Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Situs Kuno yang Jadi Saksi Misteriusnya Gerhana Matahari
Ilustrasi situs kuno yang berkaitan dengan gerhana matahari (flickr.com/Gordy Adsit)

Intinya sih...

  • Cahokia mounds di Amerika Serikat adalah peninggalan suku Mississippian, dengan Woodhenge yang berfungsi sebagai kalender astronomi dan melacak gerhana.

  • Kalasasaya di Bolivia merupakan observatorium langit bagi masyarakat Tiwanaku, untuk menandai pergerakan matahari dan bulan serta momen gerhana.

  • Uaxactun di Guatemala adalah kompleks observatorium Maya yang menggunakan sistem hitungan rumit untuk memprediksi gerhana parsial.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fenomena gerhana matahari selalu bikin manusia kagum sekaligus takut. Di masa lalu, sebelum sains modern menjelaskan pergerakan langit, banyak peradaban kuno menganggap gerhana sebagai tanda kosmik yang membawa pertanda baik maupun buruk. Tak heran kalau sejumlah situs kuno di dunia dibangun bukan hanya untuk ibadah, tapi juga untuk mengamati gerakan matahari dan bulan.

Menariknya, beberapa di antaranya masih berdiri hingga sekarang, penuh misteri, dan sering dikaitkan dengan gerhana—bahkan yang bersifat parsial. Dari Amerika hingga Asia, inilah tujuh situs kuno yang menyimpan jejak peradaban manusia membaca ‘matahari yang terganggu’.

1. Cahokia mounds di Amerika Serikat

Ilustrasi cahokia mounds di Amerika Serikat (commons.wikimedia.org/Thank You)

Situs kuno yang terletak di Illinois ini adalah peninggalan suku Mississippian, salah satu peradaban prasejarah terbesar di Amerika Utara. Cahokia terkenal dengan Woodhenge, lingkaran tiang kayu yang berfungsi mirip kalender astronomi. Posisi tiang-tiang ini digunakan untuk menentukan solstis, ekuinoks, dan diduga juga peristiwa langit seperti gerhana.

Arkeolog menemukan bahwa masyarakat Cahokia memiliki kepekaan astronomi yang tinggi. Menurut pemaparan Pauketat dalam bukunya yang bertajuk Cahokia: Ancient America’s Great City on the Mississippi, suku Mississippian memandang gerhana sebagai tanda kosmik yang berkaitan dengan siklus kehidupan dan kematian. Tiang-tiang Woodhenge bisa jadi membantu mereka melacak kapan ‘matahari tergigit’ sebagian.

Bagi suku Mississippian, gerhana parsial bukan sekadar fenomena biasa, melainkan ‘matahari yang melemah’. Karena itu, Cahokia bukan hanya pusat pemukiman, tapi juga ruang ritual kosmik yang menghubungkan bumi dan langit.

2. Kalasasaya di Bolivia

Ilustrasi kalasasaya di Bolivia (commons.wikimedia.org/rodoluca)

Di dataran tinggi Andes, terdapat situs megah Tiwanaku yang dikenal dengan Kalasasaya. Kompleks batu besar ini memiliki gerbang dan dinding dengan celah sejajar posisi matahari pada waktu tertentu. Senada dengan hal tersebut, penelitian arkeoastronomi oleh Kolata yang diuraikan dalam bukunya The Tiwanaku: Portrait of an Andean Civilization, menunjukkan bahwa struktur ini berfungsi sebagai observatorium langit.

Bagi masyarakat Tiwanaku, gerhana dianggap sebagai pertanda ketidakseimbangan kosmik. Celah batu di Kalasasaya memungkinkan mereka menandai pergerakan matahari dan bulan, termasuk momen ketika matahari ‘tertelan’ sebagian. Ritual pun digelar untuk menenangkan dewa matahari agar tidak meninggalkan bumi.

Keberadaan Kalasasaya memperlihatkan betapa pentingnya hubungan antara kosmologi, politik, dan arsitektur dalam peradaban Andes. Bahkan hingga kini, gerbang matahari (Gate of the Sun) di Tiwanaku tetap menjadi simbol misteri yang tak habis dikaji.

3. Uaxactun di Guatemala

Ilustrasi uaxactun di Guatemala (flickr.com/Stacey Holeman)

Kompleks observatorium Maya di Uaxactun lebih tua daripada Chichen Itza. Tiga piramida kecil disejajarkan dengan posisi terbit dan terbenamnya matahari sepanjang tahun. Suku Maya menggunakan sistem hitungan yang rumit untuk memprediksi fenomena langit, termasuk gerhana parsial.

Menurut Aveni dalam Skywatchers of Ancient Mexico, Maya melihat gerhana sebagai tanda bahwa dewa sedang marah. Ritual pengorbanan dilakukan untuk menenangkan kosmos. Uaxactun dengan cermat mencatat pergerakan bulan, sehingga prediksi gerhana bisa dilakukan dengan akurasi mengejutkan untuk ukuran peradaban kuno.

