seorang pawang dan seekor gajah yang sedang bermain air (commons.wikimedia.org/Hendrapictures)
Gajah memang masih sanggup menahan bobot manusia yang menunggangi mereka. Namun, tidak dengan tambahan-tambahan lain, seperti howdah, yang biasa digunakan pada tempat atraksi menunggang gajah untuk turis. Tak hanya soal fisik, mental gajah yang digunakan untuk keperluan komersial ini turut rusak karena praktek latihan yang terbilang kejam. Misalnya saja, ada satu teknik pelatihan yang disebut phajaan.
Dilansir World Challenge, phajaan digunakan untuk "menjinakkan" anak gajah liar yang berhasil ditangkap. Mula-mula, anak gajah akan dipisahkan dari induk mereka dan ditempatkan di kandang yang sempit. Setelah itu, anak gajah akan dipukul berkali-kali hingga mental mereka terganggu dan menjadi lebih menurut pada manusia. Mirisnya, praktik kejam ini masih cukup banyak ditemukan dan diperkirakan masih ada ribuan gajah yang menerima perlakuan ini.
Tak hanya gajah yang berasal dari alam liar, kondisi serupa terkadang juga dialami gajah-gajah yang lahir dalam penangkaran. Dilansir Phuket Elephant Nature Reserve, gajah yang ada di penangkaran terkadang harus menghadapi stres karena lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di hutan. Dari yang tadinya mereka bebas menginjak tanah, di sana gajah harus terbiasa menginjak beton dan semen yang lambat laun pasti akan berpengaruh pada telapak kaki gajah yang terbilang lembut.
Jika melihat urusan etika, terkadang gajah yang ada di tempat wisata pasti dirantai dengan erat. Terkadang, rantai ini akan saling dihubungkan dengan rantai gajah lain sehingga membuat pergerakan satu ekor gajah jadi terbatas. Sebab, mereka terpaksa harus ikut dengan kawanan gajah yang dirantai bersamaan yang jadi tanda kalau kebebasan gajah untuk bergerak jadi direnggut.
Masalah mental yang diterima gajah ini semakin menjadi-jadi kalau kita melihat kondisi hidup mereka. Gajah di penangkaran dapat menunjukkan perilaku agresif secara acak karena perlakuan pelatih tak bertanggung jawab ataupun diakibatkan stres berlebih. Untuk itu, khusus di lembaga penangkaran dan pelestarian resmi, gajah-gajah yang dirawat akan dibiarkan berkeliling hutan secara berkala dan terkontrol.
Atas sejumlah masalah itulah beberapa tahun ke belakang, gerakan untuk menghentikan aktivitas menunggang gajah demi keperluan komersial digaungkan. Sejumlah cara sudah dilakukan, mulai dari membebaskan individu gajah yang dimanfaatkan untuk ditunggangi secara komersial hingga kampanye untuk mengingatkan wisatawan soal pentingnya bagi kita untuk mulai mengikuti gerakan ini. Dengan mulai sadar dan tidak ikut atraksi menunggang gajah di kebun binatang ataupun lokasi wisata, kita sudah bisa, kok, berpartisipasi demi kesejahteraan si gajah.
Memang, pada kenyataannya, kita pasti masih akan menemukan gajah-gajah yang ditunggangi manusia. Beberapa sektor jelas memerlukan penunggang gajah supaya aktivitas dapat berjalan lancar. Sebut saja pengawas hutan yang dekat dengan habitat gajah. Mereka tetap perlu menunggangi gajah agar bisa menghalau kawanan gajah liar yang berpotensi untuk memasuki pemukiman manusia. Belum lagi kalau kita melihat lembaga konservasi dengan segala keperluannya dengan penunggang gajah.
Meskipun demikian, berbeda dengan gajah yang ditunggangi untuk komersial, beban gajah-gajah yang bekerja dengan lembaga konservasi resmi itu jauh lebih diperhatikan kesejahteraannya. Beban yang diangkut pun tidak berlebih karena biasanya hanya akan mengangkut pelatih saja. Makanan, minuman, kesehatan, hingga kebebasan gajah-gajah lembaga konservasi pun dijamin ketersediaannya.
Kondisi ini jelas berbanding terbalik kalau melihat gajah-gajah atraksi yang tak jarang dieksploitasi. Lebih-lebih lagi, jika penyelenggara tersebut tidak bertanggung jawab dan memaksakan gajah atraksi untuk terus mengangkut beban berat dalam waktu panjang. Semoga saja gerakan ini dapat digaungkan lebih luas lagi, tak hanya sebatas pada gajah, tetapi juga pada spesies hewan lain yang kesejahteraannya direnggut secara tidak etis, ya!