ilustrasi emas (pexels.com/Zlaťáky.cz)
Tambang emas Gunung Pani Pohuwato telah ada sejak tahun 1898. Masyarakat lokal kala itu harus berebut dengan Belanda. Kemudian, penjajah menguasainya melalui perusahaan pertambangan Exploratie Syndicaat Pagoeat di blok tambang di dua lokasi, yakni Bumbulan (Gunung Pani) dan Molosifat (Popayato Serumpun). Perusahaan berada di bawah payung organisasi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda.
Bahkan salah satu bukti keberadaan tambang Pohuwato sudah ada sejak zaman kolonial berupa peraturan pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa di Pagoeat (Pohuwato), wajib membayar upeti berupa emas kepada mereka melalui Controleur, Jogugu dan Marsaoleh yang ditunjuk oleh pemerintahan.
Area tambang akhirnya diteruskan masyarakat lokal, sehingga ada perkampungan di sekitar lokasi area gunung, yakni Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato. Dalam bahasa Gorontalo, Hulawa berarti emas. Guna menghindari perpecahan antara masyarakat lokal pada 1980-an, mereka membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani Marisa.
Pada tahun 1987 masyarakat setempat menjadikan Gunung Pani sebagai tempat mata pencarian. Lalu di 1988, banyak masyarakat melakukan penambangan di lokasi, sehingga Bupati Gorontalo membantu masyarakat.
Gunung-gunung emas di Indonesia menunjukkan betapa kayanya negeri ini akan sumber daya alam. Namun di balik kilau emas yang menjanjikan, tersembunyi berbagai tantangan serius, mulai dari kerusakan lingkungan, aktivitas tambang ilegal, hingga konflik sosial yang kompleks.
Untuk itu, pengelolaan potensi emas harus dilakukan secara bijak dan berkelanjutan, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati sesaat, tetapi juga memberikan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat lokal dan menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.