G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru Terbarukan

Saatnya mewujudkan dunia yang lebih hijau!

"Recover Together, Recover Stronger"

Mulai dari akhir Desember 2021, Indonesia menjadi tuan rumah Presidensi G20 hingga penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada akhir Oktober 2022 mendatang. Selain kesehatan dan digital, salah satu misi Indonesia adalah untuk beralih fokus ke energi baru terbarukan (EBT) untuk mengurangi emisi karbon.

Di Tanah Air, industri dan transportasi adalah sumber emisi terbesar. Oleh karena itu, pengembangan teknologi energi terus dilakukan untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Oleh karena itu, riset dan inovasi EBT amat vital untuk pembangunan ekonomi menuju Indonesia maju 2045 mendatang.

1. Sasaran Indonesia untuk mewujudkan NZE

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPersetujuan Paris atau Paris Agreement (un.org)

Merujuk pada Persetujuan Paris pada 2016, Indonesia bersumpah untuk mewujudkan netralitas karbon (net zero emission/NZE). Komitmen Indonesia untuk NZE sudah dituangkan dalam berbagai peraturan, yaitu:

  • Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014, tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN)
  • Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2017, tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)

Indonesia juga mematok target penggunaan EBT hingga 23 persen pada 2025. Karena energi dan lingkungan saling berkaitan, maka Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan berbagai riset dan inovasi energi untuk mewujudkan NZE di Indonesia. Beberapa inovasi tersebut adalah:

  • Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP)
  • Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
  • Bioetanol
  • Teknologi fuel cell dan hidrogen.

2. Inovasi PLTP modular oleh BRIN

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru Terbarukandesain PLTP modular BRIN (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) mencatat bahwa PLTP berpotensi menyumbang 23,9 gigawatt (GW), 40 persen potensi PLTP dunia. Namun, potensi tersebut baru direalisasikan sekitar 2.276 megawatt (MW) atau 9,5 persen karena sebagian besar PLTP masih impor.

BRIN mencoba mengembangkan PLTP modular dengan mempertimbangkan potensi panas bumi. Desain PLTP modular tersebut berdasarkan pengembangan dua jenis PLTP sebelumnya, yaitu PLTP 3MW condensing di Kamojang, Jawa Barat, dan PLTP 500 kilowatt (kW) siklus biner di Lahendong, Sulawesi Utara.

Di Indonesia, potensi tersebut mencapai 50MW dan hampir 35 persen tersebar di wilayah Indonesia timur.

“Lokasi panas bumi kebanyakan di daerah terpencil yang beban listriknya tidak terlalu tinggi,” ungkap Plh. Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BRIN, Cahyadi.

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru Terbarukansumur panas bumi penyuplai PLTP 3MW condensing di Kamojang, Jawa Barat (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Di sisi lain, investasi produk PLTP juga jadi bahan pertimbangan. Pengembangan PLTP modular diharapkan tetap kompetitif karena sudah belajar dari PLTP Kamojang dan PLTP Lahendong.

Dengan desain yang ringkas, PLTP modular amat fleksibel atau bisa ditempatkan di kepala sumur mana pun karena mobilisasi dan instalasinya yang cepat. Kapasitas PLTP sesuai potensi sumur (sekitar 3—5 MW) dan cepat menghasilkan listrik. Jika sumber sudah tidak ekonomis, modul PLTP dengan mudah dapat digeser ke sumber yang masih produktif.

“Kami telah melakukan feasibility study PLTP Modular 2×3 MW di Sibayak, Sumatera Utara. Investasi PLTP diperkirakan mencapai kurang dari 2 juta US dollar (di bawah Rp28,7 miliar) per MW sehingga layak dari sisi ekonomis dan teknis,” ungkap Cahyadi.

3. Energi nuklir juga masuk dalam sasaran

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanSivitas BRIN mengukur radioaktivitas di Reaktor Nuklir Kartini, Yogyakarta, DIY (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Selain panas bumi, nuklir juga jadi salah satu alternatif EBT dan Indonesia sudah sejak lama menyadarinya. Tertuang dalam Undang-undang Energi No. 30 Tahun 2007, nuklir adalah kelompok energi baru, dan pembangunan PLTN sudah diusahakan sejak 1970an.

“Dulu dinamakan science technology based, yaitu teknologi-teknologi yang dibangun untuk mempersiapkan pembangunan dan pengoperasian PLTN,” kata Pengembang Teknologi Nuklir Utama BRIN, Suparman.

Terletak di Tangerang Selatan, Kawasan Nuklir Serpong berperan sebagai kawasan pusat penelitian dan pengembangan, serta rancang bangun dan perekayasaan (litbangyasa) ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung usaha pengembangan industri nuklir, pembangunan, dan pengoperasian PLTN di Tanah Air.

Para periset Indonesia juga percaya diri telah menguasai teknologi nuklir, dari penambangan uranium, teknologi bahan bakar, teknologi reaktor, hingga pengelolaan limbah nuklir. Dari sisi persiapan tapak PLTN, studi kelayakan tapak di Jepara, Jawa Tengah, dan Bangka Belitung telah rampung.

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanReaktor Nuklir Kartini, Yogyakarta, DIY (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Selain Jepara dan Bangka Belitung, studi tapak juga dilakukan di Bengkayang, Kalimantan Barat, atas permintaan pemerintah setempat. Studi tapak di Kalimantan Barat tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok studi:

  • Kelayakan: keekonomian, pendanaan, dampak ekonomi, jaringan listrik, manajemen, persiapan SDM, dan tapak
  • Penguasaan teknologi: teknologi PLTN reaktor air tekan (Pressurized Water Reactor)
  • Kegiatan pendukung: sosialisasi, edukasi, pemetaan stakeholder, riset penerimaan masyarakat

Oleh karena itu, perlu komitmen pemerintah untuk menetapkan pembangunan PLTN sehingga riset dan penguasaan teknologi bersinergi dengan visi pemerintah menuju NZE. Salah satunya adalah dengan membentuk Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO), organisasi yang mengoordinasikan program PLTN.

Dari sektor SDM, berbagai institusi seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Politeknik Nuklir BRIN telah mencetak berbagai peneliti teknik nuklir yang tak kalah saing.

“Berbagai aspek kita sudah siap untuk membangun PLTN. Penguasaan teknologi kita sudah mampu, tinggal mempraktikkannya saja,” ucap Suparman.

4. Bioetanol dari kelapa sawit sebagai alternatif BBM

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPilot Plant produksi bioetanol G2 di Pusat Riset Kimia Maju BRIN, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Di sektor bahan bakar transportasi, BRIN tengah meneliti potensi berbagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk menekan emisi. Salah satunya adalah bioetanol, bahan bakar nabati (BBN) yang dapat digunakan sebagai aditif, pengganti, atau blending bensin.

Pilot Plant produksi bioetanol generasi 2 (G2) di Puspiptek Serpong adalah hasil kerja sama BRIN dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan Korea Institute of Science and Technology (KIST) di Korea Selatan. Pilot Plant bioetanol G2 ini dapat menghasilkan bioetanol dengan kemurnian lebih dari 99,6 persen (fuel grade).

Sejak 2008, peneliti ahli utama dari Pusat Riset Kimia Maju BRIN, Yanni Sudiyano, telah melakukan riset bioetanol G2 dari berbagai jenis biomassa lignoselulosa. Karena Indonesia adalah penghasil minyak sawit no. 1 di dunia, bahan baku yang digunakan adalah biomassa lignoselulosa dari limbah tandan kosong sawit (TKS).

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanIlustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Biomassa lignoselulosa memiliki struktur polimer yang terdiri dari komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Namun, yang dapat dikonversi menjadi etanol hanyalah selulosa dan hemiselulosa (holoselulosa), sedangkan lignin sebagai inhibitor harus dilepaskan melalui proses perlakuan awal atau pre-treatment.

Proses produksi terdiri dari empat tahapan, yaitu:

  • Pre-treatment
  • Hidrolisis/sakarifikasi selulosa dengan enzim atau mikroba untuk menghasilkan gula
  • Fermentasi gula dengan Saccharomyces cerevisiae
  • Distilasi dan pemurnian etanol

Proses pre-treatment untuk mendegradasi lignin hingga terpisah dari holoselulosa adalah proses penting dalam konversi bioetanol. Peluang pengembangan pre-treatment terbuka lebar karena beda bahan baku, beda juga metode pre-treatment-nya.

