4 Negara yang Pernah Rekrut Raja Asing untuk Pimpin Negaranya, kok Bisa?

- Belgia merekrut raja asing untuk memimpin negara yang baru merdeka demi menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama serta menjaga stabilitas politik.
- Yunani mengundang Otto dari Bavaria sebagai raja pertama untuk membangun era monarki di Yunani setelah meraih kemerdekaan dari Kekaisaran Ottoman.
- Norwegia mengundang Pangeran Carl dari Denmark untuk menjadi Raja Haakon VII setelah pemutusan hubungan dengan Swedia, menandai kembalinya monarki independen di Norwegia.
Kalau biasanya raja naik tahta karena garis keturunan, beberapa negara ini justru mengambil jalan yang tak lazim. Demi menjaga stabilitas, mereka merekrut raja dari luar negeri lewat surat undangan. Keputusan ini bukan sembarangan, melainkan hasil pertimbangan politik yang cukup serius.
Menariknya, para raja yang datang bukan hanya jadi simbol, tapi benar-benar memimpin pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem monarki tidak selalu kaku terkadang justru sangat fleksibel saat negara sedang butuh pemimpin. Penasaran negara mana saja? Yuk, simak daftarnya!
1. Belgia

Belgia pernah mengalami masa ketika mereka memilih raja asing untuk memimpin negara yang baru merdeka. Setelah berpisah dari Belanda pada 1830, para pemimpin Belgia merasa perlu menunjuk sosok netral yang bisa menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama.
Dilansir dari laman Beyond History, proses pencarian raja tidaklah mudah. Beberapa bangsawan lokal sempat dipertimbangkan, termasuk Félix de Mérode, namun menolak. Belgia juga melirik Louis, Adipati Nemours, putra Raja Prancis, tetapi ia menolak pula. Selain itu, Inggris dan perdana menteri Belgia menentang pilihan tersebut karena khawatir akan dominasi Prancis.
Pilihan akhirnya jatuh pada Leopold dari Saxe-Coburg-Saalfeld, seorang pangeran asal Jerman yang memiliki jaringan keluarga luas di Eropa dan dianggap cukup netral. Leopold menerima undangan resmi dan dilantik sebagai Raja Belgia pertama pada 21 Juli 1831, menandai lahirnya monarki konstitusional di negara tersebut.
2. Yunani

Setelah berhasil meraih kemerdekaan dari Kekaisaran Ottoman pada awal abad ke-19, Yunani menghadapi tantangan besar untuk membangun negara yang stabil di tengah konflik internal dan tekanan eksternal. Dilansir dari laman Athens Insider, situasi politik yang kacau serta kebutuhan akan pemimpin yang netral membuat para pemimpin Yunani mencari raja dari luar negeri.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun 1832, Otto dari Bavaria, seorang pangeran muda berusia 17 tahun diundang secara resmi untuk menjadi raja pertama Yunani. Otto diterima dengan penuh harapan sebagai simbol persatuan dan masa depan baru bagi bangsa Yunani.
Kehadiran Raja Otto menandai dimulainya era monarki di Yunani, di mana ia memerintah selama tiga dekade. Menurut laman dari Britannica, Otto pada awalnya memerintah secara otoriter sebelum akhirnya menerima tuntutan rakyat untuk membentuk monarki konstitusional pada tahun 1843.
Meski begitu, masa pemerintahannya penuh gejolak akibat campur tangan kekuatan asing dan ketidakpuasan internal, hingga akhirnya ia digulingkan pada tahun 1862.
3. Norwegia

Pemutusan hubungan dengan Swedia pada tahun 1905 membuat Norwegia dihadapkan pada keputusan penting terkait sistem pemerintahan dan sosok pemimpin yang akan dipilih. Dilansir dari laman Britannica, rakyat Norwegia kemudian menggelar referendum yang menghasilkan keputusan untuk mempertahankan monarki.
Namun, karena tidak ada kandidat lokal yang dianggap cocok, mereka mengundang Pangeran Carl dari Denmark untuk menjadi raja. Pangeran Carl menerima tawaran tersebut dan naik takhta dengan gelar Raja Haakon VII, menandai kembalinya monarki independen di Norwegia setelah berabad-abad.
Raja Haakon VII kemudian dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat dihormati karena sikapnya yang rendah hati dan dedikasinya kepada rakyat. Selama pendudukan Nazi Jerman pada Perang Dunia II, ia menolak bekerja sama dengan rezim pendudukan dan memilih mengasingkan diri ke Inggris, menjadi simbol perlawanan rakyat Norwegia.
Setelah perang usai, Haakon VII kembali ke Norwegia dan memimpin hingga wafat pada tahun 1957, meninggalkan warisan kepemimpinan yang kuat dan dihormati oleh generasi berikutnya.
4. Rumania

Kemenangan Rumania dalam Perang Rusia-Turki (1877–1878) melawan Kekaisaran Ottoman membuka jalan bagi negara ini untuk meraih kemerdekaan dan menegaskan eksistensinya sebagai negara merdeka. Dilansir dari laman Office of the Historian, Rumania yang sebelumnya merupakan gabungan dari dua kepangeranan, Moldavia dan Wallachia, berperan aktif mendukung Rusia dalam perang tersebut.
Pada tahun 1878, melalui Perjanjian Berlin, kemerdekaan Rumania secara resmi diakui oleh kekuatan besar Eropa, sekaligus menandai berdirinya negara Rumania modern.
Setelah kemerdekaan, Rumania mengundang seorang raja asing untuk memimpin negara yang baru berdiri ini. Pada 1866, Pangeran Karl dari Hohenzollern-Sigmaringen diangkat sebagai Domnitor (Penguasa) dan kemudian menjadi Raja Carol I pada saat Rumania naik status menjadi kerajaan pada 1881.
Pilihan terhadap raja asing ini dianggap strategis karena Karl memiliki hubungan keluarga dengan berbagai dinasti Eropa, yang membantu memperkuat posisi Rumania di panggung internasional serta membawa stabilitas politik di tengah tantangan pembangunan negara baru.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam situasi genting, beberapa negara rela mengambil langkah tak biasa demi stabilitas. Merekrut raja asing dari negara lain memang terdengar aneh hari ini, tapi dulu dianggap sebagai solusi terbaik untuk menjaga persatuan dan kekuasaan tetap berjalan.