ilustrasi fenomena tornado (commons.wikimedia.org/Stefan Klein)
Fenomena tornado yang fantastis 'langganan' muncul di berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Texas bahkan memegang rekor tahunan dengan kejadian sebanyak 120 kali tornado dalam setahun. Sebaliknya, di Indonesia tidak pernah ada fenomena tornado yang dilaporkan oleh instansi berwenang.
Penggunaan sebutan mengenai pusaran angin yang dibahas sebelumnya bisa jadi salah satu alasan kenapa di Indonesia tidak bisa terjadi tornado. Ringkasnya, kita tidak menyebutkan pusaran angin tersebut sebagai tornado, melainkan angin puting beliung.
Kendati demikian, sebetulnya angin puting beliung dan tornado ialah hal berbeda. Perbedaan angin puting beliung dan tornado paling kentara adalah dari ukuran kekuatannya. Pusaran angin tornado di Amerika Serikat terjadi dalam ukuran besar dibanding puting beliung yang melanda Indonesia. Lantas, kenapa ukuran puting beliung di Indonesia tidak sebesar tornado di Amerika Serikat?
Nah, hal ini ada kaitannya dengan letak Indonesia yang berada di bawah garis ekuator. Perlu diketahui, ada banyak faktor mengapa tornado bisa muncul di suatu wilayah dengan frekuensi lebih sering atau berukuran lebih besar. Salah satu faktornya adalah badai.
Badai yang melanda dapat memicu terbentuknya banyak tornado, melansir Global Precipitation Measurement NASA. Nah, dari seluruh negara di dunia, Amerika Serikat menduduki posisi pertama sebagai negara yang paling sering mengalami cuaca ekstrem dan badai. Hal ini selaras dengan posisi Amerika Serikat yang diapit oleh dua samudera, Teluk Meksiko, Pegunungan Rocky, hingga wilayah semenanjung. Letak tersebut lantas membuat benturan front badai dan arus jet berpadu, melansir PBS.
Sementara itu, negara di kawasan ekuator terdampak efek Coriolis yang menghalau badai. Merujuk pada National Oceanic and Atmospheric Administration, efek Coriolis adalah pembelokan sirkulasi udara akibat dari rotasi bumi. Efek tersebut membuat udara belok ke kanan di belahan bumi utara dan ke kiri pada belahan bumi selatan sehingga menghasilkan jalur melengkung.
Efek Coriolis ini terlalu lemah untuk membuat udara berputar yang memicu badai. Gary Barnes, seorang Profesor di Departemen Meteorologi Universitas Meteorologi Hawaii menyebutkan bahwa efek Coriolis menarik badai menjauh dari garis khatulistiwa.