TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tak Hanya 'Dicicipi' Belanda, Ini 5 Fakta Industri Gula Era Kolonial

Tonggak awal industrialisasi Hindia Belanda! 

Kereta lori tebu di Kertasura. (Dok. KITLV)

Selain karet, teh, dan nila, komoditas gula merupakan salah satu komoditas unggulan pada masa kolonial Belanda. Pentingnya gula dalam memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari membuat komoditas ini menjadi primadona yang tak pernah mati. 

Pangsa ekspor yang besar membuat industri gula tumbuh dengan cepat di Hindia Belanda pada masa awal abad ke-19. Penasaran bukan? Berikut 5 fakta sejarah industri gula era kolonial. Simak baik-baik, yuk! 

1. Diawali dengan adanya politik pintu terbuka pada tahun 1870

Suikerfabriek Kalibagor Banyumas tempo dulu (Koleksi Tropen Museum).

Dihapuskannya cultuurstelsel atau tanam paksa dengan sistem politik liberal oleh Pemerintah Kerajaan Belanda memberi peluang kepada pemilik modal untuk mendirikan usaha di tanah jajahan. Politik liberal atau politik pintu terbuka sendiri dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan bagi pemilik modal swasta untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda.

Kebijakan politik liberal ini sendiri tak terlepas dari kemenangan penganut paham liberal di parlemen Kerajaan Belanda. Akhirnya, pada tahun 1870 pun sistem politik liberal resmi diterapkan, yang pada akhirnya menjadi awal geliat kemunculan industri gula swasta di Indonesia.

Baca Juga: Yuk Tertib, 5 Perilaku Berlalu Lintas di Belanda Ini Patut Diteladani!

2. Diberlakukannya Suiker Wet dan Agrarich Wet membuat banyak golongan kapital tertarik menanamkan modalnya pada industri gula tanah air

Kereta lori tebu di Kertasura. (Dok. KITLV)

Pemberlakuan kedua undang-undang ini dapat diibaratkan sebagai pembukaan kran air yang airnya mengalir dengan deras. Bagaimana tidak, seusai ditetapkannya UU tersebut banyak pengusaha Belanda yang berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. 

Salah satu bidang yang menarik bagi pemilik modal adalah industri gula. Hal ini dikarenakan gula merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan pada saat itu. Pabrik-pabrik gula pun didirikan di banyak kawasan di Jawa. 

Pemilihan Jawa sebagai sentra industri gula tidak terlepas dari tersedianya lahan yang subur dan tersedianya tenaga kerja yang melimpah untuk pengelolaan industri gula. Dua sumber daya ini pun menjadi sokongan kejayaan industri gula tanah air pada waktu itu. 

3. Tak hanya pihak swasta Belanda, pengusaha Cina dan bangsawan Jawa pun ternyata juga ikut mencicipi manisnya kejayaan industri gula

Pabrik Gula Tjolomadoe milik Praja Mangkunegaran. (puromangkunegaran.com)

Salah satu tokoh terkemuka dalam bidang industri gula tanah air dan dijuluki sebagai "Raja Gula Asia" adalah Oei Tiong Ham. Kejayaan bisnisnya di bawah bendera perusahaan Oei Tiong Ham Concern (OTHC) inilah yang berhasil menyejajarkan dirinya dengan konglomerat barat yang berbisnis di Hindia Belanda.

Ketika akhir hayatnya, total kekayaan yang ditinggalkan oleh Oei Tiong Ham adalah 200 juta gulden. Jumlah yang amat fantastis untuk ukuran saat itu. 

Selain itu, pengusaha pribumi yang kebanyakan bangsawan Jawa ternyata juga ikut mencicipi manisnya industri gula. Banyak pabrik gula yang berdiri di tanah-tanah kerajaan, khususnya di sekitar wilayah Surakarta. Pabrik gula ini pun didirikan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi kerajaan.

4. Sempat meredup saat depresi melanda ekonomi dunia pada 1930-an

Great Depression atau Melaise yang melanda dunia 1930-an (Dok. Istimewa).

Masa keemasan industri ekspor Hindia Belanda pada tahun 1920-an mendadak hancur karena adanya The Great Depression yang melanda dunia akibat runtuhnya Wall Street. Depresi ini pun menyebabkan harga komoditas perdagangan di pasar dunia merosot tajam demikian pula permintaannya. Hal ini menyebabkan banyak pabrik yang gulung tikar. 

Menurut penelitian Suhartono (1994) mengungkapkan bahwa dari 178 pabrik gula yang ada pada tahun 1928, menyusut menjadi 50 buah pada tahun 1934. Sementara, penyusutan pekerja juga terjadi, jika sebelumnya terdapat 129.249 pekerja di tahun 1928 lalu menurun tajam menjadi 28.632 pekerja pada tahun 1934. Bisa dibayangkan begitu besarnya dampak fenomena depresi ini bukan?

Baca Juga: 5 Fakta Pola Kerja Orang Belanda, Produktif Meski Waktu Kerja Sedikit

Verified Writer

Candrika Ilham Wijaya

Menghargai kata @cndrikailhm_

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya