Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Sahara Barat, Wilayah Kolonial Terakhir di Afrika

potret udara dari kota Laayoune yang ada di Sahara Barat (commons.wikimedia.org/Zakaria Taberkant/Commune of Laayoune)

Sahara Barat merupakan salah satu wilayah yang berada di ujung barat benua Afrika. Tempat ini dihimpit oleh Maroko di utara, Mauritania di selatan dan timur, Algeria di barat laut, serta Samudra Atlantik di barat. Sesuai dengan namanya, Sahara Barat masih masuk dalam Gurun Sahara sehingga sebagian besar hingga seluruh wilayah tempat ini ditutupi oleh gurun pasir.

Kalau dilihat dari peta, Sahara Barat nampak seperti satu negara independen karena memiliki batas wilayahnya sendiri. Namun, sebenarnya, sejauh ini Sahara Barat masih belum diakui sebagai satu negara utuh karena beberapa alasan, lho. Wilayah ini punya sejarah panjang soal pemberontakan, perebutan wilayah, hingga hal-hal menarik lain yang akan dijawab pada pembahasan kali ini. Maka dari itu, agar tidak penasaran lagi, yuk, simak fakta-fakta menarik dari Sahara Barat!

1. Wilayah kolonial terakhir di Afrika, tetapi tidak merdeka

potret Depresi Dakhla, salah satu tempat di Sahara Barat yang ditutupi gurun pasir (commons.wikimedia.org/Vyacheslav Argenberg)

Pada abad ke-15, benua Afrika sudah seperti harta karun bagi negara-negara Eropa. Ada begitu banyak alasan mengapa Eropa mulai melirik Afrika, utamanya karena faktor ekonomi, ideologi atau politik, hingga agama. Maka dari itu, kolonialisasi di sana begitu gencar dilakukan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Memasuki abad ke-20, ada begitu banyak negara baru di Afrika yang berhasil melepas pengaruh kekuatan Eropa yang menjajah negaranya. Nah, sepanjang kurun waktu itu, Sahara Barat jadi wilayah terakhir di Afrika yang berhasil memperoleh kemerdekaan dari penjajahnya.

Dilansir BBC, Sahara Barat sebelumnya merupakan wilayah koloni Kerajaan Spanyol yang diumumkan di Cape Bojador to Cape Blanc pada 1884. Kemudian, pada 1934 wilayah Sahara Barat menjadi wilayah Kerajaan Spanyol yang bernama Sahara Spanyol. Setelah Perang Dunia II, tepatnya 1957, Maroko yang baru merdeka mengklaim kalau wilayah Sahara Barat masuk dalam wilayahnya berdasarkan klaim ribuan tahun lalu.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) coba menyuarakan agar pihak-pihak yang bertarung demi wilayah Sahara Barat, yakni Spanyol dan Maroko, untuk melakukan dekolonisasi di sana pada 1965. Namun, Spanyol baru benar-benar menarik diri dari Sahara Barat pada 1975, di mana kepergian Spanyol tersebut ditandai sebagai kemerdekaan bagi orang-orang di wilayah Sahara Barat dari pemerintahan kolonial Eropa.

Sayangnya, meski pemerintah kolonialnya sudah pergi, secara de facto maupun de jure, Sahara Barat memang masih belum merdeka. Hingga saat ini, masih terjadi perseteruan antara tiga pihak berbeda yang memperebutkan hak atas wilayah tersebut. Ketiganya antara lain Polisario Front, Maroko, dan Mauritania (khusus bagi Mauritania sudah menarik diri dari perebutan wilayah ini pada 1979). Bahkan, PBB melabeli Sahara Barat sebagai wilayah yang tidak memerintah sendiri (non-self-governing territory), dilansir Robert F Kennedy Human Rights.

2. Situasi politik di Sahara Barat terbilang rumit

ilustrasi wilayah yang diperebutkan di Sahara Barat yang ditandai dengan warna ungu dan hijau (commons.wikimedia.org/Adam Hegazy337259)

Dalam penjelasan di atas, rasanya sudah tergambar soal betapa rumitnya situasi politik di Sahara Barat setelah Spanyol pergi dari sana. Maroko jadi pihak pertama yang mengklaim sekitar 80 persen wilayah Sahara Barat sejak 1957, meski saat itu upaya perebutan wilayah digagalkan Spanyol. Namun, kepergian Spanyol pada 1975 ternyata terdapat andil Maroko dalam prosesnya.

Dilansir The Conversation, Pemerintah Maroko melakukan gerakan bernama Green March pada 6 November 1975 dengan tujuan untuk memberi tempat tinggal masyarakat Maroko di Sahara Barat. Sekitar 100—350 ribu warga Maroko pindah ke Sahara Barat selama kebijakan itu berlangsung. Di sisi lain, masyarakat asli Sahara Barat yang disebut Sahrawi menentang klaim wilayah Sahara Barat oleh Maroko.

Orang-orang Sahrawi melalui Polisario Front, yang sudah terbentuk sejak 10 Mei 1973, mendeklarasikan Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR) sebagai negara utuh di wilayah Sahara Barat pada 1976. Klaim yang tumpang tindih antar dua kelompok ini jelas menimbulkan konflik berkepanjangan. Sejak 1975 hingga 1991, Polisario Front dan Maroko bertempur demi memperoleh hak atas wilayah Sahara Barat. 

PBB jelas ingin menengahi permasalahan dari dua kubu tersebut. Pada 1991, Dewan Keamanan PBB mengadakan sebuah referendum bernama United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara (MINURSO) demi memfasilitasi orang-orang Sahara Barat untuk memilih apakah mereka ingin merdeka atau mengikuti pemerintahan Maroko, dilansir Robert F Kennedy Human Rights.

Akan tetapi, referendum tersebut tidak berjalan dengan semestinya, padahal perang antara dua kubu tersebut berhasil dihentikan kala itu. Sejak saat itu pula, PBB berusaha menawarkan pembicaraan damai antara Polisario Front dengan Maroko, tapi hingga hari ini belum membuahkan hasil. Maka dari itu, status non-self-governing territory bagi wilayah Sahara Barat masih berlaku hingga saat ini.

Adapun, wilayah Sahara Barat seperti dibagi atas dua bagian berbeda. Polisario Front berkuasa di bagian timur yang memuat sekitar 20 persen wilayah Sahara Barat, sedangkan Maroko menguasai wilayah barat dengan persentase hingga 80 persen wilayah Sahara Barat.

Masalah semakin rumit karena negara-negara luar ikut campur atas masalah ini. Negara-negara Afrika atau sekitar 44 negara anggota PBB mengakui pemerintahan Sahrawi Arab Democratic Republic. Sementara itu, Amerika Serikat dan Israel jadi negara yang mengakui klaim Maroko atas wilayah Sahara Barat, dilansir Britannica.

3. Luas wilayah, jumlah penduduk, dan bahasa sehari-hari

potret hiruk-pikuk di kota Laayoune, Sahara Barat (commons.wikimedia.org/Bertramz)

Dilansir PBB, luas wilayah Sahara Barat mencapai 266 ribu km persegi, baik bagian yang dikontrol Polisario Front maupun Maroko. Sementara itu, populasi masyarakat yang ada di dalamnya terbilang cukup sedikit, yakn 612 ribu jiwa saja. Menariknya, sekitar 40 persen dari total populasi itu hidup di kota Laayoune yang merupakan kota terbesar di Sahara Barat yang ada dalam kontrol pemerintah Maroko.

