bisa mulai menggali lubang dan bertelur di area pasir tersebut. Proses yang satu ini kerap dilakukan dalam kondisi yang gelap agar bisa menghindari potensi gangguan yang mungkin muncul dari predator, seperti kepiting, burung, atau mamalia liar yang biasa saja memangsa telur mereka.
Setelah proses bertelur selesai, maka penyu betina tidak memberikan perawatan secara khusus kepada telurnya, namun justru langsung kembali ke laut. Telur tersebut nantinya akan dibiarkan menetas secara alami, sehingga sangat bergantung pada suhu lingkungan untuk menentukan waktu dari perkembangan embrio yang ada di dalam telurnya.
3. Suhu pasir akan menentukan jenis kelamin tukik yang menetas

Ada fakta ilmiah lainnya yang menunjukkan bahwa suhu pasir tempat bertelur ternyata akan sangat mempengaruhi terhadap jenis kelamin dari tukik yang nantinya akan menetas. Jika suhu pasti relatif lebih hangat, maka hal ini akan menyebabkan banyak tukik betina akan lahir, sementara suhu yang lebih dingin akan menghasilkan lebih banyak tukik jantan yang menetas.
Fenomena yang satu ini kerap disebut sebagai Temperature-Dependent Sex Determination (TSD) dan sangat penting untuk bisa memastikan keseimbangan dari populasi penyu. Namun, untuk perubahan iklim dan peningkatan suhu global ternyata bisa menimbulkan adanya ketimpangan jumlah jantan dan betina, sehingga hal inilah yang dapat berpotensi menimbulkan masalah untuk kelangsungan dari spesies tersebut.
4. Hanya sedikit tukik yang bertahan hingga dewasa

Walau seekor penyu betina dapat bertelur hingga ratusan butir hanya dalam satu musim, namun ternyata sedikit tukik yang bisa berhasil bertahan hingga mencapai usia dewasa. Setelah menetas ternyata tukik tersebut harus menghadapi adanya banyak ancaman, seperti pencemaran lingkungan, pemangsa alami, hingga berbagai aktivitas manusia yang berpotensi merusak habitatnya.
Dari ratusan tukik yang menetas mungkin diperkirakan hanya ada satu atau dua ekor yang bisa bertahan sampai dengan dewasa dan berkembang biak kembali. Hal ini menunjukkan bahwa penting sekali untuk memperhatikan upaya konservasi dalam melindungi telur dan tukik, sehingga mereka bisa memiliki peluang yang lebih besar untuk bertahan hidup di habitatnya.
Proses reproduksi penyu ternyata merupakan hal unik dan penuh dengan tantangan. Meski demikian, hanya sedikit tukik yang berhasil mencapai usia dewasa akibat adanya ancaman yang tersebar di alam liar. Penting sekali untuk melindungi habitat penyu dan mengurangi ancaman lingkungan sebagai upaya untuk melindungi spesiesnya sampai di masa mendatang!