Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fobia dan Tekanan Mental yang Jarang Terlihat dalam Sepak Bola

pemain sepak bola (pexels.com/Pixabay)
Intinya sih...
  • Fobia penilaian dan tekanan mental
  • Kondisi fisik dan mental pemain profesional
  • Stigma terhadap masalah kesehatan mental

Sepak bola sering dipandang sebagai olahraga yang penuh gairah, adrenalin, dan sorotan privilese. Namun, tersimpan sisi kelam yang jarang terlihat dan diperhatikan sebagian besar orang, yaitu tekanan mental dan fobia yang dialami para pemain. Dunia sepak bola yang tampak glamor ternyata menyimpan beban psikologis yang berat, bahkan pada pemain bintang sekalipun.

Banyak orang lupa, para pemain sepak bola adalah manusia biasa yang bisa mengalami ketakutan, trauma, dan kecemasan. Tekanan dari media, ekspektasi publik, ketakutan gagal tampil maksimal, hingga trauma akibat cedera bisa berkembang menjadi gangguan mental serius. Sayangnya, banyak dari kondisi ini tidak terungkap ke permukaan karena stigma dan tuntutan profesionalisme yang tinggi di dunia olahraga.

1. Fobia akan penilaian hingga tekanan saat tampil di level tinggi

Banyak pesepak bola profesional menyimpan rasa takut terbesar, yaitu ketakutan akan penilaian buruk, baik oleh suporter, media, maupun pelatih. Dalam psikologi, hal ini disebut fear of negative evaluation (FNE), yang memicu kecemasan luar biasa, terutama saat momen krusial seperti penalti atau final. Jika FNE meluap, pemain bisa mengalami choking, yaitu turunnya performa secara drastis akibat pikiran dan tekanan mental yang mengganggu konsentrasi fisik dan mental.

Menurut penelitian selama pandemik COVID-19 yang dilakukan FIFPRO dan Amsterdam UMC pada April 2020, 13 persen pemain laki-laki dan 22 persen pemain perempuan menunjukkan gejala depresi, sementara 16 persen laki-laki dan 18 persen perempuan mengalami kecemasan generalized anxiety selama jeda pertandingan panjang. Sebelumnya, antara Desember 2019 dan Januari 2020, hanya 6 persen laki-laki dan 11 persen perempuan yang mengalami depresi. Lonjakan ini membuktikan tekanan untuk tampil sempurna bukan hanya gangguan episodik, melainkan juga realitas mental yang memengaruhi hampir separuh pemain profesional.

2. Merasa lelah fisik dan mental karena jadwal padat dan cedera berulang

Pemain sepak bola profesional bisa mengalami kelelahan mental serius. Kondisi ini dikenal sebagai burnout, yaitu saat seseorang merasa kehabisan tenaga, kehilangan motivasi, dan sulit menikmati apa yang mereka kerjakan. Tekanan untuk tampil maksimal dalam banyak pertandingan dan menghadapi risiko cedera berulang membuat pemain rentan terhadap kondisi ini.

Dilansir Skysports, FIFPRO melaporkan, pada 2020/2021, para pemain top menghabiskan 67 persen menit bermain mereka dalam kondisi yang disebut zona merah, yaitu bermain minimal 45 menit dengan jeda kurang dari 5 hari antarpertandingan. Data ini diambil dari 40 ribu pertandingan melibatkan 265 pemain di 44 liga berbeda di seluruh dunia. Akibatnya, pemain lebih berisiko mengalami cedera dan kelelahan ekstrem karena tidak punya cukup waktu untuk pemulihan mental dan fisik.

Selain itu, penelitian dari University of Huddersfield pada November 2020 juga membuktikan, jadwal pertandingan yang terlalu padat membuat pemain sulit menjaga intensitas permainan. Meski jarak tempuh stabil, frekuensi sprint dan kecepatan menurun karena pemain harus menghemat tenaga untuk laga-laga berikutnya. Penurunan ini adalah bentuk adaptasi terhadap beban fisik berlebihan sekaligus menjadi pertanda tubuh pemain tidak lagi dalam kondisi optimal.

3. Rasa takut dianggap lemah dan sulitnya bicara tentang masalah mental

Banyak pemain sepak bola enggan membicarakan tekanan atau kecemasan yang mereka rasakan, karena takut dicap lemah. Alhasil, mereka memendam sendiri sampai mentalnya terganggu. Stigma itu diperkuat budaya “harus kuat” di klub dan pelatih. Survei yang dilakukan PFA menemukan, jika dianggap punya masalah psikologis, sebagian pemain takut ini berefek kepada karier mereka.

