Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pentingnya Deklarasi Darurat Iklim, Amerika Serikat Disorot

Warga Melbourne melakukan unjuk rasa menuntut deklarasi darurat iklim pada 20 September 2019 di Treasury Gardens. Ini merupakan protes iklim terbesar di Australia hingga sekarang. (commons.wikimedia.org/Takver)
Intinya sih...
  • Pada 2022, gelombang panas melanda AS dan Eropa. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dan dampak buruk terhadap manusia.
  • Deklarasi darurat iklim dibuat oleh beberapa negara, termasuk Skotlandia dan Wales di Australia.
  • Joe Biden belum mendeklarasikan darurat iklim di AS meski ditekan oleh aktivis iklim.

Pada 2022, gelombang panas dahsyat melanda sebagian Amerika Serikat. Gelombang panas serupa melanda sebagian Eropa. Selain dampak buruk suhu panas ekstrem terhadap manusia dan hewan, dampak fenomena ini juga memengaruhi aspek kehidupan lainnya, contohnya kebakaran hutan yang terus bermunculan.

Para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai heat dome atau kubah panas, fenomena berupa kubah bertekanan tinggi di suatu wilayah. Kubah yang menyelimuti suatu wilayah ini memerangkap suhu panas. Namun, dalam arti yang lebih luas, gelombang panas ini disandingkan dengan dampak perubahan iklim yang terus terjadi dan semakin parah.

Beberapa pemerintah dunia, termasuk Amerika Serikat, mempunyai badan legislatif dan ekonomi untuk menghadapi situasi seperti ini, yakni deklarasi darurat iklim. Awalnya, deklarasi darurat iklim dibuat oleh Skotlandia dan Wales, yang merupakan negara-negara pertama yang memberlakukan hal tersebut pada 2019, menurut situs Climate Emergency Declaration. Jadi, apa sebenarnya deklarasi darurat iklim ini? Mari, kita cari tahu!

1. Deklarasi darurat iklim digagas pada 2016

papan unjuk rasa darurat iklim (pixabay.com/Kevin Snyman)

Tergantung di mana deklarasi tersebut dibuat dan oleh siapa. Ya, seperti yang mungkin kalian tahu, deklarasi darurat iklim bisa saja sekadar basa-basi yang menyatakan bahwa perubahan iklim adalah masalah serius yang perlu segera diatasi. Bisa juga ini merupakan tindakan legislatif yang secara teori harus ditindaklanjuti dengan sebuah aksi nyata. Pasalnya, deklarasi darurat iklim yang pertama kali dibuat hanyalah omong kosong.

Pada 2016, pemerintah Darebin di pinggiran Kota Melbourne, Australia, mengeluarkan resolusi yang menyatakan, "Dewan menyadari bahwa kita berada dalam keadaan darurat iklim yang harus bertindak sesegera mungkin dan melibatkan semua pihak, seperti tingkat pemerintahan, termasuk oleh dewan lokal." Sayangnya, deklarasi tersebut sekadar kata-kata dalam sebuah halaman. Meski begitu, deklarasi tersebut merupakan sebuah langkah signifikan di Australia lantaran konsep pemanasan global sebagai suatu keadaan yang darurat pernah ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada saat itu.

Namun, ketika Wales mengumumkan keadaan darurat iklim pada 2019, pernyataannya itu disertai dengan tindakan. Bersamaan dengan deklarasi tersebut, muncul komitmen dari Wales. Mereka hendak mewujudkan sektor publik yang netral karbon pada 2030.

2. Deklarasi darurat iklim di Amerika Serikat

ilustrasi perusahaan minyak dan gas (migas) dunia (IDN Times/Arief Rahmat)

Jika deklarasi darurat iklim dibuat di AS, lembaga eksekutif AS kemungkinan akan mengambil tindakan terhadap isu-isu iklim dengan persetujuan Kongres AS. Misalnya, hal ini dapat menghentikan ekspor minyak mentah Amerika dan dapat memberlakukan moratorium pengeboran minyak lepas pantai. Deklarasi ini juga dapat memberikan hukuman kepada negara-negara yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, seperti Brazil yang sebagian besar hutan hujan Amazonnya dirusak tanpa terkendali.

Deklarasi ini memungkinkan presiden untuk mengalihkan dana dari anggaran militer ke hal-hal yang lebih penting. Faktanya, memang ada preseden untuk pengalihan dana seperti ini meski hal ini tidak selalu berkaitan dengan perubahan iklim. Seperti pada 2020 lalu, Presiden Donald Trump mengalihkan dana sebesar 3,8 miliar dolar AS setara dengan Rp61 triliun dari anggaran Departemen Pertahanan untuk pembangunan tembok perbatasan di sepanjang perbatasan AS-Meksiko, sebagaimana yang dijelaskan NPR News.

Namun, jika tindakan “ekstrem” tersebut diambil oleh lembaga eksekutif, tindakan tersebut pasti akan tertunda karena adanya tuntutan hukum yang tidak bisa dihindari, misalnya adanya tuntutan hukum dari perusahaan minyak atau partai oposisi. Perlu diingat juga bahwa tindakan semacam itu hanyalah salah satu fase dari sebuah proses yang akan memakan waktu puluhan tahun. Tidak terbayang, kan, bagaimana rumitnya hal ini?

3. Joe Biden ditekan untuk mendeklarasikan darurat iklim

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, berbicara dengan peserta Moving America Forward Forum yang diselenggarakan oleh United for Infrastructure di Perkumpulan Mahasiswa di Universitas Nevada, Las Vegas, Nevada, pada 16 February 2020. (commons.wikimedia.org/Gage Skidmore)

Hingga 20 Agustus 2023, Presiden AS, Joe Biden, belum mendeklarasikan darurat iklim meski ia terus-menerus ditekan oleh pegiat iklim. Pada 2022, agenda perubahan iklim Joe Biden pernah digagalkan ketika sekutunya dari Partai Demokrat di Senat, Senator Virginia Barat, Joe Manchin, menarik dukungannya terhadap undang-undang tersebut. Hal ini membuat undang-undang tersebut tidak berlaku lagi.

Senator Oregon, Jeff Merkley, misalnya, menulis di akun X-nya, "[Biden] harus mengambil tindakan besar dalam bidang iklim, dimulai dengan mendeklarasikan keadaan darurat iklim sehingga kita dapat mengambil tindakan berani sekarang untuk mengatasi dampak buruk kekacauan iklim terhadap kesehatan, lingkungan, dan perekonomian kita."

Joe Biden sendiri mengaku telah mendeklarasikan keadaan darurat iklim meski Gedung Putih belum mendeklarasikan secara resmi. Biden mengakui bahwa Amerika sebenarnya berhasil melindungi banyak hutan, bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris 2015, membuat fasilitas pengendalian iklim, dan mengeluarkan anggaran untuk energi bersih dan mempercepat transisi energi senilai ratusan miliar dolar yang termasuk dalam perjanjian tersebut. Meski begitu, hal ini ditentang keras oleh aktivis perubahan iklim.

Para aktivis lingkungan kecewa dengan Joe Biden karena pernyataannya tidak sesuai dengan kenyataan. Pasalnya, Amerika sedang diterjang gelombang panas pada saat itu. Ditambah lagi, kebakaran hutan di banyak wilayah di Amerika terus terjadi. Di sisi lain, Joe Biden justru membiarkan perluasan bahan bakar fosil yang justru membuat Bumi semakin panas. Secara tidak sadar, Biden dianggap telah menghancurkan komunitas terdampak dan satwa liar.

4. Membutuhkan waktu belasan, bahkan puluhan tahun, sebelum suatu negara dapat mewujudkan energi yang ramah lingkungan

turbin angin di Turlock, Amerika (unsplash.com/American Public Power Association)

Bahkan, jika Presiden Joe Biden mendeklarasikan keadaan darurat iklim saat ini, perlu waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum dampak dari deklarasi tersebut dapat dirasakan. Jika Biden mengalihkan 10 miliar dolar AS atau setara Rp160 triliun untuk membangun turbin angin, misalnya, akan ada banyak birokrasi yang harus diselesaikan dan diputus. Selain itu, pemerintah juga harus mengidentifikasi dan membeli lahan untuk membangun turbin angin, mempekerjakan pekerja untuk membangun turbin angin, memelihara turbin angin tersebut, dan lain-lain. Ditambah lagi, butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat mesin turbin angin tersebut dapat digunakan. Lalu, dibutuhkan berpuluh-puluh tahun sebelum dampaknya terhadap pengurangan karbon dioksida di atmosfer dapat dirasakan.

Lebih jauh lagi, pasti ada perlawanan sengit dari dalam pemerintahan—dan hampir pasti ada—tuntutan hukum yang dapat menghambat upaya tersebut selama bertahun-tahun. Apa pun dapat dibatalkan oleh presiden yang akan menjabat nantinya. Pengecualiannya jika seorang presiden cukup proaktif untuk mengatasi perubahan iklim tersebut.

Memang tidak ada yang tidak mungkin jika manusia ingin melakukan perubahan, termasuk menyelamatkan Bumi tempat kita tinggal ini. Memang tidak mudah dan butuh banyak dukungan dari banyak pihak. Namun, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bisa menciptakan kebijakan melalui undang-undang untuk memperbaiki segala kekacauan ini. Semoga masalah perubahan iklim ini segera dapat diatasi bersama, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us