Pacu Jalur, Representasi Lokal yang Mendunia Lewat TikTok

- Pacu jalur berasal dari ritual sosial dan nilai spiritual masyarakat Kuansing, sebelum menjadi kompetisi simbol status dan kekuasaan.
- Gerakan Anak Coki di TikTok mencerminkan pertemuan budaya pop dan tradisi lokal, namun juga memunculkan refleksi kritis terkait komodifikasi simbolik.
- Pacu jalur menjadi identitas yang berevolusi di panggung global, menyertakan nilai-nilai nasionalisme, kebanggaan kolektif, dan ekspresi lintas generasi melalui media digital.
Pacu jalur, festival perahu tradisional dari Kuantan Singingi, Riau, kini dirayakan sebagai pesta rakyat sekaligus sorotan budaya dunia. Dalam festival ini, bukan hanya kecepatan yang dilombakan, melainkan juga nilai-nilai sosial, spiritualitas, dan ekspresi kolektif sebuah masyarakat. Dengan viralnya peran Anak Coki dan fenomena aura farming di TikTok, pacu jalur membentuk narasi baru tentang olahraga, identitas, dan politik-budaya.
Perubahan ini menunjukkan olahraga kini lebih dari soal keringat dan kecepatan. Ia menjadi panggung ekspresi sosial yang hidup dan penuh makna. Di tengah riuh sorak penonton dan irama genderang pacu jalur, masyarakat lokal tampil dengan cara mereka sendiri untuk menyuarakan identitas dan semangat zaman. Apalagi, ketika sosok terkenal seperti pembalap Formula 1, Alexander Albon, ikut menirukan gaya Anak Coki di akun TikTok miliknya. Tradisi ini tiba-tiba terasa akrab, keren, dan relevan di mata dunia.
1. Sebelum menjadi olahraga, pacu jalur dikenai sebagai ritual sosial
Dilansir laman resmi Pemerintah Daerah Kuantan Singingi, pacu jalur berasal dari Sungai Kuantan yang membelah wilayah Rantau Kuantan, Riau, dan berfungsi sebagai jalur transportasi utama sejak abad ke-17. Masyarakat kala itu menggunakan jalur, perahu besar dari batang kayu utuh, untuk mengangkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta membawa hingga 60 orang. Namun seiring waktu, fungsi utilitarian jalur berubah menjadi simbol status dan kekuasaan.
Evolusi ini tampak dari hadirnya ukiran kepala ular, buaya, atau harimau di bagian lambung dan selembayung jalur, yang hanya dimiliki bangsawan dan datuk (tokoh adat). Ornamen seperti payung, selendang, tali-temali, dan lambai-lambai tidak hanya elemen dekoratif, tetapi juga penanda kelas sosial yang mempertegas eksistensi elite lokal dalam masyarakat. Ketika kemudian jalur-jalur tersebut dilombakan antarkampung, maka lahirlah pacu jalur sebagai kompetisi yang menampilkan performa kekuatan, estetika, dan simbolisme sosial.
Ritual pembuatan jalur tidak bisa dilepaskan dari nilai spiritual masyarakat Kuansing. Sebelum pohon ditebang, masyarakat melakukan ritual untuk meminta izin kepada alam, yang menunjukkan penghormatan terhadap ekologi sekitar. Proses kolektif ini juga melibatkan gotong royong dan latihan bersama, yang menjadikan pacu jalur olahraga sekaligus teater sosial, tempat hierarki, solidaritas, dan spiritualitas masyarakat dipertunjukkan di hadapan publik dan leluhur.
2. Budaya pop dan tradisi lokal aertemu dalam aura farming serta Anak Coki
Istilah aura farming pertama kali muncul dalam ranah digital selaku bentuk ekspresi untuk meraih aura atau kesan keren, karismatik, dan memesona. Di kalangan generasi z dan alpha, istilah ini dipakai untuk menggambarkan aksi-aksi performatif yang dirancang untuk menarik perhatian di media sosial, seperti pose tajam, selebrasi nyentrik, atau gerakan teatrikal. Fenomena ini kini bukan hanya melekat kepada artis Hollywood atau gamer, melainkan juga seorang anak kecil dari ujung Sumatra.
Rayyan Arkan Dikha, bocah berusia 11 tahun dari Kuansing, viral setelah videonya sebagai Anak Coki, penari kecil di ujung perahu pacu jalur, tersebar luas di TikTok. Gerakannya yang penuh percaya diri, iringan musik modern, dan ekspresi wajahnya yang penuh aura menjadikannya ikon global dalam waktu singkat. Bahkan, tokoh dunia seperti Travis Kelce, Diego Luna, hingga Alexander Albon menirukan gerakannya, menobatkannya sebagai the ultimate aura farmer.
Namun, fenomena ini memunculkan refleksi kritis: Apakah ini bentuk apresiasi global terhadap budaya lokal, atau justru komodifikasi simbolik? Menurut Greenwood dan Cohen dalam esai “Tourism and Commodification of Culture in Southeast Asia”, ketika suatu praktik budaya direproduksi untuk konsumsi wisata atau media, maknanya dapat mengalami penyusutan atau bahkan kehilangan sepenuhnya. Dalam konteks ini, gerakan Anak Coki yang dahulu dianggap jimat kemenangan, kini diposisikan sebagai konten yang dikurasi sesuai selera global.
3. Pacu Jalur menjadi identitas yang berevolusi di panggung global
Pacu jalur menjadi narasi identitas masyarakat Kuantan Singingi yang terus berkembang. Dari peringatan hari besar Islam hingga memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, olahraga ini selalu menyertakan nilai-nilai nasionalisme dan kebanggaan kolektif. Dengan dukungan pemerintah daerah dan promosi pariwisata, pacu jalur kini mampu menarik ribuan wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Dalam lintasan sejarahnya, pacu jalur telah digunakan untuk merayakan kelahiran Ratu Wilhelmina pada masa kolonial Belanda, yang menandai perubahan fungsi dari simbol perlawanan hingga instrumen kekuasaan. Hari ini, perayaan ini kembali menjadi panggung kebudayaan nasional dan global yang menyuarakan keberagaman Indonesia. Tak hanya budaya lokal yang tampil, tetapi juga ekspresi lintas generasi yang menyatu melalui media digital dan performa publik.
Fenomena aura farming yang dibawa Anak Coki menegaskan bagaimana budaya lokal dapat menjadi simbol baru dalam arus budaya pop global. Di satu sisi, ini merupakan bentuk ekspansi simbolik yang memberdayakan individu dan memperluas cakupan budaya lokal ke audiens internasional. Namun di sisi lain, seperti dijelaskan dalam kajian Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada (UGM), budaya yang dikomodifikasi secara berlebihan dapat kehilangan makna spiritual dan hanya menjadi tontonan yang dikurasi untuk kepentingan pasar.
Perbincangan soal bagaimana budaya ditampilkan, dimaknai secara asli, dan siapa yang punya kendali atasnya kini ikut terbawa arus tren dan kepentingan pasar. Fenomena seorang anak dari Riau yang menjadi simbol tren global menunjukkan kekuatan besar pengaruh digital. Namun demikian, hal ini juga mengingatkan kita untuk menjaga makna budaya dari penggerusan nilai asli. Dalam situasi seperti ini, olahraga tradisional seperti pacu jalur bisa disikapi sebagai jembatan pelestarian budaya dengan peluang tampil di panggung dunia.
Pacu jalur telah melampaui batas sebagai olahraga rakyat, ia kini berdiri di panggung budaya dan ekspresi global. Namun dalam sorotan dunia, penting bagi kita untuk tetap menjaga nilai-nilai luhur agar tidak larut dalam euforia pasar.