Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Tokoh Pengidap Hipokondria dan Kisah di Baliknya, Siapa Saja?

thoughtco.com

Obsesi atau kecemasan terhadap suatu kondisi medis yang serius tapi tidak terdiagnosis telah mengambil bentuk dan makna yang berbeda selama berabad-abad. Hari ini, kondisi itu disebut hipokondriasis, sebuah kondisi yang dianggap sebagai gangguan somatik.

Namun pada abad ke-19, hipokondria dianggap sebagai gangguan saraf yang terkait dengan gejala fisik dan psikologis. Kondisi ini pun sering dikaitkan dengan malaise lain seperti melankolia, histeria, dan ketakutan akan kematian. Anehnya, beberapa pengidap hipokondria paling terkenal selama periode ini adalah para filsuf, seniman, dan penulis.

Meskipun mereka telah membuat banyak pencapaian penting selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, kehidupan pribadi mereka justru menawarkan cerita yang sangat berbeda. Berikut 6 tokoh terkenal di abad ke-19 yang mengidap hipokondria.

1. Hans Christian Andersen

amuraworld.com

Penulis dongeng terkenal asal Denmark, Hans Christian Andersen, dikenal sering berkeliling Eropa untuk menemukan inspirasi sekaligus mempromosikan karyanya. Namun sepanjang perjalanannya, penulis The Little Mermaid ini sering dilanda serangan hipokondria.

Tak hanya itu, teman-temannya juga sering menyebut Andersen sebagai rekan perjalanan yang "melelahkan." Perilaku aneh dan kegelisahan Andersen yang semakin parah juga memperburuk persahabatan antara dirinya dan penulis asal Inggris, Charles Dickens.

2. Franz Kafka

rtve.es

Lahir pada tahun 1883 dari keluarga Yahudi Jerman, Franz Kafka dikenal sebagai penulis eksistensialisme yang membuat karya seperti Metamorphosis (1915), A Hunger Artist (1924), dan The Trial (1925).

Terlepas dari prestasinya, masa kecil Kafka justru sangat buruk, mengingat ayahnya yang sangat dominan dan acuh tak acuh. Hal ini bisa kita lihat dalam kisah Gregor Samsa di Metamorphosis, yang seolah-olah menjadi refleksi masa kecilnya.

Pada tahun 1919, setelah putus dengan tunangannya, Kafka menulis sepucuk surat yang panjang dan bertele-tele — tepatnya 47 halaman — kepada ayahnya, Hermann. Di dalamnya, Kafka menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana sikap ayahnya yang telah meremehkan segala upaya kreatifnya.

Kafka pun mengeksplorasi bagaimana "salah asuhan" dari ayahnya menghasilkan, antara lain, ketakutan irasional terhadap kesehatan dan tubuhnya. Yang lebih disayangkan adalah surat terakhir Kafka yang tidak sampai ke tangan ayahnya. Ibu Kafka, entah untuk melindungi anaknya atau keluarganya, tidak pernah memberikan surat itu ke ayahnya.

3. Edgar Allan Poe

lostworlds.mirtesen.ru

Dengan latar belakang yang suram (ia sudah menjadi yatim piatu di usia 3 tahun), Edgar Allan Poe dikenal sebagai penulis yang suka memasukkan hal-hal mengerikan ke dalam karyanya. Ia sendiri mendapatkan pengakuan atas karya-karyanya seperti The Raven (1845).

Meski dibesarkan oleh seorang pengusaha tembakau, Poe justru tidak tertarik pada bisnis dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis. Kehidupan Poe sendiri sangat lekat dengan kemiskinan, judi, dan perempuan. Namun, tak banyak yang mengetahui kalau dia juga berjuang untuk melawan sisi gelapnya sendiri.

Teman masa kecilnya, John Mackenzie, pernah mengatakan kalau Poe terus dihantui mimpi buruk. Dalam buku The Neuroses of Edgar Allan Poe: A Fever Called Living, dijelaskan kalau Poe sering merasa sakit parah, walau akhirnya akan sembuh sendiri dua minggu kemudian. 

4. Herman Melville

nps.gov

Lahir dari keluarga pedagang New York, Herman Melville baru memperoleh penghargaan sastra untuk karya-karyanya seperti Moby Dick (1851) setelah kematiannya. Melville menghabiskan sebagian besar masa mudanya dengan berlayar di laut lepas dan bekerja untuk industri perburuan paus, yang tentunya sangat memengaruhi tulisannya.

Pada awalnya, dia cukup sukses, sampai sebagian besar novel dan puisinya diabaikan. Setelahnya, Melville menghadapi krisis pribadi dan keuangan sampai akhir hayatnya. Menariknya, Melville menggunakan kata "hipokondria" dalam karya awalnya, Typee (1846), untuk menggambarkan sebuah penyakit yang biasa muncul di dunia modern.

5. Florence Nightingale

yellowfinbi.com

Meski dibesarkan sebagai seorang "nyonya" dari keluarga aristokrat Inggris, Florence Nightingale menentang tradisi keluarganya dan mengabdikan hidupnya untuk menjadi seorang perawat. Nightingale dikenal karena reformasi kesehatannya di rumah sakit militer selama Perang Krimea pada tahun 1850-an.

Tak lama setelahnya, Nightingale menjadi pelopor kesehatan masyarakat di seluruh Kerajaan Inggris. Dalam hal ini, Nightingale mengungkapkan pentingnya sanitasi modern serta kehormatan perawat sebagai sebuah profesi. Namun sayang, Nightingale juga mengidap hipokondria, yang tentunya sangat tidak biasa bagi para profesional di dunia kesehatan.

Ketika sedang merawat tentara dan terluka selama Perang Krimea, Nightingale sering jatuh sakit karena "demam Krimea" dan percaya kalau hidupnya tinggal sebentar lagi. Meskipun pada akhirnya dia hidup sampai 90 tahun, hipokondria terus mengancam pikiran dan tubuhnya selama hidupnya.

6. Charles Darwin

pri.org

Dikenal sebagai seorang naturalis yang telah mengembangkan teori evolusi, Charles Darwin baru mendapatkan inspirasi untuk menulis The Origin of Species setelah menaiki HMS Beagle pada tahun 1831. Selama perjalanannya, ia mengumpulkan berbagai spesimen burung, tumbuhan, dan spesies lain dari berbagai penjuru dunia termasuk Kepulauan Galapagos.

Namun setelah kembali dari pelayarannya pada tahun 1836, Darwin langsung menderita gejala kronis yang agak misterius seperti muntah, sakit perut, sakit kepala, kecemasan, depresi, dan kelelahan selama 40 tahun setelahnya. Meskipun masih produktif, Darwin tampak "dimakan" oleh kondisi kesehatannya yang semakin buruk.

Darwin sendiri pernah mengira kalau dirinya menderita hipokondria. Namun sampai hari ini, ada banyak spekulasi tentang masalah kesehatannya, mulai dari gangguan panik, agorafobia hingga penyakit Crohn.

Nah, itu tadi enam tokoh terkenal di abad ke-19 yang mengidap hipokondria. Sama seperti penyakit lainnya, hipokondria juga membutuhkan diagnosis medis dan saat ini dapat ditangani oleh tenaga medis profesional. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Arifina Budi A.
EditorArifina Budi A.
Follow Us