Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
potret serak bukit dewasa yang sedang bertengger di dahan pohon (commons.wikimedia.org/ian_dugdale)
potret serak bukit dewasa yang sedang bertengger di dahan pohon (commons.wikimedia.org/ian_dugdale)

Intinya sih...

  • Serak bukit ditemukan di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur.
  • Habitat serak bukit meliputi hutan hujan tropis, hutan sekunder, dan wilayah pegunungan.
  • Spesies ini merupakan karnivor sejati yang mampu beradaptasi di hutan lebat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah dengar nama burung serak bukit (Phodilus badius)? Mereka merupakan keluarga burung hantu yang masuk dalam famili Tytonidae. Ciri fisik burung hantu ini cukup menarik karena bagian wajah mereka berbentuk seperti piringan dengan pola hati yang didominasi warna cerah dan sepasang bola mata hitam besar pada masing-masing sisi. Sementara, bulu mereka didominasi warna cokelat pada bagian punggung dan putih pada bagian dada.

Ukuran serak bukit terbilang sedang untuk burung hantu. Panjang tubuhnya sekitar 22—33 cm, rentang sayap 172—237 mm, dan bobot 255—308 gram. Menariknya, serak bukit betina ternyata berukuran lebih besar dari jantan. Nah, kali ini, kita akan berkenalan lebih dalam dengan salah satu jenis burung hantu yang umum ditemui di Indonesia ini. Penasaran, kan? Yuk, simak penjelasan di bawah ini!

1. Peta persebaran dan habitat

Serak bukit menjadikan hutan primer, sekunder, atau wilayah pegunungan sebagai habitat utama. (commons.wikimedia.org/Christoph Moning)

Serak bukit memiliki peta persebaran yang sangat luas. Wilayah mereka meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Artinya, burung hantu ini ditemukan mulai dari Nepal, Bangladesh, India, Pakistan, Vietnam, China, Myanmar, Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Filipina, hingga Indonesia. 

Sementara untuk pilihan habitat, mereka bisa ditemukan di hutan hujan tropis, hutan sekunder, hingga wilayah pegunungan. Dilansir Earth Life, serak bukit biasa hidup pada ketinggian 200—2.300 meter di atas permukaan laut, tergantung mereka ditemukan. Jika kebetulan saling berdekatan, burung ini sering mengunjungi, bahkan tinggal di kawasan pertanian dan perkebunan manusia.

2. Punya adaptasi yang baik untuk menjadi predator hutan lebat

Serak bukit memiliki beragam adaptasi sehingga bisa menjadi predator utama di habitat mereka. (commons.wikimedia.org/Christoph Moning)

Layaknya spesies burung hantu lain, serak bukit juga tergolong sebagai karnivor sejati. Mereka mengonsumsi beragam jenis pengerat, mamalia kecil, kelelawar, katak, kadal, dan serangga berukuran besar. Yang jadi masalah, habitat mereka yang berada di hutan lebat membuat burung ini tak bisa terbang dengan leluasa untuk menyambar mangsa saat berburu, layaknya burung elang. Namun, serak bukit punya solusi untuk masalah ini.

Owl Pages melansir kalau sayap serak bukit tidak terlalu panjang dan membulat. Bentuk ini membuat mereka lebihi mudah bermanuver di antara lebatnya vegetasi hutan. Burung hantu ini mulanya akan bertengger pada dahan pohon muda yang tidak terlalu tinggi dan menerjang dengan cepat. Adapun, sayap mereka hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Cakar serak bukit akan bertugas sebagai kait yang menangkap target sebelum akhirnya membawa makanan itu ke tempat yang aman. Belum lagi kalau kita membicarakan soal mata dari burung hantu ini, ukuran mata mereka tak sekadar besar, tetapi juga menghasilkan pandangan yang luas, terfokus, dan sangat jelas. Ini layaknya kacamata penglihatan malam.

