Alasan Terpuruknya Leicester City, Kesalahan Strategi Bisnis?

Ketika berhasil menjuarai English Premier League (EPL) 2015/2016, Leicester City jadi junjungan dan inspirasi banyak tim kuda hitam di dunia. Orang-orang menaruh simpati kepada perjuangan heroik mereka mendobrak dominasi The Big Six. Padahal, sebelumnya, mereka adalah tim yoyo, sebuah istilah untuk klub yang sering terdegradasi.
Cerita heroik mereka berlanjut hingga 2021/2022. Selama kurang lebih 6 musim berturut-turut sejak juara, Leicester setidaknya bisa bertahan di posisi 10 besar. Hanya sekali di peringkat 12, yakni pada 2016/2017.
Meski begitu, cerita manis itu kandas musim ini. Mereka terperosok ke posisi papan bawah, bahkan terancam kembali ke EFL Championship. Dengan sisa empat pertandingan, Leicester City harus mengais poin sebanyak-banyaknya agar bisa bertahan di EPL musim depan.
Apa yang mendasari kejatuhan sang mantan juara? Berikut lima alasan kuatnya.
1. Sebenarnya tergolong klub yang mindful mengelola keuangan

Saat dinyatakan sebagai juara Premier League pada 2016, Leicester City tidak gegabah menghabiskan dana untuk membeli pemain-pemain bintang. Jajaran klub cukup mindful mengelola dana mereka.
Ada beberapa pembelian yang mereka lakukan, tetapi nominalnya masih di bawah 30 juta euro (Rp486 miliar) dan kebanyakan menyasar pemain muda. Leicester lebih banyak mengalokasikan dana mereka untuk perbaikan infrastruktur, pengembangan pemain muda, serta akuisisi tim Leicester City Women yang sebelumnya dikelola pihak lain.
Melansir Tifo, Leicester City bahkan cukup disiplin saat bursa transfer. Sejak 2016, mereka berkomitmen hanya menjual satu pemain kunci tiap musim. Ini terbukti berhasil mempertahankan stabilitas performa mereka di lapangan serta memastikan keuangan tetap sehat.
2. Pandemik COVID-19 menghantam stabilitas keuangan Leicester City

Semua berubah ketika pandemik COVID-19 melanda. Leicester City memang didirikan oleh sekelompok pemuda lokal, tetapi dalam prosesnya mereka berhasil menarik investor. Ini terjadi pada 2010 ketika pemilik perusahaan retail asal Thailand bernama Vichai Srivaddhanaprabha mengakuisisi klub.
Perusahaan retail milik Srivaddhanaprabha fokus pada perdagangan barang-barang bebas bea cukai di bandara. Ini yang kemudian menjelaskan mengapa pembatasan mobilitas selama COVID-19 jadi hantaman keras bagi stabilitas finansial Leicester. Selain suntikan dana dari investor mereka yang terpaksa dipangkas, Leicester City, sama seperti klub-klub lain di dunia kala itu, juga tak dapat pemasukan dari penjualan tiket pertandingan langsung di stadion.
3. Kontrak jangka panjang jadi bumerang

Selain hati-hati saat menjual pemain kunci, Leicester City punya kebiasaan memberi kontrak jangka panjang kepada pemain-pemain muda yang mereka rekrut. Logikanya, mereka hendak memastikan klub tetap dapat kompensasi setimpal ketika para pemain itu pindah ke tim yang menduduki piramida teratas.
Ternyata realitasnya jauh dari ekspektasi. Beberapa pemain yang mereka percaya akan tumbuh justru mengalami penurunan performa. Sebut saja Caglar Soyuncu yang didera cedera dan Boubakary Soumare yang dikritik penggemar. Ditambah pemain senior macam Jannik Vestergaard dan Ryan Bertrand yang dianggap tidak berkontribusi dalam tim.
Dengan kontrak jangka panjang yang sudah disepakati, termasuk dengan pemain yang kontribusinya rendah, Leicester harus berkomitmen membayar gaji pemain tiap tahunnya. Miris, karena melansir data Tifo, total gaji yang harus dibayar Leicester naik dari 2019 ke 2022, padahal penghasilan mereka turun karena pandemik.
4. Leicester City terlalu jual mahal tanpa melihat peluang dan risiko

Hal lain yang bikin penggemar dan pengamat sebal adalah sikap jual mahal Leicester City saat klub lain tertarik membeli pemain mereka. Tradisi hanya menjual satu pemain kunci per musim ternyata tidak sepenuhnya tepat.
Wesley Fofana bahkan sempat mogok karena kepindahannya ke Chelsea terancam gagal. Beberapa pemain lain, seperti James Maddison dan Youri Tielemans, juga gagal pindah karena Leicester membanderol mereka dengan harga yang kelewat tinggi. Leicester lupa kalau kontrak mereka akan berakhir pada waktunya sehingga klub lain tidak perlu melakukan negosiasi harga lagi.
Mungkin ini dilakukan Leicester untuk memastikan performa tim tidak terdampak karena kepindahan pemain-pemain andalan. Namun, ini pula yang membuat tim jadi tidak kompetitif.
5. Kemungkinan tim tak lagi kompetitif

Tanpa disadari, Leicester City menumpuk pemain yang sebenarnya sudah ingin meninggalkan markas mereka. Ini yang membuat Leicester tak punya daya gebrak sebesar dahulu. Tim pencari bakat mereka juga tampak lesu. Pada 2022/2023, Leicester tidak melakukan investasi yang berdampak lewat hasil penjualan Wesley Fofana sebesar 80 juta euro (Rp1,3 triliun).
Musim ini mereka memboyong tiga bek muda: Wout Faes, Harry Souttar, dan Victor Kristiansen. Hanya Ayoze Perez satu-satunya striker yang mereka datangkan. Itu pun dengan usia yang cukup senior. Leicester memang masih punya Harvey Barnes, James Maddison, dan Jamie Vardy. Namun, dua nama terakhir akan habis kontrak pada akhir musim 2023/2024.
Kasus Leicester setali tiga uang dengan Valencia yang kini terperosok ke papan bawah LaLiga Spanyol 2022/2023. Keduanya sama-sama dapat cap tim yang tak lagi kompetitif karena enggan berinvestasi.
Leicester masih punya peluang untuk bertahan di EPL. Brendan Rodgers dan Leicester City sepakat mengakhiri kerja sama. Perannya digantikan Dean Smith per April 2023.
Pelatih baru melakukan perombakan dalam susunan skuad. Ia kembali memainkan Caglar Soyuncu, memberi kesempatan kepada Victor Kristiansen, dan memasang Daniel Iversen di bawah mistar. Bisakah Leicester selamat dari ancaman relegasi?