Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Kursi Pembalap Kedua F1 Red Bull Selalu Bermasalah? 

Max Verstappen saat membalap di GP China 2024. (commons.wikimedia.org)
Intinya sih...
  • Red Bull melakukan swap seat Liam Lawson dengan Yuki Tsunoda setelah performa buruk Lawson di GP Australia dan China.
  • Keputusan dipengaruhi oleh performa Tsunoda yang lebih stabil, pengalaman, faktor komersial, dan kesulitan pembalap lain beradaptasi dengan gaya Verstappen.
  • Ketidakstabilan dalam manajemen tim Red Bull terlihat dari seringnya pergantian pembalap kedua dan keputusan strategis yang lebih menguntungkan Verstappen.

Red Bull membuat keputusan berani dengan melakukan swap seat pembalap mereka, Liam Lawson, dengan Yuki Tsunoda pada GP Jepang 2025 nanti. Keputusan ini diambil setelah performa buruk pembalap asal Selandia Baru ini pada dua race terakhir. Situasi ini kembali menguatkan anggapan jika kursi kedua di Red Bull merupakan posisi terkutuk bagi siapa pun yang mendudukinya.

Sepanjang sejarahnya, Red Bull kerap mengalami kesulitan dalam mempertahankan pembalap di posisi ini. Dari Daniel Ricciardo hingga Liam Lawson, banyak nama yang silih berganti karena gagal menyesuaikan diri dengan dinamika tim yang lebih berpihak pada Max Verstappen. Benarkah kursi kedua Red Bull memang penuh tekanan atau ada faktor lain yang menyebabkan fenomena ini terus berulang?

1. Liam Lawson gagal menunjukkan performa memuaskan pada dua race terakhir

Liam Lawson memulai musim 2025 dengan harapan tinggi setelah mendapatkan kepercayaan dari Red Bull untuk mendampingi Max Verstappen. Namun, pada GP Australia, ia gagal lolos Q1 (kualifikasi sesi pertama) dan tak mampu menyelesaikan balapan. Masalah utama yang dihadapinya adalah kurangnya cengkraman pada ban akibat hujan deras yang menggguyur sirkuit serta kesulitan dalam menjaga ritme balapan.

Keadaan makin tak membaik di GP China, di mana Lawson kembali tampil buruk. Ia menempati posisi buncit pada kualifikasi dan hanya finis di posisi ke-12 saat balapan, terpaut jauh dari Max Verstappen yang finis di posisi keempat. Kurangnya kecepatan pada tikungan dan kesalahan strategi pit stop makin memperburuk hasil akhirnya.

Hasil dari dua balapan ini menunjukkan Lawson belum mampu mencapai standar performa Red Bull sebagai tim title contender. Tekanan yang semakin besar serta ekspektasi tinggi dari tim membuatnya kehilangan posisi. Akibatnya, manajemen yang tak bisa sabar dengan performanya melakukan tukar kursi dengan Yuki Tsunoda dari Racing Bulls.

2. Yuki Tsunoda dianggap lebih mampu memahami karakteristik mobil Red Bull

Red Bull dikenal sebagai tim yang tidak ragu melakukan pergantian pembalap jika mereka merasa hasil yang didapat kurang maksimal. Dalam kasus Lawson, keputusan untuk menggantinya dengan Yuki Tsunoda didasarkan pada beberapa faktor utama. Salah satunya adalah performa Tsunoda yang lebih stabil dibandingkan dengan Lawson selama musim 2024.

Tsunoda menunjukkan perkembangan signifikan dalam hal konsistensi dan kemampuan menyesuaikan diri dengan mobil Red Bull. Dibandingkan Lawson, Tsunoda lebih berpengalaman dan telah mengenal struktur internal tim lebih lama. Hal ini membuatnya lebih siap untuk mengambil alih kursi kedua dan mendukung Verstappen dalam perebutan gelar juara dunia.

Terlebih lagi, faktor komersial juga turut memengaruhi keputusan ini. Dengan basis penggemar yang besar di Jepang, Red Bull berharap kehadiran Tsunoda akan meningkatkan eksposur dan daya tarik mereka di pasar Asia. Keputusan ini dianggap lebih menguntungkan secara strategis dibanding mempertahankan Lawson yang belum menunjukkan peningkatan performa.

3. Kutukan second driver di Red Bull terjadi sejak era Daniel Ricciardo

Fenomena sulitnya pembalap kedua bertahan di Red Bull bukanlah hal baru. Sejak Daniel Ricciardo meninggalkan tim pada akhir 2018, kursi ini menjadi posisi yang sering berganti penghuni. Pierre Gasly mendapat kesempatan pada 2019, tetapi hanya bertahan hingga pertengahan musim sebelum digantikan oleh Alex Albon.

Alex Albon pun tidak mampu bertahan lama dan akhirnya kehilangan kursinya pada akhir 2020. Sergio Perez kemudian datang sebagai pengganti dan berhasil bertahan lebih lama, akan tetapi tetap berada dalam bayang-bayang Verstappen. Kini, giliran Liam Lawson yang mengalami kesulitan, menambah daftar panjang pembalap yang gagal bersinar di kursi kedua Red Bull.

Salah satu faktor utama dari fenomena ini adalah fakta bahwa Red Bull merancang mobil mereka agar sesuai dengan gaya mengemudi Verstappen. Hal ini membuat pembalap lain kesulitan beradaptasi karena karakteristik mobil yang sangat spesifik. Berdasarkan beberapa wawancara yang dihimpun RacingNews365, para mantan pembalap Red Bull, seperti Albon dan Gasly, mengungkapkan jika mereka mengalami kesulitan dalam mengendalikan mobil lebih agresif di bagian depan yang lebih cocok dengan gaya Verstappen.

4. Pergantian pembalap makin mencerminkan ketidakstabilan internal Red Bull

Seringnya pergantian pembalap di Red Bull menandakan adanya stabilitas dalam manajemen tim. Meski memiliki reputasi sebagai tim yang kompetitif, keputusan mereka dalam memilih dan mengganti pembalap mencerminkan kurangnya kesabaran dalam mengembangkan talenta muda. Hal ini menimbulkan tekanan besar bagi setiap pembalap yang menempati kursi kedua di tim tersebut.

Keputusan terburu-buru dalam mengganti pembalap sering kali menimbulkan ketidakpastian di dalam tim. Pembalap yang masuk ke Red Bull menyadari, mereka harus segera memberikan hasil maksimal atau mereka akan digantikan dalam waktu singkat. Tekanan semacam ini membuat suasana di dalam tim menjadi lebih tegang dibandingkan dengan tim lain yang memberikan waktu lebih lama bagi pembalapnya untuk berkembang. Selain itu, keputusan strategis Red Bull sering kali terlihat lebih didasarkan pada kepentingan Verstappen daripada keseimbangan tim secara keseluruhan. Ini menimbulkan spekulasi tidak ada pembalap yang benar-benar bisa sukses di kursi kedua selama Verstappen masih menjadi pusat perhatian utama.

Pergantian Liam Lawson dengan Yuki Tsunoda kembali memperlihatkan bagaimana kursi kedua Red Bull selalu menjadi posisi sulit bagi siapa pun yang mendudukinya. Selama Red Bull masih berorientasi pada Max Verstappen, kutukan second driver tampaknya akan terus berlanjut tanpa solusi yang jelas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Widyo Andana Pradiptha
EditorWidyo Andana Pradiptha
Follow Us