TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Fakta Little Albert Experiment, Percobaan Fobia Kejam

Bayi menjadi subjek penelitian yang tidak etis

Little Albert Experiment (commons.wikimedia.org/Vibha C Kashyap)

Sebuah eksperimen dilakukan untuk mendukung atau menolak sebuah hipotesis. Sayangnya, tidak sedikit peneliti yang berusaha mencari jawaban dengan melegalkan segala cara. Melihat dari lensa sejarah, terdapat sejumlah contoh percobaan yang tidak etis, seperti Little Albert Experiment.

Artikel ini akan mengupas eksperimen populer yang mendapatkan kritik karena melibatkan bayi yang lugu dan tidak tahu apa-apa. Simak faktanya!

1. Eksperimen diadakan oleh John B. Watson

John Broadus Watson (commons.wikimedia.org/The Johns Hopkins Gazette)

Ide untuk menjalankan percobaan yang kini disebut 'Little Albert Experiment' datang dari John B. Watson. John merupakan psikolog Amerika yang memiliki peran penting dalam pengembangan behaviorisme, yakni sebuah teori belajar yang didasarkan pada gagasan bahwa semua perilaku diperoleh melalui pengondisian.

Kita mengambil contoh suntikan flu. Saat disuntik, seorang anak bisa saja merasakan sakit kemudian menangis. Oleh karena itu, anak tersebut mengaitkan jarum suntik dengan rasa sakit. Anak itu menjadi takut dan bahkan menangis saat melihat jarum suntik.

Dalam eksperimen ini, John dibantu oleh mahasiswa pascasarjana bernama Rosalie Rayner. Penjelasan percobaan ini kemudian dituangkan dalam artikel berjudul 'Conditioned emotional reactions' yang dimuat di Journal of Experimental Psychology tahun 1920.

Baca Juga: Sensorimotor Obsessions, Sensasi Berkedip Manual tanpa Henti

2. Bertujuan untuk menjawab sejumlah pertanyaan

Little Albert Experiment (commons.wikimedia.org/Vibha C Kashyap)

Mengutip dari artikel ilmiah John B. Watson dan Rosalie Rayner yang kini tersedia di APA PsycNET, eksperimen Little Albert diharapkan mampu menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu:

  1. Apakah kita dapat melakukan pengondisian rasa takut bayi terhadap binatang (seperti tikus putih) dengan cara memperlihatkannya secara visual, sambil memukul batang baja untuk menghasilkan suara yang keras?
  2. Kalau bisa, apakah ketakutan tersebut akan berlaku juga untuk hewan atau objek lainnya?
  3. Berapa lama efek ketakutan tersebut berlangsung?
  4. Jika ketakutan tersebut berlangsung terus, apakah ada metode laboratorium yang dapat dirancang untuk menghapus ketakutan tersebut?

3. Melibatkan seorang bayi, seekor tikus putih, dan suara yang keras

ilustrasi seekor tikus putih (unsplash.com/Kanashi)

Laman Verywell Mind menjelaskan bahwa eksperimen tersebut melibatkan seorang anak berusia sembilan bulan. Anak yang dipanggil dengan nama 'Albert B' diberikan sejumlah stimulus, yaitu tikus putih, kelinci, monyet, topeng, koran yang terbakar diikuti pengamatan reaksi oleh John dan Rosalie. Sehubungan dengan itu, Albert tidak menunjukkan rasa takut.

Respons ini mengalami perubahan drastis ketika stimulus tikus putih diiringi oleh suara keras dari batang baja. Dilansir studi John dan Rosalie, percobaan pertama hanya menimbulkan rasa kaget dan membuat Albert jatuh. Pada akhirnya, percobaan berulang kali ini membuat Albert takut bukan main ketika melihat seekor tikus putih. Ia akan menangis ketika melihat tikus putih bahkan tanpa diiringi suara keras.

4. Beberapa tahun kemudian, Albert dipercaya meninggal karena penyakit

ilustrasi rumah sakit (unsplash.com/Marcelo Leal)

Keberlangsungan hidup Albert setelah eksperimen tentunya menjadi pertanyaan yang sering muncul. Catatan yang diunggah di American Psychological Association menemukan bahwa anak dengan nama asli Douglas Merritte meninggal karena penyakit hidrosefalus yang dideritanya sejak lahir.

Informasi tambahan dari Verywell Mind menunjukkan adanya keraguan terhadap penemuan tersebut. Sejumlah peneliti percaya bahwa identitas asli Albert adalah William Barger yang meninggal tahun 2007 lalu.

Kebenaran identitas Albert menjadi misteri. Yang pasti, eksperimen ini diingat masyarakat luas sebagai percobaan yang jauh dari kata etis.

Baca Juga: Sering Ngomong 'Um'? Ini Fakta Sains dan Cara Mengatasinya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya