4 Fakta Menarik Cape Town, Kota Persinggahan Kapal VOC dari Batavia

- Komunitas Melayu Cape adalah keturunan orang Indonesia yang mempertahankan tradisi budaya, agama Islam, dan bahasa Nusantara di Cape Town.
- Syekh Yusuf al-Makassari, pahlawan nasional di Indonesia dan Afrika Selatan, berperan penting dalam penyebaran Islam dan pendirian pesantren di Cape Town.
- Bahasa Melayu memberi pengaruh pada bahasa Afrikaans, dengan kata-kata seperti "piesang" (pisang) dan "baie" (banyak) berasal dari bahasa Melayu.
Cape Town bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya yang memikat, tetapi juga menyimpan sejarah panjang sebagai salah satu kota penting di jalur pelayaran dunia. Terletak di ujung selatan Afrika Selatan, kota ini pada masa kolonial menjadi titik singgah kapal-kapal dagang yang berlayar jauh dari Asia menuju Eropa, termasuk di antaranya kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang berangkat dari Batavia, pusat perdagangan Belanda di Asia Tenggara.
Hubungan Cape Town dengan Batavia menciptakan cerita unik yang jarang dibahas, mulai dari perannya dalam jalur perdagangan maritim hingga jejak budaya yang masih terasa sampai hari ini. Kira-kira apa saja fakta menarik dari sejarah Cape Town yang berkaitan dengan Indonesia? Berikut ulasannya.
1. Dihuni oleh Cape Malay keturunan orang Indonesia

Salah satu warisan paling nyata dari hubungan antara Cape Town dan Indonesia adalah keberadaan komunitas Melayu Cape atau Cape Malay. Dilansir laman South African History Online, komunitas ini merupakan keturunan orang-orang Indonesia dan Asia Tenggara yang dibawa ke Afrika Selatan oleh VOC pada abad ke-17 dan ke-18. Mereka datang sebagai tahanan politik, budak, dan pekerja yang disingkirkan ke Cape untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pemukiman VOC.
Komunitas ini mempertahankan tradisi budaya, agama Islam, dan bahasa yang berasal dari Nusantara, yang membentuk identitas mereka hingga kini. Komunitas Cape Malay banyak menetap di kawasan Bo-Kaap dengan rumah-rumah berwarna cerah dan kehidupan budaya yang kental. Kawasan ini menjadi pusat budaya dan keagamaan yang menjaga tradisi leluhur mereka, sekaligus menghadirkan warisan budaya Indonesia yang masih terasa kuat di Cape Town hingga saat ini.
2. Syekh Yusuf al-Makassari adalah pahlawan nasional di dua negara

Keberadaan komunitas Cape Malay ini tidak lepas dari peran penting seorang tokoh asal Indonesia, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari. Seorang ulama dan pejuang karismatik dari Sulawesi Selatan ini, diasingkan oleh VOC ke Cape Town pada tahun 1694 setelah perlawanannya yang gigih. Masih dari laman South African History Online, beliau dihormati sebagai pahlawan nasional di Indonesia dan Afrika Selatan, khususnya sebagai simbol perjuangan dan penyebaran Islam di Cape Town.
Selain menyebarkan ajaran Islam, Syekh Yusuf juga mendirikan pesantren dan pusat pembelajaran agama yang menjadi pondasi bagi pertumbuhan spiritual komunitas Muslim Cape Malay. Pesantren ini berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama yang menjaga tradisi keislaman turun-temurun, sehingga makam dan jejak perjuangannya menjadi situs bersejarah yang dihormati hingga kini.
3. Pengaruh bahasa Melayu dalam bahasa Afrikaans

Selain jejak manusia dan tokoh bersejarah, hubungan ini juga meninggalkan warisan linguistik. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca komunitas Muslim dan budak di Cape Town pada masa kolonial VOC. Dilansir laman The Jakarta Post, sejumlah kata dan frasa Melayu diserap ke dalam bahasa Afrikaans yang berkembang di daerah ini, mencerminkan pengaruh budaya yang panjang antara dua wilayah.
Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perantara di antara para budak yang berasal dari berbagai suku. Bahasa ini kemudian menyerap ke dalam bahasa Belanda yang pada akhirnya berkembang menjadi bahasa Afrikaans. Bukti pengaruh tersebut masih bisa ditemukan dalam perbendaharaan kata bahasa Afrikaans modern.
Contohnya termasuk kata seperti "piesang" (pisang) yang jelas berasal dari bahasa Melayu dan "baie" (banyak), yang juga diyakini memiliki akar dari bahasa Melayu. Perluasan kosakata ini menunjukkan bagaimana budaya dan bahasa para budak dari Indonesia tidak hilang, melainkan menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya di Afrika Selatan.
4. Budaya kuliner dan musik yang mirip

Kuliner Cape Malay terkenal dengan cita rasa rempah yang kuat dan mirip dengan masakan Indonesia, seperti bredie (mirip semur), koesisters (kue goreng), dan samosa. Dilansir laman South African, tradisi memasak ini diwariskan oleh leluhur mereka dari Indonesia dan kemudian diadaptasi dengan bahan-bahan lokal, hingga kini membentuk bagian penting dari masakan khas Cape Town.
Tak hanya kuliner, musik tradisional Cape Town yang dikenal sebagai Ghoema dan Klopse juga mencerminkan jejak budaya Melayu. Musik ini memiliki ritme dan melodi yang khas, dimainkan dengan perkusi serta alat musik sederhana, dan biasanya diiringi lirik yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
Selain dikenal dengan keindahan alamnya, Cape Town juga menyimpan sejarah panjang yang terkait jalur perdagangan maritim dunia. Pada masa lalu, kota ini berperan penting sebagai titik persinggahan kapal VOC dari Batavia, dan jejak tersebut masih terasa hingga kini sebagai warisan berharga yang memperkaya identitas Cape Town.