ilustrasi demonstran yang terkena gas air mata (unsplash.com/Norbu GYACHUNG)
Dalam CWC, disebutkan pengecualian terhadap penggunaan gas air mata. Aparat penegak hukum bisa menggunakan riot agent control (seperti gas air mata) untuk mengendalikan huru-hara domestik. Itulah mengapa polisi bisa menggunakannya terhadap warga sipil.
Sumber yang sama menjelaskan bahwa PBB mengeluarkan paduan baru yang di dalamnya membahas mengenai penggunaan gas air mata ini. Dipaparkan bahwa gas air mata harusnya hanya digunakan pada individu atau kelompok yang melakukan kekerasan, kecuali jika penggunaannya untuk pembubaran massa secara keseluruhan memang sah secara hukum. Namun, itu juga perlu mempertimbangkan dampaknya pada peserta aksi yang tidak melakukan kekerasan maupun masyarakat sekitar yang kebetulan berada di lokasi.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan potensi kepanikan di tengah kerumunan dan risiko yang dapat ditimbulkannya. Contohnya, gas air mata seharusnya tidak boleh ditembakkan ke area tertutup yang padat orang, seperti dalam tragedi Kanjuruhan. Jarak tembakan gas juga harus diperhatikan karena jika terlalu dekat, risikonya bisa fatal. Gas air mata juga seharusnya tidak digunakan di area sipil, seperti kampus, sekolah, stasiun, dan lain sebagainya.
Jadi, penggunaan gas air mata dalam perang dilarang karena tergolong sebagai senjata kimia. Jika digunakan, efeknya tidak bisa membedakan sasaran yang dituju. Meski ada pengecualian bagi aparat penegak hukum, penggunaannya tetap diatur ketat dan harus mempertimbangkan berbagai faktor.
Tidak heran mengapa banyak kecaman yang timbul, sebab paparan gas air mata terlalu lama dapat membahayakan, apalagi bagi individu dengan kondisi kesehatan tertentu. Karena itu, penggunaan gas air mata seharusnya mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Di Indonesia, penggunaan gas air mata diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009.