Penduduk Sahara Barat terdiri atas beberapa kebudayaan berbeda. Misalnya saja, Sahrawi, Hassane, Tekna, Imraguen, Sanhaja, Oulad Tidrarin, Tajakant, dan Maroko. BBC melansir kalau di Sahara Barat terdapat empat bahasa yang paling umum digunakan orang-orang yang hidup di dalamnya, yaitu bahasa Arab, Berber, Spanyol, dan Prancis. 

4. Kekayaan alam yang ada di Sahara Barat

Lepas pantai di Sahara Barat punya kekayaan laut yang sangat besar dan dipercaya memiliki cadangan minyak bumi. (commons.wikimedia.org/YoTuT)

Meskipun sebagian besar wilayah Sahara Barat ditutupi gurun pasir, ternyata ada satu jenis sumber daya alam yang sangat melimpah di dalamnya, yaitu fosfat. Dilansir Britannica, cadangan fosfat terbesar di Sahara Barat terdapat di bagian yang dikuasai oleh Maroko. Hanya saja, tambang fosfat sulit untuk dioperasikan secara maksimal karena sulitnya memperoleh air di sana. Selain itu, pertempuran antara kubu yang berkonflik di sana juga tak jarang menghancurkan jalur ekstraksi fosfat.

Selain dari sumber daya alam tersebut, lokasi Sahara Barat yang berdekatan dengan lautan lepas membuat wilayah ini juga kaya akan hasil laut. Ada banyak tempat menangkap ikan di lepas pantai Sahara Barat dan dipercaya pula ada cadangan minyak di sana, BBC melansir. Meskipun begitu, mayoritas masyarakat yang hidup di dalam wilayah ini lebih banyak fokus pada sektor ternak hewan, semisal kambing, domba, hingga unta.

5. Memiliki sejarah yang panjang

potret udara kota Dakhla, Sahara Barat (commons.wikimedia.org/YoTuT)

Jauh sebelum wilayah ini dicaplok pemerintahan kolonial Eropa, Sahara Barat ternyata sudah pernah ditempati oleh masyarakat dari berbagai kebudayaan yang silih berganti. Dilansir Britannica, informasi tentang keberadaan peradaban di wilayah ini setidaknya sudah bisa dilacak sejak zaman Neolitik yang ditandai dengan adanya ukiran batu di Saguia el-Hamra serta tempat lain di sekitar Sahara Barat. Adapun, ukiran-ukiran tersebut menunjukkan kalau pemburu, petani, dan peternak pernah hidup di sana. 

Sekitar abad ke-4 SM, jalur perdagangan antara Eropa dengan Sahara Barat berhasil dibangun oleh orang-orang Fenesia (Phoenicia) melalui Laut Mediterania. Pada kurun waktu yang sama, peradaban yang menghuni Sahara Barat juga diketahui melakukan kontak dengan orang-orang Romawi. Sekitar tahun 1000, Sahara Barat dikuasai oleh bangsa Berber (Ṣanhajāh Amazigh) sehingga agama Islam dan bahasa Arab mulai masuk ke wilayah ini.

Menariknya, penemuan wilayah Sahara Barat oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial ternyata bukan dilakukan oleh Spanyol, melainkan Portugal. Sekitar tahun 1346, pelaut Portugis secara tak sengaja menemukan teluk di dekat garis pantai Sahara Barat. Meskipun begitu, atensi Eropa pada wilayah Sahara Barat baru benar-benar muncul pada abad ke-19 yang ditandai oleh kedatangan orang Skotlandia dan Spanyol.

Sekalipun wilayah Sahara Barat ditutupi oleh gurun yang tandus, ternyata hal tersebut bukan jadi penghalang bagi manusia untuk berkonflik. Alasan pihak-pihak tersebut untuk berkonflik pun sangat beragam, tetapi biasanya untuk motif yang serupa. Kira-kira, selain Sahara Barat, apakah ada wilayah lain yang sama-sama dicap sebagai non-self-governing territory, tidak, ya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anjar Triananda Ramadhani
EditorAnjar Triananda Ramadhani
Follow Us