Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Demonstrasi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan banyak universitas lainnya se-Kota Medan di depan gedung DPRD SUMUT
Demonstrasi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan banyak universitas lainnya se-Kota Medan di depan gedung DPRD SUMUT (commons.wikimedia.org/Nafisathallah)

Intinya sih...

  • Demonstrasi era kolonial: Boedi Oetomo, peran mahasiswa dalam perjuangan kemerdekaan.

  • Era orde lama dan lahirnya tritura (1966): KAMI dan KAPPI, tiga tuntutan Tritura, penerbitan Supersemar.

  • Era orde baru dan pergerakan bawah tanah (1966-1998): Gerakan Reformasi 1998, jatuhnya Soeharto.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Istilah "demonstrasi" memiliki sejarah yang menarik dan makna yang berkembang seiring waktu. Secara etimologis, kata "demonstrasi" berasal dari bahasa Latin, yaitu “demonstrare”. Kata ini terdiri dari “de” yang berarti "seluruhnya" dan “monstrare” yang berarti "menunjukkan" atau "mengungkapkan".

Awalnya, demonstrasi lebih merujuk pada tindakan yang menunjukkan cara melakukan sesuatu, seperti dalam konteks pendidikan dengan memperagakan keterampilan. Namun, seiring berjalannya waktu, maknanya bergeser dan mulai dikaitkan dengan tujuan politik atau sosial, yang seringkali melibatkan pawai. Di Indonesia, istilah demonstrasi semakin populer dan disingkat menjadi "demo", yaitu gerakan protes yang dilakukan sekelompok orang di muka umum.

Dari era yang penuh represi hingga masa kebebasan, demonstrasi telah menjadi indikator krusial yang menunjukkan sejauh mana demokrasi kita berkembang. Berikut adalah fase krusial dalam sejarah demonstrasi Indonesia.

1. Demonstrasi era kolonial

Pengajar maupun pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra (STOVIA) yang menjadi cikal bakal organisasi Boedi Oetomo 1908 (commons.wikimedia.org/Tan Tjie Lan.)

Munculnya demonstrasi di Indonesia tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada awal abad ke-20, kaum terpelajar mahasiswa mulai membentuk organisasi modern pertama untuk menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan pemuda, seperti Boedi Oetomo (1908). Organisasi ini tidak hanya fokus pada pendidikan, tetapi juga menjadi wadah diskusi politik dan perjuangan kemerdekaan.

Setelah 1945, peran mahasiswa semakin sentral. Mereka tidak hanya terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi juga menjadi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.

2. Era orde lama dan lahirnya tritura (1966)

Mural di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta, yang memperingati peristiwa Tritura dan Supersemar tahun 1966 (commons.wikimedia.org/View this image on the website of the Nationaal Museum van Wereldculturen)

Pada pertengahan tahun 1960-an, situasi di Indonesia sangat kacau. Inflasi melambung hingga menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak tajam dan masyarakat menderita. Di sisi lain, ketegangan politik memanas setelah Peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Presiden Soekarno pun dianggap lamban dan ragu-ragu dalam mengambil sikap terhadap PKI, sehingga membuat banyak pihak merasa kecewa.

Pada 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), bersama-sama dengan berbagai organisasi pemuda lainnya, bersatu dan menggelar demonstrasi besar. Mereka membawa tiga tuntutan utama yang dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yang berisi:

  1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)

  2. Perombakan Kabinet Dwikora

  3. Penurunan harga dan perbaikan ekonomi rakyat

Puncak dari serangkaian demonstrasi Tritura adalah penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Surat ini memberikan mandat penuh kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah tegas demi menjaga keamanan. Perlahan tapi pasti, kekuasaan Soekarno pun terkikis hingga akhirnya digantikan oleh Soeharto sebagai presiden pada tahun 1967.

3. Era orde baru dan pergerakan bawah tanah (1966-1998)

Mahasiswa dan masyarakat melakukan demo di halaman gedung MPR/DPR RI, Mei 1998 (commons.wikimedia.org/Kaliper1)

Masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dikenal sebagai era dengan kontrol politik yang sangat ketat. Ruang gerak untuk berpendapat, berorganisasi, dan berdemonstrasi sangat dibatasi. Siapa pun yang dianggap menentang kebijakan pemerintah bisa langsung ditangkap, dibungkam, atau dipenjara.

