Peran Granit Xhaka di Sunderland lebih dari sekadar performa individu. Ia membawa perubahan bagi klub yang dulu dikenal hanya berharap bertahan di Premier League kini berani menyatakan ambisi untuk berkembang. Motto “we do not want to survive, we want to thrive” menjadi nyata melalui kombinasi kepemimpinan Xhaka dan strategi cerdas Regis Le Bris.
Kehadirannya membantu menjaga harmoni di tengah skuad besar berisi 15 pemain baru yang datang dari berbagai liga dan budaya. Saat beberapa pemain lama kehilangan tempat, Xhaka memastikan suasana ruang ganti tetap positif dan kompetitif. Ia bisa dibilang sebagai pelatih kedua di lapangan selain Le Bris karena perannya dalam menyampaikan pesan taktis langsung kepada pemain di tengah laga.
Kedewasaannya juga menjadi faktor utama di balik keberhasilan The Black Cats menjaga konsistensi pertahanan. Hingga akhir Oktober 2025, hanya Arsenal dan Manchester City yang kebobolan lebih sedikit, sementara Sunderland mencatat rasio duel sukses 53,3 persen, tertinggi kedua di liga. Xhaka, yang berada tepat di depan empat bek, menjadi tembok pertama yang memotong jalur umpan dan menginisiasi serangan balik cepat.
Kemenangan 2–1 atas Chelsea pada pekan kesembilan Premier League menjadi puncak validasi peran Xhaka dalam membentuk identitas baru Sunderland. Dalam laga itu, ia menguasai lini tengah menghadapi Moises Caicedo dan Enzo Fernandez, duet gelandang termahal di liga. Performa tenang dan akurasi umpannya menandaskan, Sunderland kini bukan lagi tim yang bertahan karena keberuntungan, melainkan karena perencanaan matang dan struktur yang solid.
Dalam rentang beberapa bulan, Granit Xhaka berhasil mengubah persepsi publik terhadap Sunderland sekaligus terhadap dirinya sendiri. Dari pemain yang dulu dicemooh di London, ia kini menjadi jantung dari kisah kebangkitan paling menginspirasi di Premier League 2025/2026.