Diminta pendapatnya oleh IDN Times, peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, Dr. Dwiyitno, S.Pi, M.Sc., mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah punya banyak instrumen untuk menganalisis jenis pestisida, termasuk EtO. Meski begitu, kendala terbesar adalah batas deteksi.
"Makin kecil konsentrasi yang diinginkan untuk dianalisis, perlu teknologi yang lebih mutakhir. Kalau 0,005 [mg/kg] masih bisa," ujar Dr. Dwiyitno saat dihubungi via WhatsApp pada Kamis (20/10).
Dari segi teknologi, Dr. Dwiyitno mengatakan bahwa Indonesia punya teknologi untuk menganalisis pestisida, termasuk EtO. Teknologi tersebut adalah kromatografi gas dan cair. Namun, makin rendah konsentrasi yang ingin diteliti, maka perlu teknologi yang lebih canggih sehingga alatnya pun makin mahal.
"Akan tetapi, untuk etilen oksida hanya dengan kromatografi gas saja," kata Dr. Dwiyitno.
Ilustrasi laboratorium (pixabay.com/Michal Jarmoluk)
Selain itu, pengembangan metode tidaklah murah. Oleh karena itu, Dr. Dwiyitno mengatakan bahwa metode analisis EtO dikembangkan sesuai kebutuhan pasar. Karena tak ada standar pasti untuk analisis EtO, maka metode analisis tersebut tak dikembangkan.
Menurut Dr. Dwiyitno, teknologi analisis pun bisa dipecah dari level riset hingga pengujian komersial. Perbedaannya ada di tingkat presisi. Sementara riset tidak membutuhkan presisi tinggi, analisis komersial untuk produk pangan membutuhkan akurasi tinggi.
"Teknologi analisis kita punya, tetapi apakah sudah dikembangkan untuk analisis etilen oksida? Itu yang perlu dicari tahu. Kalau gak ada masalah, kita tidak terlalu aware untuk melakukannya. Ketika ada masalah seperti ini, kita baru aware mengembangkan analisisnya," kata Dr. Dwiyitno menekankan.