Karena hal tersebut, rakyat mulai beradaptasi dengan melakukan pergerakan bawah tanah, alias aksi terorganisasi, teratur, dan tersembunyi dalam hal berdiskusi, menyusun kritik, dan merencanakan aksi. Meskipun dibatasi, protes terus bermunculan dengan isu-isu yang eksplisit, seperti Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Aksi ini dipicu oleh protes mahasiswa terhadap investasi asing yang dianggap merugikan, ketimpangan ekonomi, dan korupsi pemerintah Orde Baru, hingga berujung pada kerusuhan yang menyebabkan kerusakan dan korban jiwa.

Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, gerakan mahasiswa kembali bangkit dan lebih terorganisasi. Mereka secara terang-terangan menyuarakan kritik terhadap praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang merajalela di lingkaran kekuasaan. Gelombang protes ini didorong oleh krisis moneter yang membuat rakyat menderita pada tahun 1997-1998.

Puncak dari perlawanan di era Orde Baru adalah Gerakan Reformasi 1998. Saat itu, tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, yang menewaskan empat mahasiswa menjadi pemicu kemarahan publik dan menyebabkan ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru kota menduduki dan menguasai Gedung DPR/MPR. Aksi ini pun menjadi pukulan telak bagi rezim Orde Baru dan memaksa Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

4. Era reformasi dan kebebasan berunjuk rasa (1998-Sekarang)

Aksi unjuk rasa di depan kantor DPR menolak revisi UU Pilkada, 22 Agustus 2024 (commons.wikimedia.org/Jeromi Mikhael)

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki Era Reformasi. Era ini ditandai dengan dibukanya kebebasan berpendapat dan berorganisasi, di mana demonstrasi tidak lagi menjadi hal yang tabu dan berbahaya. Isu yang diangkat pun menjadi lebih beragam, mulai dari tuntutan kenaikan upah buruh, isu lingkungan, hingga penolakan terhadap rancangan undang-undang kontroversial.

Kemajuan teknologi informasi dan media sosial sangat berpengaruh, sehingga unjuk rasa dapat direncanakan dengan cepat dan dapat menjangkau lebih banyak orang dalam waktu singkat. Meskipun kebebasan meningkat, demonstrasi di era sekarang juga menghadapi tantangan, seperti munculnya provokasi dari pihak ketiga dengan tujuan memecah belah massa, penyebaran hoax dan narasi yang menyesatkan untuk memanipulasi opini publik, dan sengaja dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu untuk agenda tersembunyi.

5. Payung hukum demonstrasi

Aksi unjuk rasa di depan kantor DPR menolak revisi UU Pilkada, 22 Agustus 2024 (commons.wikimedia.org/Jeromi Mikhael)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjadi dasar hukum bagi masyarakat untuk berunjuk rasa. Undang-undang ini menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berunjuk rasa, asalkan dilakukan secara damai dan tidak melanggar hukum.

Unjuk rasa dapat dilaksanakan di tempat-tempat umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional; pada hari besar nasional. Demonstran juga dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum. Demonstrasi wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Surat pemberitahuan tersebut harus memuat:

  1. maksud dan tujuan;

  2. tempat, lokasi, dan rute;

  3. waktu dan lama;

  4. bentuk;

  5. penanggung jawab;

  6. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;

  7. alat peraga yang dipergunakan; dan/atau

  8. jumlah peserta.

Meskipun diperbolehkan, tetapi ada beberapa jenis unjuk rasa yang dilarang sebagaimana diatur dalam Perkapolri 7/2012, antara lain:

  1. Demo yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan

  2. Demo di lingkungan Istana Kepresidenan

  3. Demo di luar waktu yang ditentukan

  4. Demo tanpa pemberitahuan tertulis kepada Polri

  5. Demo yang melibatkan benda-benda yang membahayakan

Demonstrasi atau unjuk rasa adalah cerminan dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang telah membentuk bangsa ini. Aksi yang seringkali menjadi motor penggerak perubahan besar ini bukan sekadar kumpulan peristiwa, melainkan narasi yang kompleks dan dinamis tentang perjuangan rakyat. Demonstrasi tidak hanya tentang kebebasan, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga ketertiban umum. Jadilah demonstran yang bijak dan tidak mudah terprovokasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team