Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Rasisme Marak dalam Sepak Bola?

Rodrigo Bentancur, pemain Tottenham Hotspur yang terjerat kasus rasisme. (instagram.com/rodrigo_bentancur)

Terlepas dari upaya FIFA mengurangi rasisme lewat berbagai kampanye mereka, kasus-kasus diskriminasi rasial dan ujaran kebencian berbau ras masih sering kita dengar. Bahkan, tak sedikit yang melibatkan nama-nama tenar. Beberapa waktu lalu, Enzo Fernandez sempat menuai kontroversi karena menyiarkan secara langsung dirinya dan beberapa rekan setimnya menyanyikan penggalan lagu rasis soal pemain berlatarbelakang Afrika di Timnas Prancis setelah Argentina memenangkan Copa América 2024.

Enzo Fernandez terbebas dari sanksi berarti, bahkan dapat dukungan dari federasi dan rekan-rekannya di Timnas Argentina. Masalahnya, tak hanya pemain Chelsea itu yang pernah menyuarakan ujaran rasis. Timnas Jerman setelah merebut Piala Dunia 2014 juga sempat menyanyikan lagu hinaan kepada Argentina, lawan mereka di final, dengan sebutan gaucho, penduduk tradisional nomaden yang tinggal di Amerika Selatan, dan menyinggung tinggi badan mereka yang di bawah rata-rata pemain sepak bola Eropa. 

Jangan lupakan juga beberapa tim nasional yang harus membayar denda dan disanksi karena slogan rasis suporternya pada beberapa laga internasional. Terbaru, Rodrigo Bentancur diskors tujuh pertandingan liga domestik oleh FA, federasi sepak bola Inggris, setelah melontarkan pernyataan berbau rasis tentang rekan setimnya di Tottenham Hotspurs, Son Heung Min, pada sebuah sesi wawancara. 

Lantas, mengapa rasisme begitu lekat dengan sepak bola? Apa yang membuat pemain sering kali tergoda melontarkan ujaran dan gurauan bernada diskriminasi rasial?

1. Warisan kolonialisme yang belum sepenuhnya lenyap

Timnas Jerman tidak pernah diinvestigasi soal selebrasi mereka yang berisi hinaan kepada pemain Argentina usai raih Piala Dunia 2014. (instagram.com/dfb_team)

Salah satu akar dari rasisme tak lain adalah sejarah kolonialisme. Ada beberapa studi yang menemukan kaitan erat antara kolonialisme dan rasisme dalam olahraga. Salah satunya ditulis Manda Beck dan Michael Jucker dari Universitas Lucerne yang dipublikasikan Swiss National Museum. Mereka menarik akarnya dari koloni Eropa yang tersebar di beberapa negara dan memopulerkan beberapa cabor modern seperti sepak bola dan kriket.

Koloni Eropa inilah yang kemudian menginisiasi pendirian klub-klub olahraga di berbagai negara. Tentunya, klub-klub itu eksklusif mewadahi para pendatang (settlers) Eropa saja sehingga memperkuat kesan superior. Warga lokal, pribumi dan keturunan budak asal Afrika, akhirnya membuat klub olahraga sendiri yang bisa mewakili mereka. Pola seperti ini amat lumrah ditemukan di Amerika Latin dan secara tak langsung memperkuat segregasi rasial di kawasan tersebut.

Koloni Eropa juga mewariskan legasi kuat di negara-negara Afrika dan Asia. Stereotip dan stigma tentang orang Afrika tertanam dan masih jadi basis perilaku rasisme dalam olahraga, termasuk sepak bola. Misalnya, meski dianggap berbakat dan secara fisik superior, pemain Afrika kerap dianggap terlalu agresif dan mentah. Lorenzo Kamel, profesor Sejarah Hubungan Internasional dari Universitas Turin dalam artikelnya di Al Jazeera menggarisbawahi kebijakan Prancis yang terkesan cherry-picking (pilih-pilih) saat bicara imigran Afrika yang berhak dapat kewarganegaraan dan mewakili Prancis di ajang olahraga. Seperti saat masih berstatus penjajah, mereka dengan saksama memilih orang-orang berbakat dan menolak sisanya, tetapi tak benar-benar memberi kompensasi serta perlindungan yang sepadan dengan warga negara non-Afrika.

Di sisi lain, dalam tulisan Daniel Kilvington berjudul "The 'Asian Frame': Football and the Sport Media" untuk jurnal Networking Knowledge, ada stigma bahwa pemain Asia, terutama Asia Selatan di Inggris Raya, inferior dalam segi fisik. Beberapa faktor yang mendasari stigma tersebut antara lain pola makan hingga genetik. Ini terbukti lewat laporan organisasi nirlaba Kick It Out yang berbasis di London, Inggris, seperti dikutip dari The Athletic. Menurut direktur Kick It Out, selama 5 musim terakhir, 35 persen laporan yang mereka terima terkait dengan rasisme yang menyasar pemain berlatarbelakang Asia.

2. Diperparah dengan ide maskulinitas toksik

Pemain Timnas Prancis datang dari beragam latar belakang. (instagram.com/fff)

Perasaan superior sebagai legasi dari kolonialisme masih diperparah dengan nilai-nilai maskulinitas toksik. Sebuah studi yang dilakukan beberapa periset dari Washington University in St Louis pada 2005 dan dipublikasikan majalah Diverse menemukan, laki-laki lebih rentan melakukan aksi rasisme ketimbang perempuan. Ini mereka lakukan dengan mengamati pola pikir dan aksi beberapa mahasiswa yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil berdasar gender dan diubah-ubah komposisi keanggotaannya berdasar ras. 

Studi menemukan, mahasiswa kulit putih terlihat mulai defensif dan tak nyaman ketika mereka diposisikan dalam kelompok yang anggotanya mayoritas kulit hitam. Sebaliknya, saat mahasiswa kulit hitam berjumlah lebih sedikit, tak ada perasaan tertantang karena mereka biasa dengan status minoritas dan akan menghindari konflik sebisa mungkin.  Menariknya, pola macam ini tidak terlihat dalam kelompok-kelompok yang berisi mahasiswi.

Salah satu simpulan yang dibuat para periset itu merujuk pada kecenderungan laki-laki untuk berkompetisi. Sementara itu, perempuan lebih luwes saat harus bekerja sama. Ini berkaitan dengan tradisi yang membiasakan perempuan untuk mengakomodasi kepentingan komunal ketimbang kepentingan pribadi. 

Studi lain dilakukan Kwate dan Goodman pada 2015 dengan judul "Racism at the intersections: Gender and socioeconomic differences in the experience of racism among African Americans" untuk American Journal of Orthopsychiatry. Penelitian mereka di New York, Amerika Serikat, dengan responden berusia 19--87 tahun menemukan, perempuan kulit hitam mengalami lebih sedikit insiden rasisme selama hidup mereka dibanding laki-laki. Tentunya, kedua riset tadi masih punya banyak keterbatasan, tetapi bisa jadi gambaran mengapa rasisme lebih sering terdengar dari sepak bola laki-laki ketimbang perempuan yang sebaliknya dikenal lebih inklusif. 

3. Inkonsistensi sanksi untuk pelaku rasisme

Enzo Fernandez terbebas dari sanksi soal selebrasi kontroversialnya usai raih Copa America 2024. (instagram.com/afaseleccion)

Selain beberapa penjelasan historis dan psikologis, maraknya rasisme dalam sepak bola bisa juga dijelaskan dari inkonsistensi sanksi. Mari tengok beberapa kasus soal rasisme yang melibatkan pesepak bola high profile sejauh ini. Sebelum Rodrigo Bentancur, ternyata kasus serupa pernah menimpa Marco Curto (Como 1907).

Ia resmi diskors sepuluh pertandingan oleh FIFA setelah melontarkan ujaran rasis kepada Hwang Hee Chan (Wolverhampton Wanderers) saat bertemu pada laga persahabatan pramusim Juli 2024 lalu. Pada 2011, Luis Suarez juga terjegal kasus yang sama saat membela Liverpool. Ia kemudian dilarang bermain selama 12 pertandingan oleh FA. Begitu pula dengan John Terry setahun kemudian. 

Namun, tak sedikit yang terbebas dari sanksi. Pada 2012, Sergio Busquet (Barcelona) juga sempat diinvestigasi UEFA setelah videonya menghina Marcelo (Real Madrid) dengan sebutan "monyet" tersebar di internet. Ia berhasil lepas dari tuduhan tersebut karena kurangnya bukti. Keberuntungan juga menyelimuti Peter Schmeichel yang terbebas dari tuduhan rasis karena alasan yang sama: minim bukti.

Kasus Enzo Fernandez menarik karena alasan yang dipakai FA adalah statusnya yang sedang bersama Timnas Argentina saat insiden terjadi sehingga tak punya wewenang untuk melakukan investigasi. Argumen yang kuat, tetapi masih jadi misteri mengapa FIFA tak mengeluarkan sanksi apa pun untuk Enzo Fernandez. Apalagi, setelah membuka investigasi dengan Chelsea.

Dari sini terlihat perbedaan pola resolusi konflik antara FA dengan institusi yang lebih besar seperti UEFA dan FIFA. Ketika FA relatif konsisten, kita tidak melihat pola yang sama diterapkan dua organisasi sisanya. Meski sudah ada regulasi yang jelas, penerapan yang tak konsisten bisa membuat pemain tak kapok melanggar, lagi dan lagi. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us