Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menguji Kritik Carlos Sainz saat Keseruan Balapan F1 Luput dari Kamera

potret koran berita Formula 1
potret koran berita Formula 1 (pexels.com/Vitoria Zanella)
Intinya sih...
  • Carlos Sainz kritik FOM yang berlebihan dalam menyoroti selebriti dan pasangan mereka. Ia kecewa karena aksi di lintasan tak mendapat sorotan kamera.
  • Formula 1 kini menjadi budaya pop global yang dipengaruhi algoritma media sosial. Tayangan Drive to Survive di Netflix mengubah cara orang menikmati F1.
  • Penonton generasi Z dan perempuan kini ikut membentuk cara baru dalam menikmati F1. Audiens perempuan meningkat pesat di platform digital, membuat F1 lebih inklusif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Formula 1 kini dikemas bukan hanya tentang siapa yang tercepat di lintasan, melainkan juga soal bagaimana balapan itu diceritakan kepada dunia. Dalam setiap siaran, kamera menjadi mata penonton yang menentukan apa yang dianggap penting antara adu kecepatan di tikungan tajam, atau ekspresi tegang di paddock. Namun, ketika sorotan lebih sering jatuh kepada wajah-wajah di balik pagar ketimbang duel di lintasan, lantas apakah esensi balapan mulai kabur?

Carlos Sainz menjadi suara yang memicu perdebatan itu. Pembalap Williams ini melontarkan kritik tajam terhadap Formula One Management (FOM) yang dianggap terlalu sibuk menyorot pasangan dan selebritas ketimbang aksi di lintasan. Kritik ini dilontarkannya usai GP Singapura 2025, ketika beberapa momen penting, termasuk duel Fernando Alonso dan Lewis Hamilton, tak tersorot kamera. Di bawah lampu terang Marina Bay, balapan itu terasa lebih seperti ajang perebutan sorotan ketimbang sekadar adu cepat di lintasan.

1. Carlos Sainz kritik FOM yang berlebihan dalam menyoroti selebriti dan pasangan mereka

Carlos Sainz menilai FOM telah melangkah terlalu jauh dalam menampilkan adegan-adegan nonbalapan seperti selebritas dan pasangan pembalap. Dalam pandangannya, tayangan seperti itu boleh saja hadir sebagai bumbu, tetapi tidak sampai mengorbankan inti kompetisi. Ia kecewa karena dari total 4 hingga 5 overtaking yang ia lakukan di GP Singapura, tak satu pun mendapat sorotan kamera. Lebih ironis lagi, pertarungan sengit antara Fernando Alonso dan Lewis Hamilton pun tak sempat tampil karena kamera sibuk menangkap reaksi di paddock.

FOM membela diri dengan mengatakan mereka berusaha menjaga keseimbangan antara aksi di lintasan dan momen kontekstual yang memperlihatkan emosi penonton, keluarga, dan tamu penting. Mereka menyebut pendekatan ini sebagai upaya memberikan pengalaman emosional bagi pemirsa global. Namun, bagi banyak penggemar dan jurnalis, alasan tersebut terdengar seperti pembenaran yang mengaburkan inti olahraga. Di media sosial, banyak penggemar menilai F1 kini lebih sibuk mencari cuplikan viral ketimbang menampilkan duel adu nyali para pembalap.

Sementara itu, The Athletic menilai Sainz memang punya alasan, tetapi konteksnya tak sesederhana itu. Berdasarkan rekaman tayangan ulang, sebagian besar siaran justru tetap berfokus kepada perebutan posisi penting seperti pertarungan Max Verstappen dan Lando Norris di barisan depan. Artinya, kritik Sainz menyentuh isu yang lebih dalam mengenai pergeseran antara kompetisi dan hiburan. Apakah F1 sedang kehilangan esensinya sebagai olahraga murni, atau justru sedang menyesuaikan diri dengan wajah baru penontonnya?

2. Formula 1 kini menjadi budaya pop global yang dipengaruhi algoritma media sosial

Kritik Carlos Sainz muncul pada era ketika F1 bukan lagi sekadar tontonan balapan, melainkan fenomena budaya pop global. Sejak hadirnya serial Drive to Survive di Netflix, cara orang menikmati F1 berubah drastis. Tayangan ini menampilkan drama, rivalitas, dan sisi manusiawi pembalap, yang akhirnya menarik jutaan penonton baru yang sebelumnya tidak tertarik pada dunia otomotif. F1 tidak lagi hanya tentang mesin, strategi, dan pit stop, ia juga tentang karakter, emosi, dan cerita di balik helm.

Efeknya terasa hingga ke media sosial. Potongan video yang menampilkan reaksi pasangan pembalap atau keluarga di paddock kini sering kali viral. Salah satu contohnya, unggahan Reels Instagram Mercedes yang memperlihatkan reaksi Carmen Montero Mundt, kekasih George Russell, saat Russell menang di GP Singapura mencapai 7,8 juta penayangan. Momen seperti itu bak tambang emas bagi algoritma, mudah dicerna, emosional, dan sangat mudah dibagikan. Tak heran jika produksi siaran pun kini mengikuti logika media sosial yang cepat, reaktif, dan penuh ekspresi.

Fotografer F1, Kym Illman, bahkan mengakui foto yang menampilkan perempuan di paddock sering kali menjadi konten paling populer di platform digital. Ia mencatat, unggahan bertema “Women of the Paddock” bisa melampaui 2 juta tayangan, walaupun juga kerap menuai komentar negatif dan serangan daring. Fenomena ini menunjukkan bagaimana F1 kini beroperasi di ruang digital yang dikuasai oleh engagement, bukan semata-mata kecepatan. Hal ini membuktikan, F1 kini tidak hanya melawan waktu, tetapi juga melawan algoritma.

3. Penonton generasi Z dan perempuan kini ikut membentuk cara baru dalam menikmati F1

Perubahan gaya siaran F1 tidak bisa terlepas dari perubahan wajah para penontonnya. Berdasarkan laporan Comscore, 40 persen dari total penggemar F1 kini adalah perempuan, dan 3 dari 4 penggemar baru berasal dari kalangan generasi Z. F1 yang dulunya identik dengan dunia laki-laki kini menjadi ruang yang jauh lebih inklusif, penuh warna, dan terhubung dengan gaya hidup modern. 

Comscore juga mencatat, audiens perempuan meningkat pesat di berbagai platform digital. Di saluran YouTube McLaren, misalnya, porsi penonton perempuan melonjak dari 28,5 persen menjadi 50,4 persen dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini menandakan adanya perubahan cara konsumsi F1 yang kini dinikmati sebagai gaya hidup, bukan sekadar olahraga.

Selain menyukai keseruan di lintasan, mereka juga mengikuti mode, personalitas pembalap, serta nuansa glamor yang mengelilinginya. Fakta ini menjelaskan mengapa kamera F1 kini kerap berpindah dari lintasan ke paddock, dari pit wall ke tribun VIP. Bagi generasi penonton baru, daya tarik F1 tidak semata ditentukan oleh siapa yang menang, tetapi juga narasi dan tampilan yang mengiringinya. 

Laporan Marie Claire UK mempertegas tren tersebut. 2025 disebut sebagai tahun paling transformatif bagi F1, dengan keberadaan fans perempuan yang aktif di media sosial hingga memengaruhi arah sponsorship. Kolaborasi antara Aston Martin dan merek kecantikan ELEMIS, keterlibatan F1 Academy yang dipimpin Susie Wolff, serta Laura Villars yang menjadi kandidat perempuan pertama Presiden Federation Internationale de l'Automobile (FIA), menandakan masuknya elemen baru yang lebih dekat dengan dunia fesyen dan kecantikan.

Kritik Carlos Sainz mungkin valid bagi puris motorsport yang merindukan fokus penuh kepada strategi dan teknik balapan. Namun, dari perspektif bisnis dan media, sorotan terhadap pasangan pembalap atau selebritas bukanlah kesalahan seperti kata Sainz, melainkan strategi sadar untuk mempertahankan engagement dari demografi baru ini. Sangat dimengerti jika ia ingin mempertahankan kemurnian kompetisi. Di sisi lain, ia harus memenuhi tuntutan audiens yang tumbuh dari dunia digital yang menilai tontonan bukan hanya dari hasil akhir, tetapi juga dari seberapa menarik momen itu dibagikan ulang. 

Mungkin Carlos Sainz benar. Kamera F1 sudah kebablasan. Akan tetapi, pada era ketika popularitas ditentukan oleh engagement rate, siapa yang bisa menyalahkan mereka? Di dunia yang dikendalikan algoritma, bahkan balapan pun kini butuh wajah manusia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Sport

See More

Timnas U-22 Kalah, Alasan Indra Sjafri Kaget dengan Kualitas India

11 Okt 2025, 22:18 WIBSport