Mengapa Marah dengan Demo bukan dengan Penyebab Demo?

Setiap kali terjadi demo, perhatian publik justru sering kali terfokus pada keramaian di jalan, suara keras massa, hingga ketidaknyamanan yang dirasakan orang sekitar. Padahal, inti dari demo bukan sekadar aksi di permukaan, melainkan seruan yang lahir dari masalah mendalam yang belum terjawab. Menyalahkan demo tanpa menengok akar persoalan justru sama saja dengan mengabaikan tanda peringatan yang seharusnya direspons serius.
Demo selalu hadir sebagai refleksi ketegangan antara harapan dan kenyataan, antara janji dan realitas. Jika emosi diarahkan hanya pada wujud aksi, maka kemarahan akan salah alamat karena masalah sebenarnya tetap tak tersentuh. Inilah mengapa lebih tepat mengarahkan energi untuk memahami penyebab demo ketimbang menuding perilaku mereka yang turun ke jalan. Berikut penjelasan lebih luas dari berbagai sudut pandang.
1. Pemerintah membentuk ruang dialog dengan masyarakat

Salah satu alasan utama demo muncul adalah karena tidak adanya ruang komunikasi yang sehat antara penguasa dan rakyat. Ketika suara masyarakat sulit didengar melalui jalur formal, jalanan akhirnya menjadi pilihan untuk menyampaikan aspirasi. Demo menjadi bentuk perlawanan agar suara minoritas tidak terkubur oleh kepentingan yang lebih besar. Ini menandakan adanya celah dalam sistem yang seharusnya memberi ruang terbuka bagi warganya.
Jika pemerintah berani membangun forum dialog yang benar-benar inklusif, eskalasi demo bisa ditekan. Transparansi, kesediaan untuk mendengar, serta tindak lanjut nyata akan memberi rasa dihargai pada masyarakat. Dengan begitu, marah pada penyebab demo justru berarti menuntut penguasa serius membuka ruang dengar, bukan melabeli aksi massa sebagai gangguan semata.
2. Kebijakan publik menentukan rasa keadilan sosial

Kebijakan yang tidak berpihak pada kelompok rentan di masyarakat sering menjadi titik awal lahirnya demo. Misalnya, kebijakan kenaikan harga kebutuhan pokok tanpa perlindungan sosial yang memadai, tentu akan menimbulkan ketidakpuasan pada masyarakat. Orang yang merasa terdesak secara ekonomi akan mencari cara paling keras untuk menyuarakan keberatan mereka. Hal ini seacar tidak langsung menegaskan bahwa penyebab demo tidak bisa dipisahkan dari keputusan politik yang menyentuh kehidupan sehari-hari.
Kemarahan terhadap demo semestinya diarahkan pada kualitas kebijakan itu sendiri. Apakah pemerintah menimbang dengan cermat dampaknya bagi semua lapisan masyarakat? Apakah distribusi keadilan benar-benar berjalan atau justru timpang? Dengan menyoroti aspek tersebut, energi masyarakat dapat diarahkan pada evaluasi substansi kebijakan, bukan sekadar menolak wujud demonstrasi.
3. Media mengarahkan persepsi publik terhadap demo

Peran media dalam membingkai demo sangat menentukan cara masyarakat menilai peristiwa tersebut. Jika media lebih menyoroti kemacetan, kericuhan, atau kerusakan fasilitas, publik cenderung memandang demo sebagai masalah. Namun, jika media menekankan alasan mengapa orang turun ke jalan, wacana yang terbentuk akan lebih seimbang. Inilah yang sering kali luput dari perhatian.
Dengan cara pemberitaan yang bijak, media seharusnya membantu publik mengalihkan fokus pada penyebab demo, bukan hanya konsekuensi sesaat. Masyarakat jadi terdorong untuk bertanya masalah apa yang belum selesai hingga orang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan risiko keamanan? Perspektif semacam ini membuat demo dipahami sebagai gejala, bukan akar permasalahan.
4. Struktur sosial menciptakan kesenjangan yang memicu demo

Demo juga tidak lepas dari realitas sosial yang timpang. Ketika ada kelompok yang menikmati fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lebih baik, sementara kelompok lain terpinggirkan, ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Kesenjangan ini lalu menjadi bahan bakar utama yang membuat protes semakin keras. Demo bisa menjadi simbol ketidakpuasan terhadap struktur yang dianggap tidak adil.
Jika masyarakat hanya marah pada kerumunan demo, berarti mereka menutup mata terhadap ketimpangan nyata yang terus berlangsung. Lebih bijak jika amarah diarahkan pada sistem yang menutup akses bagi sebagian orang untuk hidup layak. Dengan begitu, diskusi akan bergerak ke arah perbaikan struktur sosial, bukan sekadar penghakiman atas aksi jalanan.
5. Partisipasi warga menentukan arah perubahan

Demo bukan hanya urusan mereka yang turun ke jalan saja, melainkan juga cerminan minimnya partisipasi publik dalam praktik politik sehari-hari. Banyak orang memilih diam, pasif, dan baru merasa terganggu ketika aksi protes berlangsung. Padahal, keterlibatan warga dalam mengawasi, mengkritisi, dan memberi masukan kebijakan dapat mencegah masalah membesar. Jika partisipasi minim, demo jadi wadah terakhir untuk menyuarakan keresahan.
Mengalihkan kemarahan pada penyebab demo berarti mendorong partisipasi lebih luas. Warga bisa aktif melalui jalur konstitusional, organisasi masyarakat, atau forum lokal agar aspirasi tersampaikan sebelum berubah menjadi gejolak. Dengan cara itu, demo tidak lagi dipandang sekadar keributan, tetapi sinyal yang memberi pelajaran tentang pentingnya keterlibatan semua pihak dalam menjaga keadilan sosial.
Demo bukanlah masalah utama yang harus dimusuhi, melainkan tanda dari persoalan yang lebih dalam. Jika energi publik diarahkan untuk memahami penyebab demo, maka jalan menuju perubahan akan lebih terbuka. Marah pada penyebab berarti berani mengkritisi kebijakan, sistem, dan pola komunikasi yang gagal, sehingga harapan masyarakat tidak lagi hanya bergema di jalanan.