3. Punya beragam suara unik

serak bukit punya berbagai suara vokal (commons.wikimedia.org/JJ Harrison)

Burung hantu memang dikenal sebagai keluarga burung yang cukup vokal. Karena itu, wajar kalau serak bukit memiliki beberapa jenis suara yang mereka keluarkan tergantung dengan situasi. Dilansir Owl Pages, suara paling umum dikeluarkan burung ini berupa 4—7 rangkaian siul melankolis dengan rata-rata 2 nada per detik selama 2—8 detik lamanya.

Kalau digambarkan lewat kata-kata, suara siulan serak bukit akan terdengar seperti kleet-kleet-kleet dan kleek-kleek-kleek. Tentunya, sebagai hewan nokturnal, suara-suara serak bukit baru bisa didengar saat malam tiba. Burung hantu ini akan semakin vokal lagi saat musim kawin dan merawat anak-anak tiba karena pada waktu itulah serak bukit banyak berinteraksi dengan sesama.

4. Sistem reproduksi

Pasangan serak bukit dikenal sebagai induk yang kompak dalam merawat anak-anak mereka. (commons.wikimedia.org/shankar s.)

Tidak diketahui apakah serak bukit memiliki ritual perkawinan khusus antara jantan dan betina. Namun, biasanya, musim kawin burung ini dimulai pada Maret hingga Mei. Kebanyakan pasangan serak bukit akan mencari celah lubang batang pohon sebagai sarang. Namun, beberapa individu di Pulau Jawa ternyata juga bisa membangun sarang di atas pohon sawit. Hebatnya, pasangan serak bukit ini terbilang sangat kompak dalam membesarkan anak mereka, lho.

Dilansir Animalia, betina umumnya akan mengeluarkan 3—5 butir telur yang akan memasuki masa inkubasi selama 36—42 hari. Setelah menetas, kedua induk mereka akan bergantian menjaga sarang dari ancaman dan mencari makanan untuk mereka, yang biasanya terdiri atas kadal, katak, atau serangga kecil. Proses ini terus dilakukan serak bukit jantan dan betina hingga anak mereka bisa hidup mandiri. Inilah yang membuat persentase kelangsungan hidup anak serak bukit hingga dewasa bisa mencapai 100 persen pada tiap musim kawin mereka, lho.

5. Status konservasi

seekor serak bukit yang sedang beristirahat (commons.wikimedia.org/Rongrong Angkaew)

Luasnya peta persebaran dan proses reproduksi yang bisa mencapai hasil 100 persen tiap tahun membuat populasi serak bukit sebenarnya ada pada posisi yang baik. IUCN Red List melabeli burung ini dalam kategori kekhawatiran rendah (Least Concern) dengan tren populasi yang stabil. Namun, untuk angka populasi secara pasti sulit ditentukan karena habitat burung ini cukup sulit diakses dan diidentifikasi.

Di balik itu semua, ada cerita menarik sekaligus tragis dari spesies ini. Dilansir Animalia, populasi serak bukit yang berada di Pulau Samar, Filipina, sudah musnah saat Perang Dunia II terjadi. Sebenarnya, manusia hanya pernah melihat satu individu di tempat itu, sebelum akhirnya tak pernah terlihat lagi setelah pengeboman yang terjadi di Pulau Samar pada 1945.

Cerita itu tentu jadi tamparan keras bagi kita. Sebab, aktivitas manusia yang merusak alam, apa pun bentuknya, ternyata bisa dengan mudah menghancurkan populasi hewan yang ada di dalamnya. Apalagi, dengan deforestasi yang terus meluas di sekitar habitat serak bukit, bukan tidak mungkin status aman burung ini akan berubah menjadi terancam jika kita tidak mulai menjaga alam. Sayang sekali, kan, kalau harus kehilangan predator langit yang bisa mengontrol populasi hewan-hewan kecil ini?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha ‎