FIFA dan Deretan Tuan Rumah Piala Dunia Kontroversial

Setelah mengumumkan Arab Saudi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034, FIFA banjir hujatan. Ini bukan pertama kalinya mereka memilih tuan rumah kontroversial untuk turnamen sepak bola pria terbesar di dunia tersebut. Beberapa tuan rumah edisi sebelumnya, seperti Italia (1934), Argentina (1978), Brasil (2014), Rusia (2018), dan Qatar (2022) juga pernah jadi sasaran protes.
Alasan keberatannya beragam, tetapi kebanyakan menyoal masalah pelanggaran HAM. Lantas, mengapa FIFA seolah tidak peduli terhadap masukan para aktivis dan pihak-pihak lain yang keberatan?
1. Perbedaan persepsi politik sampai kesiapan infrastruktur
Harus diakui, tidak ada tuan rumah yang sempurna. Selalu ada kekurangan dan isu dalam penyelenggaraan sebuah pesta olahraga. Namun, menurut organisasi-organisasi nirlaba seperti Amnesty International dan Human Rights Watch yang vokal menyuarakan isu ini, beberapa tuan rumah dapat label kontroversial karena punya rekam jejak buruk soal pelanggaran HAM. Tepatnya, indikasi pelanggaran HAM terhadap pekerja yang direkrut untuk membangun stadion-stadion baru.
Tak hanya Qatar, Brasil dan Rusia juga terjegal isu yang sama. Arab Saudi berpotensi melakukan hal serupa karena harus membangun delapan stadion baru untuk Piala Dunia 2034. Negara-negara yang sudah punya infrastruktur olahraga memadai memang tersedia, tetapi terpusat di beberapa negara saja. Dilemanya, bila menggunakan logika ini, Piala Dunia akan lebih sering diadakan di Eropa dan mungkin beberapa negara Asia Timur dan Amerika Latin.
Selain itu, isu-isu yang tidak bersinggungan langsung dengan sepak bola seperti konstelasi politik negara tuan rumah saat turnamen berlangsung juga jadi faktor. Benito Mussolini yang beraliran fasis memimpin Italia saat Piala Dunia 1934 berlangsung di negara itu. Argentina sedang dikuasai pemerintah junta yang memberantas oposisi mereka secara brutal saat menyelenggarakan Piala Dunia 1978. Vladimir Putin yang terbukti merepresi aktivis dan oposisi juga berstatus presiden saat Piala Dunia 2018 diadakan di Rusia. Pada 2014, saat menyelenggarakan Piala Dunia, Brasil berada di bawah pemerintah Partai Pekerja yang para anggotanya sedang diinvestigasi karena terjerat skandal korupsi massal.
Negara-negara Teluk Arab seperti Qatar dan Arab Saudi tidak menerapkan sistem demokrasi, ditambah beberapa laporan pelanggaran HAM terhadap kelompok marginal (perempuan dan komunitas LGBTQ+) dan progresif (aktivis, jurnalis, akademisi). Namun, masalah pelanggaran HAM dan ideologi politik biasanya bisa ditepis dengan dalih kalau standar, regulasi, dan nilai yang dianut tiap negara berbeda-beda. Sementara, aktivis dan organisasi nirlaba menggunakan perspektif liberal Barat sebagai standar.
2. Ambisi mendorong reformasi di negara tuan rumah
Masalahnya, terkadang penyelenggaraan Piala Dunia dianggap bakal jadi pemicu reformasi atau perubahan di negara tuan rumah. Saat Rusia terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia 2018, beberapa pihak optimistis ini akan jadi titik balik demokrasi dan keterbukaan di negara yang pernah berjuluk Negeri Tirai Besi itu. Nyatanya, 4 tahun setelah Piala Dunia 2018, Rusia justru makin terkucil karena keputusan mereka melakukan invasi ke Ukraina.
Afrika Selatan dan Brasil yang pernah jadi tuan rumah Piala Dunia pada beberapa edisi sebelumnya juga tak mengalami perubahan berarti. Keduanya justru jadi rumah untuk stadion-stadion mangkrak. Hal serupa terjadi di Qatar, yang membuat Stadion 974 dengan klaim keberlanjutan selangit. Menurut laporan ESPN per November 2023 lalu, Stadion 974 masih berdiri kokoh, alih-alih dibongkar dan dipindah sesuai klaim mereka. Nyatanya, memindahkan kontainer-kontainer stadion ke tuan rumah Piala Dunia berikutnya bukan perkara mudah.
3. Pendanaan tampaknya masih jadi prioritas FIFA
Pemilihan tuan rumah Piala Dunia pun pada akhirnya juga soal sponsorship alias pendanaan. Saat Rusia terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia 2018, FIFA ternyata sudah mengikat kontrak kemitraan dengan Gazprom, perusahaan energi yang sebagian besar sahamnya dimiliki pemerintah Rusia. Kontrak itu ditandatangani pada 2013 dan berlaku hingga akhir 2018.
Lima tahun sebelum Qatar menyelenggarakan Piala Dunia 2022, FIFA menandatangani kerja sama dengan Qatar Airways, maskapai penerbangan yang sepenuhnya dikelola pemerintah Qatar. Tujuh bulan sebelum ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034, tepatnya pada April 2024, FIFA dan Aramco, perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dimiliki pemerintah Arab Saudi, menandatangani kerja sama kemitraan.
Selain alasan pemerataan, terlihat beberapa negara terpilih jadi tuan rumah karena kemampuan mereka menunjukkan komitmen untuk berkontribusi dalam keuangan FIFA. Sesuai dengan rekam jejak mereka, FIFA bukan institusi yang progresif dan konsisten. Apalagi untuk urusan HAM. Mereka bukan tipe entitas yang akan ambil pusing. Beda nasib Israel dan Rusia saat ini adalah salah satu contohnya.