Penelitian BMC Sports Science, Medicine and Rehabilitation pada 2024 menyebut, 55–65 persen pemain perempuan mengalami tekanan psikologis karena tuntutan olahraga profesional. Risiko stres meningkat hampir dua kali lipat pada mereka yang pernah mengalami cedera parah atau operasi. Hal ini menunjukkan, masalah mental bisa muncul dari kondisi fisik, terutama jika tidak dibarengi dukungan yang memadai.

Sayangnya, meski banyak pemain membutuhkan bantuan psikologis, hanya sebagian kecil yang benar-benar mendapatkannya. Sebuah studi yang diterbitkan Psychology of Sport and Exercise pada 2023 mencatat, hanya sekitar 21 persen atlet pernah menerima bantuan profesional. Persentasenya bahkan lebih rendah pada pemain laki-laki (9 persen) dibandingkan pemain perempuan (27 persen). Kondisi ini menjadi bukti, akses dan keberanian untuk mencari bantuan kesehatan mental di dunia sepak bola masih sangat terbatas.

4. Adanya tekanan media sosial yang besar

Pemain sepak bola sekarang hidup dalam sorotan penuh lewat media sosial. Mereka dituntut untuk selalu aktif, update, dan menarik di platform digital agar tetap relevan dan mendapat sponsorship. Namun, tekanan ini sering berubah jadi beban berat berupa komentar negatif, cyberbullying, atau ekspektasi keterikatan terus-menerus dari pihak lain,

Penelitian Sarah Merrill dan Marcia Faustin yang terbit di jurnal Psychology and Sports Psychiatry menunjukkan, banyak atlet stres karena tekanan untuk tetap aktif di media sosial. Beberapa bahkan takut kehilangan sponsor jika dianggap pasif atau kurang responsif. Di sisi lain, riset berjudul Research on the relationship between excessive use of social media and young athletes' physical activity menemukan, penggunaan media sosial lebih dari 2 jam per hari dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi, terutama pada atlet muda.

Tekanan ini nyata dirasakan para pemain. Dilansir The Guardian, hingga September 2020, sebanyak 464 anggota PFA telah mengakses layanan konseling dari Sporting Chance. Angka ini sudah mewakili lebih dari 10 persen anggota PFA hanya dalam waktu 9 bulan. Keluhan paling umum adalah mood rendah, kecemasan, serta masalah lain. Salah satu penyebab utamanya adalah mereka merasa tidak punya ruang aman dari serangan di media sosial. Beberapa pemain bahkan memilih untuk menonaktifkan akun agar bisa menjaga fokus dan kesehatan mental.

5. Dukungan dan program kesehatan mental untuk pemain sepak bola

Di beberapa klub dan organisasi, kini mulai tersedia dukungan mental resmi untuk membantu pemain menghadapi tekanan. Contohnya, FIFPRO meluncurkan Mental Health Pilot Project yang bertujuan mengedukasi klub dan serikat pemain tentang deteksi serta penanganan masalah mental. Program semacam ini adalah langkah awal menuju sistem dukungan yang lebih sistematis dan terintegrasi di dunia sepak bola.

Di level akar rumput, sebuah penelitian di jurnal Turkish Journal of Sports Medicine pada pada 2024 mengevaluasi Athlete Mindset Program (AMP) selama 10 minggu pada pemain U‑16. Hasilnya menunjukkan kecemasan terkait cedera menurun drastis, sementara kemampuan mengatasi stres dan tekanan makin baik. Fenomena ini membuktikan, intervensi psikologis yang terstruktur cocok untuk semua kalangan, baik pemain profesional maupun pemain muda yang sedang berkembang.

Sayangnya, meski terbukti efektif, program seperti AMP masih jarang diterapkan di klub secara luas. FIFPRO sendiri menekankan urgensi dari aturan yang jelas soal jeda pertandingan dan pemantauan beban mental. Sebab, 82  persen ahli performa menyatakan, jadwal padat sangat mengganggu kesehatan mental pemain.

Masalah kesehatan mental dalam sepak bola sering tersembunyi di balik sorotan media. Padahal, fobia, tekanan, dan kelelahan mental bisa berdampak besar pada performa dan kehidupan pribadi para pemain. Perhatian terhadap isu ini perlahan mulai tumbuh, meskipun belum merata di semua level kompetisi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us