“Kami tengah mengembangkan teknologi yang efisien untuk menghilangkan lignin sebanyak-banyaknya dan mendapatkan selulosa sebanyak-banyaknya,” jelas Yanni.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Terapkan Kendaraan Listrik untuk G20 di Bali

5. Tantangan lain dalam pengembangan bioetanol

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru Terbarukanilustrasi kelapa sawit (IDN Times/Sunariyah)

Menurut Yanni, tantangan dalam produksi bioetanol adalah impor enzim. Hal ini dikarenakan di Indonesia, belum ada enzim yang aktivitasnya sama dengan enzim komersial. Yanni dan tim tengah mengembangkan teknologi pre-treatment dengan sistem kontinyu dan pengembangan produksi bioetanol terpadu skala pilot.

Selain itu, riset integrasi proses hidrolisis dan fermentasi secara terpadu yaitu gabungan sakarifikasi dan frementasi dan konsolidasi bioproses (CBP/consolidated bioprocessing) juga tengah dikembangkan.

“Terpadu di sini maksudnya, selain menghasilkan bioetanol, sistem ini juga mempertimbangkan potensi limbah proses yaitu limbah pre-treatment dan limbah fermentasi menjadi co product... sebagai zat antioksidan untuk bahan farmasi, kosmetik, pangan dan aplikasi lainnya," ujar Yanni.

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPekerja di pabrik kelapa sawit milik PTPN III Hapesong, Batangtoru, Tapanuli Selatan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Yanni menjelaskan bahwa pemanfaatan limbah sisa proses konversi bioetanol amat penting dilakukan. Hal ini mengingat bahwa limbah yang dihasilkan cukup banyak dan apabila tidak dimanfaatkan, akan mencemari lingkungan.

“Dengan pemanfaatan kembali sisa proses, membuat kegiatan industri secara keseluruhan menjadi menguntungkan dari sisi lingkungan, dan memperbesar nilai tambah (added value) produk yang dihasilkan. Hal ini merupakan wahana pengembangan ekonomi sirkuler,” jelas Yanni.

Beberapa tantangan lain penggunaan etanol adalah sifat fisik etanol, komitmen pengadaan bahan baku, pangkalan data, dan neraca energi. Padahal, mencampurkan etanol dalam bahan bakar dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) 70—90 persen dibanding BBM setara oktan 90.

6. Fuel cell hidrogen juga jadi alternatif

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPeneliti BRIN, Eniya Listiani Dewi, menunjukkan bahan bakar hidrogen sebagai pengganti bahan bakar konvensional (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Selain bioetanol, hidrogen juga dilirik sebagai alternatif bahan bakar transportasi. Sejak 2003, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Eniya Listiani Dewi, telah melakukan riset bahan bakar sel (fuel cell) berbasis hidrogen. Konversi hidrogen menjadi listrik dilakukan melalui proses transfer elektron.

Eniya dan tim sempat menggunakan fuel cell untuk menciptakan motor berkapasitas 500W. Bahkan, dua tahun belakangan, Eniya dan tim tengah mengembangkan mobil berbahan bakar hidrogen dengan kapasitas 1kW dan 2,5kW.

Dengan 1 liter gas hidrogen, mobil tersebut dapat menempuh jarak 1 kilometer (km). Akan tetapi, angka tersebut menunjukkan konsumsi daya yang lebih boros dibanding mobil berbahan bakar hidrogen komersial yang dengan 1 liter gas hidrogen bisa menempuh jarak 7,5km.

“Jadi riset punya saya ini masih lebih boros 7 kali lipat dibanding komersial, ini yang saya kejar untuk lebih efisien dan bisa dikembangkan sendiri di Indonesia,” tutur Eniya.

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru Terbarukankereta bertenaga hidrogen di Jerman (nellionaire.com)

Menurut Eniya, kendaraan listrik berbasis baterai dan hidrogen dapat digunakan untuk menurunkan emisi dari sektor transportasi. Tentu saja, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta segmen pasarnya masing-masing.

Penggunaan bahan bakar hidrogen sebenarnya bergantung pada produk unggulan transportasi. Sebagai contoh, di Jepang dan Korea, mereka menggunakan hidrogen untuk mobil, sementara Jerman menggunakan hidrogen untuk menenagai kereta jarak jauh.

