Benarkah Sepak Bola Perempuan Lebih Inklusif dan Progresif?

FC Abalos, sebuah klub sepak bola perempuan amatir yang berbasis di Atena, Yunani, baru saja merilis sebuah jersey dengan desain unik sebagai bagian dari kampanye kesadaran serta solidaritas untuk pengidap kanker payudara. Jersey ini berhasil mencuri perhatian publik sekaligus jadi bukti kesekian progresivitas tim sepak bola perempuan, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan kesetaraan gender.
FC Abalos jelas tak sendiri. Majalah Run Don’t Walk pernah menerbitkan satu artikel yang memfitur 3 klub olahraga inklusif dan semuanya dijalankan perempuan. Seperti FC Abalos, tim-tim itu membuka ruang seluas-luasnya bagi semua orang yang menyatakan diri bergender perempuan untuk bergabung. Beberapa klub bahkan cukup terbuka dengan gender ketiga atau yang dikenal pula dengan istilah nonbiner. FC Abalos bahkan tidak punya batas maksimal usia anggota, yang penting sudah berusia sekurang-kurangnya 18 tahun.
Melihat FC Abalos dan tim-tim sepak bola perempuan lainnya bak sebuah utopia. Mereka cerminan tim olahraga yang seharusnya, tetapi benarkah mereka sudah menjalankan idealisme itu?
1. Sepak bola perempuan didesain sebagai tempat aman untuk atlet

Sejak awal sepak bola perempuan memang dibuat untuk melawan hal-hal yang masih melekat dan jadi isu di sektor sepak bola pria, seperti homofobia, rasisme, dan hooliganisme. Tak heran mereka menjelma semacam tempat aman untuk atlet nonpria (perempuan dan nonbiner) untuk mengembangkan talenta. Itu pula yang membuat kita tak kesulitan menemukan atlet sepak bola perempuan yang terbuka menyatakan diri sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+ tanpa khawatir akan dapat masalah atau cercaan.
Tak pelak, wokeness (istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi nilai-nilai progresif, seperti toleransi, persamaan hak, inklusivitas, dan kesetaraan gender) jadi bagian integral dari tim-tim sepak bola perempuan. Mereka dapat dengan mudah memasukkan kampanye-kampanye sosial progresif, terutama yang berkaitan erat dengan isu gender seperti antikekerasan domestik, kesetaraan gaji atlet perempuan dan pria, serta lain sebagainya.
2. Masih ada isu yang belum terselesaikan

Namun, di balik fasad mereka sebagai institusi yang progresif, terutama bila bicara isu gender, ternyata isu rasial belum benar-benar mereka selesaikan. Dilansir Al Jazeera, presentase atlet dari etnik nonkulit putih di tim-tim sepak bola perempuan Eropa pada Euro 2023 belum proporsional. Ini mengingatkan kita pada kasus Eniola Aluko. Pada 2015, Aluko, atlet kulit hitam asal Inggris, memberanikan diri untuk mengungkap perundungan berbau rasis yang ia alami di Timnas Inggris.
Menurut laporan BBC, kasus ini berhasil diselesaikan Federasi Sepak Bola Inggris (FA) tanpa masalah berarti untuk menghindari distraksi di dalam tim yang bersiap menghadapi Euro 2017. Mirisnya sejak itu Aluko tak pernah lagi dipanggil memperkuat Timnas Inggris meski tampil brilian di klub. Meski belum tampak jelas di level timnas, keberagaman rasial dalam sepak bola perempuan sebenarnya tidak buruk-buruk amat di level klub. Ada Baesianz FC di London yang mewadahi atlet keturunan Asia, serta Turkiyemspor di Berlin yang lekat dengan prinsip-prinsip multikulturalisme.
3. Sepak bola perempuan punya potensi besar untuk dikembangkan

Padahal sepak bola perempuan punya potensi besar untuk jadi industri yang menjanjikan. Merujuk TGM Global EURO 2024 Report, jumlah fans sepak bola perempuan menunjukkan peningkatan secara global, terutama di region Afrika dan Asia Pasifik. Kenaikan ini bisa saja bermuara pada peningkatan investasi dalam sepak bola perempuan, begitu pula komersialisasi produk tertentu.
Seperti kita tahu, tim-tim sepak bola perempuan juga cukup progresif saat meramu visual branding, baik dari segi digital presence (konten media sosial) sampai merchandise (produk fisik). Tak sedikit klub sepak bola perempuan yang merilis jersey dengan nilai artistik tinggi. FC Abalos, Victoria Park Vixens, dan Baesianz FC adalah beberapa contoh suksesnya. Bak sebuah terobosan, palet warna jersey, logo, dan visual branding yang mereka pilih jauh lebih inovatif dan segar dibanding tim-tim sepak bola pria.
Nilai-nilai progresif memang jauh lebih kentara dan dipupuk baik dalam sepak bola perempuan. Meski masih ada isu rasial yang belum benar-benar diselesaikan, setidaknya ada banyak hal yang bisa kita apresiasi dari klub-klub sepak bola perempuan. Inisiasi diskusi isu-isu yang dianggap tabu sebelumnya sampai dan ide segar mereka adalah beberapa di antaranya.