Situs ini menjadi bukti bahwa Maya tidak sekadar mengamati langit, tapi juga menghubungkan setiap peristiwa dengan siklus kehidupan, politik, dan agama.

4. Angkor wat di Kamboja

Ilustrasi angkor wat di Kamboja (flickr.com/Gordy Adsit)

Kuil megah ini dibangun sebagai simbol kosmos dalam tradisi Hindu-Buddha. Relief di dinding Angkor Wat menggambarkan kisah Rahu, makhluk kosmik yang menelan matahari dan bulan. Kisah ini jelas merujuk pada mitos gerhana.

Dalam ajaran Hindu, Rahu memicu gerhana dengan memakan cahaya matahari. Namun karena kepalanya terpenggal, cahaya itu keluar kembali, menciptakan fenomena gerhana parsial maupun total. Bagi masyarakat Khmer, gerhana menjadi momen sakral yang dihubungkan dengan keseimbangan dunia.

Arkeoastronomi juga menunjukkan bahwa Angkor Wat sejajar dengan posisi matahari pada solstis tertentu, memperkuat dugaan bahwa kuil ini sekaligus berfungsi sebagai penanda fenomena kosmik—dilansir dari Journal of Skyscape Archaeology.

5. Borobudur di Indonesia

Ilustrasi borobudur di Indonesia (flickr.com/Jagadip Singh)

Borobudur bukan hanya candi Buddha terbesar di dunia, tapi juga pusat kosmologi Jawa Kuno. Relief-reliefnya menggambarkan kisah kosmik, termasuk mitos Rahu yang menelan matahari. Catatan naskah Jawa kuno menyebut gerhana sebagai momen ketika matahari ‘dimangsa naga langit’.

Bagi masyarakat Jawa kuno, gerhana parsial membawa pertanda buruk. Oleh sebab itu, Borobudur dipakai sebagai ruang ritual penolak bala. Menurut Soekmono dalam bukunya Borobudur: A Monument of Mankind, candi tersebut dibangun bukan hanya sebagai mandala kosmik, tapi juga sebagai sarana untuk ‘menambat’ keteraturan langit agar dunia manusia tetap seimbang.

Dengan posisi yang memerhatikan tata letak astronomi, Borobudur menjadi bukti bahwa nusantara pun memiliki hubungan erat dengan fenomena gerhana sejak lama.

6. Goseck circle di Jerman

Ilustrasi goseck circle di Jerman (flickr.com/Klaus Leidorf)

Dikenal sebagai ‘Stonehenge Jerman’, Goseck Circle berusia sekitar 7.000 tahun. Lingkaran ini memiliki gerbang yang sejajar dengan posisi matahari saat solstis. Meski utamanya untuk kalender musim, beberapa arkeolog berpendapat situs ini juga bisa digunakan untuk memperkirakan peristiwa langit yang lebih jarang, seperti gerhana parsial.

Boutsikas dalam Chapter Greek Temples and Rituals di buku Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy, mengutarakan bahwa masyarakat Neolitik di Eropa mengaitkan gerhana dengan ‘matahari yang terluka’. Maka, Goseck Circle kemungkinan digunakan dalam ritual penyembuhan kosmik untuk menjaga keseimbangan antara bumi dan langit.

7. Machu picchu di Peru

Ilustrasi machu picchu di Peru (flickr.com/Soma Biswas)

Di kota suci Inca ini terdapat Intihuatana Stone atau ‘batu penambat matahari’. Arkeolog menemukan bahwa batu ini digunakan untuk menentukan posisi matahari pada solstis dan ekuinoks. Namun bagi masyarakat Inca, gerhana—bahkan yang parsial—adalah tanda bahaya besar.

Menurut Bauer dalam bukunya The Development of the Inca State, masyarakat Inca percaya bahwa saat gerhana, matahari sedang diserang oleh kekuatan gelap. Karena itu, ritual dilakukan di Machu Picchu untuk menambat matahari agar tetap memberikan cahaya. Intihuatana menjadi simbol bahwa manusia bisa menjaga harmoni dengan kosmos melalui doa dan upacara.

Dari Cahokia di Amerika hingga Borobudur di Indonesia, jejak peradaban kuno menunjukkan betapa pentingnya gerhana matahari dalam kosmologi manusia. Gerhana parsial yang bagi kita hari ini sekadar tontonan langit, dahulu bisa memicu ritual pengorbanan, pembangunan kuil, hingga lahirnya legenda kosmik.

Kini, ilmu pengetahuan modern memang bisa menghitung gerhana hingga detik terjadinya. Namun situs-situs kuno ini mengingatkan kita bahwa manusia selalu berusaha memahami langit dengan cara masing-masing. Misteri dan kekaguman itulah yang membuat gerhana tetap menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team