Salah satu kelebihan hidrogen adalah dapat digunakan jarak jauh dalam sekali pengisian bahan bakar. Waktu pengisian bahan bakar hidrogen hanya kurang dari 3 menit, seperti mengisi bensin. Hanya saja, saat ini, infrastruktur produksi hidrogen —seperti stasiun pengisian bahan bakar— membutuhkan investasi yang tak sedikit.

Jika menggunakan kendaraan listrik, pengisian bahan bakar cukup lama, bahkan dengan fast charging station memakan waktu hingga 1,5 jam. Karena itu, kendaraan listrik lebih cocok digunakan untuk transportasi jarak dekat.

7. Memanfaatkan hidrogen dari limbah kelapa sawit sebagai bahan bakar

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPeneliti BRIN, Eniya Listiani Dewi, menunjukkan mobil bertenaga hidrogen (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Tidak sedikit yang bertanya pada Eniya mengenai sumber energi hidrogen. Menjawab keraguan tersebut, Eniya mengatakan bahwa sumber hidrogen bisa didapat dari:

  • Elektrolisis nuklir dan air
  • Penggunaan gas alam pada industri
  • By product PLTN generasi IV (sumber gas hidrogen termurah)
  • Gasifikasi biomassa 

Saat ini, Eniya dan tim tengah mengembangkan produksi hidrogen dari limbah kelapa sawit cair. Eniya menjelaskan bahwa Palm Oil Mill Effluent (POME) diberikan mikroba tertentu untuk mendapatkan gliserol, yang kemudian by product-nya adalah hidrogen.

Saat ini, para pemimpin negara dunia mulai memperhatikan pengembangan green hydrogen. Pada KTT COP26 pada 2021, banyak kepala negara yang mulai mengungkit green hydrogen demi NZE.

“Saat ini riset saya lebih ke arah green hydrogen. Selain bisa didapat dari sel surya dan turbin angin, juga bisa menggunakan listrik dari surplus listrik PLN terutama di Jawa – Bali yang bisa digunakan untuk mengelektrolisa air menghasilkan hidrogen,” kata Eniya.

Sebagai contoh penerapan green hydrogen, Jerman memiliki banyak sel surya dan turbin angin. Keduanya bekerja sama menghasilkan listrik untuk proses elektrolisis air dan menghasilkan hidrogen.

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanPeneliti BRIN, Eniya Listiani Dewi, menunjukkan mobil bertenaga hidrogen 1kW (kiri) dan golf cart bertenaga hidrogen 2,5 kW dan memiliki panel surya di atapnya (kanan) (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Dalam 3 tahun terakhir, Eniya dan tim berhasil mengubah kendaraan bensin menjadi kendaraan listrik. Selanjutnya, kendaraan listrik ini akan dikembangkan menjadi kendaraan berbahan bakar hidrogen dengan fuel cell komersial. Tentu saja, ada beberapa inovasi di sistem kontrol sehingga lebih efisien.

Untuk itu, Eniya dan tim tengah mengembangkan sistem kontrol dalam produksi hidrogen dan sistem pengisian bahan bakar hidrogen mini dengan green hydrogen dari kombinasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB).

8. Perjalanan Indonesia ke NZE masih panjang

G20: Indonesia Beralih Fokus Menuju Energi Baru TerbarukanSistem turbin uap dan generator PLTP 3MW di Kamojang adalah buatan Indonesia. (Dok. BRIN/Yustantiana Azhar)

Kementerian ESDM mencatat bahwa hingga akhir 2021, capaian target bauran EBT baru sebesar 12,7 persen. Dengan kata lain, Indonesia perlu mengejar target EBT hingga 23 persen dalam 3 tahun mendatang.

Selain riset dan inovasi di hulu, hilirisasi EBT di industri dalam negeri perlu didorong. Bukan cuma memanfaatkan sumber daya alam yang ada, melainkan juga harus meningkatkan nilai tambahnya dengan intervensi riset dan inovasi. Sementara mahal, riset demi kemandirian energi bukanlah harga yang bisa ditawar.

Transisi menuju energi bersih dengan beralih ke energi alternatif harus disikapi dengan arif agar perencanaan energi "di atas kertas" dapat diwujudkan. Oleh karena itu, BRIN, melalui risetnya, terus mendukung NZE dan mendorong pertumbuhan eknonomi yang berbasis digital-green-blue economy.

Baca Juga: Luhut Ungkap Tiga Hal yang Dibahas dalam Forum Transisi Energi G20

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya