5 Situs Megalitikum yang Dikaitkan dengan Solstis, Cek Faktanya!

- Stonehenge, monumen matahari tertua di Inggris
- Gunung Padang, situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara
- Chaco Canyon, fenomena Sun Dagger menandai momen penting dalam kalender kosmik suku Pueblo
Solstis bukan hanya soal posisi matahari di langit, tetapi juga cahaya spiritual yang menuntun manusia menatap langit dan menyusun batu. Sejak ribuan tahun lalu, peradaban kuno membangun struktur megalitikum yang tampaknya selaras dengan gerak matahari—khususnya saat solstis musim panas dan dingin. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada pengetahuan astronomi purba yang belum kita pahami?
Dari Stonehenge di Inggris hingga Gunung Padang di Indonesia, para arkeolog, sejarawan, dan ilmuwan terus mencari tahu; apakah struktur ini benar-benar dirancang untuk menandai solstis, atau sekadar simbol ritual yang kemudian kita maknai lewat kacamata sains modern? Yuk, kita bedah lima situs megalitikum yang diyakini menari bersama cahaya solstis!
1. Stonehenge, jadi monumen matahari paling terkenal di dunia

Stonehenge adalah struktur batu raksasa yang berdiri di dataran Salisbury, Inggris, sejak sekitar 3000 SM. Setiap tanggal 21 Juni, matahari terbit tepat sejajar dengan batu utama di tengah lingkaran—fenomena ini menandai solstis musim panas secara presisi.
Dilansir dari situs resmi English Heritage, orientasi batu-batu besar di Stonehenge bukan kebetulan, tapi dirancang sebagai observatorium matahari purba. Banyak yang meyakini tempat ini digunakan untuk upacara panen, perayaan musim baru, dan penyelarasan spiritual dengan alam semesta.
Namun, para ilmuwan juga mengimbau secara tak langsung mengenai efek “bias konfirmasi”—bisa jadi kita memaksakan makna modern pada struktur kuno yang aslinya punya fungsi berbeda. Meskipun begitu, sinkronisasi cahaya dan batu ini tetap jadi tontonan ribuan pengunjung setiap tahun.
2. Gunung Padang, benarkah jadi kalender matahari nusantara?

Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, dikenal sebagai situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Namun, sejak 2011, beberapa peneliti mulai menduga bahwa struktur ini mungkin dibangun untuk membaca siklus matahari—termasuk fenomena solstis.
Menurut Tim Riset ITB pada tahun 2013, Gunung Padang memiliki beberapa orientasi batu tegak dan lorong di situs ini menunjukkan kecenderungan mengarah ke titik terbit matahari musim panas. Jika benar, maka nenek moyang kita bukan hanya petani dan pemuja roh, tapi juga astronom yang menghitung waktu dari langit.
Namun, kontroversi belum selesai. Banyak arkeolog skeptis dan menyebut teori ini terlalu spekulatif. Tapi satu hal pasti; Gunung Padang menyimpan narasi kuno antara bumi dan langit yang belum rampung kita pindai sekaligus terjemahkan.
3. Chaco Canyon, mengabadikan cermin cahaya di gurun Amerika

Di New Mexico, Amerika Serikat, terdapat reruntuhan kota kuno bernama Chaco Canyon, yang pernah dihuni oleh suku Anasazi. Salah satu situs terkenalnya, Fajada Butte, menyimpan fenomena luar biasa bernama Sun Dagger.
Saat solstis musim panas dan musim dingin, sinar matahari akan membentuk pola pisau cahaya (dagger) yang menusuk simbol spiral yang terukir di batu. Studi dari Anna Sofaer yang memimpin Solstice Project menyatakan bahwa formasi ini bukan alami, tapi disengaja untuk menandai momen penting dalam kalender kosmik suku Pueblo.
Selain sebagai penanda waktu, simbol ini juga dianggap memiliki makna spiritual—tentang keseimbangan antara terang dan gelap, hidup dan mati. Sebuah contoh paduan sempurna antara mitos, arsitektur, dan astronomi.
4. Karnak, menyimpan kelindan misteri solstis dan dewa matahari Mesir

Kompleks kuil Karnak di Mesir kuno tidak hanya menjadi tempat ibadah raksasa, tetapi juga tata ruangnya selaras dengan pergerakan matahari. Aksis utama kuil besar dewa Amun-Ra menunjukkan orientasi ke titik matahari terbit saat solstis musim dingin.
Menurut arkeoastronom Juan Belmonte dalam catatannya mengungkapkan bahwa para imam Mesir merancang bangunan-bangunan ini sebagai panggung surgawi untuk menyambut kembalinya cahaya ke bumi. Matahari dianggap sebagai dewa yang lahir kembali, dan solstis adalah titik balik spiritual bagi kehidupan dan kematian.
Jadi, ketika cahaya pertama memasuki ruang suci Karnak pada pagi solstis, itu bukan hanya sinar fisik, tapi manifestasi ilahi yang merasuk ke jantung kepercayaan Mesir kuno.
5. Borobudur, benarkah ada cahaya solstis di candi Buddha?

Borobudur, mahakarya arsitektur Buddha di Jawa Tengah, memang belum dikonfirmasi sebagai observatorium matahari. Namun, beberapa peneliti alternatif seperti Widhianningrum dari Universitas Brawijaya menyebutkan kemungkinan adanya hubungan simbolik antara relief dan siklus kosmik, termasuk pergerakan matahari.
Pola stupa yang membentuk mandala tiga dimensi dianggap menyimbolkan perjalanan cahaya menuju pencerahan, dan terbitnya matahari dari arah timur bisa jadi sengaja disejajarkan dengan lorong-lorong utama. Meskipun bukan “observatorium” dalam arti teknis seperti Stonehenge, Borobudur adalah kalender spiritual yang membaca ritme alam dalam bahasa dharma.
Apakah relief dan struktur itu memang dirancang untuk menandai titik balik matahari? Sains belum sepenuhnya menjawab. Tapi simbolisme cahaya dan pencerahan begitu dominan di setiap sudutnya.
Solstis adalah titik balik—bukan hanya matahari di langit—sebuah kesadaran di dalam jiwa manusia. Situs-situs purba ini memberi petunjuk bahwa nenek moyang kita tak sekadar membangun untuk berteduh, tapi juga untuk memahami keteraturan kosmos.
Dalam mitos, cahaya matahari adalah dewa. Dalam sains, ia adalah foton. Tapi di ruang peradaban kuno, keduanya menyatu di antara bayang-bayang batu dan kilauan cahaya pagi. Mungkin, pertanyaan sesungguhnya bukan apakah mereka tahu soal solstis, melainkan kenapa mereka merasa harus menandainya dengan begitu sakral?