8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II 

Puluhan ribu tawanan dipaksa berjalan menuju kematiannya 

Pada 9 April 1942, pasukan Amerika Serikat beserta Filipina menyatakan menyerah kepada Jepang yang telah menguasai sebagian besar wilayah Filipina. Pasukan yang tersisa di Bataan kemudian dikumpulkan dan dipaksa untuk berjalan kaki menempuh jarak yang sangat jauh menuju Kamp O’Donnell. Para tawanan perang ini terus mendapat perlakuan yang tidak manusiawi sepanjang perjalanan.

Siksaan hingga penyakit yang diderita tawanan membuat banyak dari mereka meninggal selama dalam perjalanan maupun ketika berada di Kamp O'Donnell. Peristiwa ini dikenal sebagai Bataan Death March atau Barisan Kematian Bataan. Berikut 8 fakta yang akan mengisahkan tragedi mengerikan yang terjadi di Bataan.

1. Invasi Jepang ke Filipina 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Pearl Harbor milik Amerika Serikat sudah berhasil dihajar oleh Kekaisaran Jepang pada 7 Desember 1941, menandai awal Perang Dunia II di kawasan Pasifik. Sehari kemudian, seperti ditulis dalam laman History, Jepang memulai invasi ke Filipina.

Pasukan Amerika Serikat dibantu pasukan Filipina tidak mampu membendung serangan bertubi-tubi Jepang akibat kurangnya kemampuan dan peralatan perang. Hanya dalam waktu sebulan, Manila, ibu kota Filipina telah jatuh ke tangan Jepang. Belum menyerah, aliansi Amerika Serikat dan Filipina menarik diri dari Manila dan melanjutkan perlawanan di Semenanjung Bataan pada 1 Januari 1942.

2. Pasukan Amerika akhirnya menyatakan menyerah 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Kondisi pasukan gabungan Amerika Serikat dan Filipina di Bataan sangat memprihatinkan. Sekitar 3 bulan lamanya mereka terpaksa bertahan hidup di hutan dengan makanan yang terbatas, bertempur dengan amunisi yang semakin sedikit dan berbagai penyakit seperti malaria yang mulai menjangkiti pasukan. Kondisi ini membuat pasukan tidak mampu lagi untuk bertempur melawan Jepang.

Seperti ditulis dari laman Britannica, Jenderal Edward King, komandan Amerika Serikat yang memimpin pasukan perlawanan di Bataan menyatakan menyerah kepada Jepang pada 9 April 1942.

Jumlah pasukan yang menyerah sebanyak sekitar 76.000, tercatat sebagai jumlah pasukan terbesar dalam sejarah di bawah komando Amerika Serikat yang menyatakan menyerah dan kekalahan pertempuran darat pertama Amerika dalam Perang Dunia II.

Baca Juga: 8 Informasi Rahasia Ini Berhasil Disadap Sekutu Selama Perang Dunia II

3. Tawanan dipaksa berjalan kaki 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Pasukan Jepang memerintahkan para tawanan yang tersebar di Semenanjung Bataan untuk berjalan kaki menuju Kamp O’Donnell, bekas markas militer Filipina di Capas. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki dari Mariveles di ujung selatan Bataan menuju ke San Fernando di utara sejauh lebih dari 100 km.

Barisan akan melalui lokasi-lokasi persembunyian pasukan Amerika sehingga seluruh tawanan akan berjalan dalam satu barisan yang sama. Perjalanan ditempuh selama 5 hingga 10 hari tergantung lokasi bergabungnya mereka dalam barisan.

Sesampainya di San Fernando, tawanan akan diangkut menggunakan kereta api menuju Capas. Tawanan harus berdiri berdesakan selama perjalanan di dalam gerbong yang sempit, pengap dan tidak semestinya diisi begitu banyak orang.

Tidak heran jika ada tawanan yang mati berdiri. Tawanan kembali berjalan kaki menuju Kamp O’donnell setelah mereka tiba di Capas.

4. Penyiksaan selama perjalanan 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Irvin Scott, seorang veteran Amerika Serikat yang merasakan kengerian di Bataan menceritakan kisahnya dalam laman U.S. Department of Veterans Affairs. Scott menyaksikan kekejaman selama perjalanan menuju Kamp O’Donnell mulai dari tawanan yang disalib, dipenggal hingga mayat rekan seperjuangannya yang tergeletak di jalanan dan dilindas oleh truk dan tank Jepang.

Scott juga hampir tewas akibat malaria selama menjadi tawanan Jepang, tapi berhasil pulih berkat bantuan teman-teman sesama tawanan. Ia menceritakan bahwa suatu hari ada seorang tentara Jepang yang secara diam-diam memberi makanan kepadanya beserta obat malaria.

Seperti ditulis dalam laman Britannica, tentara Jepang melakukan penyiksaan kepada tawanan untuk memaksa mereka tetap berjalan. Namun, terkadang siksaan tetap dilakukan tanpa alasan yang jelas. Bagi yang tidak dapat melanjutkan perjalanan akan dikubur hidup-hidup atau dihajar menggunakan sekop hingga tewas oleh sesama tawanan yang dipaksa oleh tentara Jepang.

5. Korban jiwa berjatuhan dalam jumlah besar

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II britannica.com

Tawanan sudah kelaparan, kelelahan hingga terjangkit penyakit tropis ketika menyatakan menyerah, tetapi pasukan Jepang tetap memaksa mereka untuk berjalan kaki. Tidak heran jika korban jiwa berjatuhan.

Kondisi di Kamp O’Donnell juga jauh lebih mengerikan dibanding ketika perjalanan dari Bataan. Tawanan harus melakukan kerja paksa membangun fasilitas militer Jepang. Selain itu, kebutuhan pokok bagi tawanan tidak sepenuhnya terpenuhi.

Diketahui bahwa Jepang sendiri ternyata tidak menduga akan mendapat tawanan perang sebanyak itu sehingga mereka hanya mampu memberikan kebutuhan dasar seadanya bagi tawanan. Akibatnya, banyak tawanan yang menderita kelaparan dan sakit selama di Kamp O’Donnell.

Seperti ditulis dalam laman Britannica, diperkirakan sekitar 500 orang dari pihak Amerika dan 2.500 dari pihak Filipina meninggal selama perjalanan. Sementara itu, 26.000 orang Filipina dan 1.500 orang Amerika meninggal ketika berada di Kamp O’Donnell. Persentase kematian ini melampaui persentase kematian tawanan perang di kamp milik Nazi Jerman.

6. Menjadi propaganda perang 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II fortmissoulamuseum.org

Pada mulanya, kejadian mengerikan di Bataan belum diketahui oleh pihak Amerika Serikat. Seperti ditulis dalam laman Origins, informasi baru didapatkan ketika terdapat tawanan dari Bataan yang berhasil melarikan diri ke Australia. Media massa mulai memberitakan tentang peristiwa di Bataan pada Februari 1944.

Informasi tentang kekejaman Jepang terhadap tawanan perang di Bataan dimanfaatkan Amerika Serikat sebagai propaganda perang untuk memancing kemarahan masyarakat Amerika. Awalnya, Amerika Serikat menutupi informasi tentang kejadian di Bataan karena khawatir jika Jepang akan melakukan aksi balasan yang lebih mengerikan dengan membantai tawanan yang masih hidup.

7. MacArthur kembali ke Filipina 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Pada Oktober 1944, tawanan mulai mendapat sinar harapan ketika Amerika Serikat memulai operasi pembebasan Filipina. Mengutip dari laman History, Jenderal Douglas MacArthur memimpin pasukan Amerika Serikat mengusir Jepang dari Filipina.

MacArthur telah menepati janjinya yang fenomenal bahwa ia akan kembali ke Filipina. Sebelumnya, ia harus dievakuasi dari Filipina ke Australia pada 11 Maret 1942 setelah gagal merebut kembali Manila dan posisi Jepang sudah semakin kuat di Filipina.

Operasi pembebasan Filipina secara resmi selesai pada Juni 1945, menandai berakhirnya kekuasaan Jepang di sana. Sayangnya, hanya sepertiga dari total pasukan MacArthur yang ia tinggalkan pada 1942 yang selamat dan dapat melihat kembalinya pimpinan mereka ke Filipina. Sisanya sudah tewas selama menjadi tawanan perang Jepang.

8. Termasuk kejahatan perang 

8 Fakta Bataan Death March yang Mengerikan dalam Perang Dunia II history.navy.mil

Berbagai laporan terkait adanya tindak kejahatan perang di Bataan yang dilakukan oleh pihak Jepang menjadi sorotan publik setelah Perang Dunia II berakhir. Pada awal tahun 1946 pengadilan militer kemudian digelar di Manila untuk menyelidiki kasus Bataan.

Seperti ditulis dalam laman Origins, Jenderal Masaharu Homma sebagai komandan pasukan Jepang selama invasi Jepang ke Filipina dinyatakan bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan perang terhadap tawanan perang di Bataan dan Kamp O’Donnell. Ia dieksekusi oleh regu tembak pada 3 April 1946.

Sekali lagi perang telah menunjukkan sisi gelapnya pada kita bahwa manusia dapat menjadi sangat kejam hanya dengan alasan fanatik terhadap negara atau ideologi tertentu. Seharusnya, manusia tetap mengedepankan sisi kemanusiaan meski dalam peperangan sekalipun. Bagaimana menurut kalian?

Baca Juga: 5 Fakta Unsinkable Sam, Kucing Pelaut Legendaris dari Perang Dunia II

Farhan Alam Photo Verified Writer Farhan Alam

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya