George Weah sampai Kakha Kaladze, Ini Alasan Atlet Jadi Politikus

Manuver atlet jadi politikus memang terdengar aneh, tetapi ternyata cukup umum terjadi di banyak negara. Sebelum jadi eksil, Hakan Sukur pernah jadi tokoh politik penting di Turki. Begitu pula dengan Socrates dan Romario di Brasil, Imran Khan di Pakistan, dan Arnold Schwarzenegger di Amerika Serikat.
Termasuk pula dua nama menarik, George Weah yang sempat menjabat sebagai presiden Liberia pada 2018—2022 dan Kakha Kaladze, legenda sepak bola Georgia yang kini menjabat wali kota Tbilisi. Lantas, mengapa politik jadi opsi menarik buat rencana pensiun mereka? Mari membedah beberapa alasannya.
1. Politik sering kali tentang popularitas

Untuk bisa berkarier di sektor politik, seseorang butuh dukungan kuat, baik dari partai politik dan masyarakat awam. Ini yang kemudian membuat politik erat kaitannya dengan popularitas. Olahragawan atau atlet sudah punya modal ini, layaknya selebritas dan figur publik lainnya. Dengan modal ini, mencalonkan diri untuk berbagai jabatan publik strategis bukan hal yang sulit.
Mari tengok kasus George Weah. Ia bukan sembarang atlet, Weah datang dari pemukiman padat penduduk dan berhasil mengicip panggung sepak bola tertinggi Eropa selama masa aktifnya. Ia pula satu-satunya pesepak bola asal Liberia, bahkan seluruh Afrika yang berhasil meraih Ballon d'Or. Tak heran jalannya terjun ke politik relatif lancar. Ia butuh dua kali percobaan untuk merebut jabatan presiden dan akhirnya berhasil pada 2017.
Kasus serupa terjadi di Georgia lewat sosok Kakha Kaladze. Sama dengan Weah, ia dijuluki salah satu legenda sepak bola di negara asalnya. Ia satu dari pesepak bola pertama asal Georgia yang berhasil menembus Serie A Italia pada 2000-an. Tak pelak, saat ia bergabung dengan Georgian Dream-Democratic Georgia, parpol itu langsung dapat suntikan suara dan berpengaruh besar dalam kesuksesan mereka merebut kursi di pemerintahan Georgia pada 2012. Popularitas Kaladze seorang bahkan disebut melebihi pamor dua tokoh pencetus partai itu, Bidzina Ivanishvili dan Irakli Garibashvili.
2. Salah satu rencana pensiun yang memuaskan

Bukan pekerjaan yang abadi adalah kenyataan pahit bagi semua atlet, tak peduli seberapa cinta mereka kepada profesi itu. Pada akhirnya, atlet akan dan harus pensiun pada usia produktifnya karena berbagai faktor. Penurunan performa, pergantian kepelatihan dan manajamen klub, kebosanan, hingga keinginan untuk menggeser prioritas hidup adalah beberapa alasan yang ditemukan Hong dan Fraser dalam riset berjudul High-Performance Athletes Transition Out of Sport: Developing Corporate Social Responsibility yang terbit di International Journal of Sport Policy and Politics.
Sayangnya, ruang untuk tetap berkarier di bidang olahraga tak seluas saat mereka masih berada di usia emas. Ditambah dengan kelekatan mereka akan isu politik selama masih aktif bertanding, politik jadi salah satu rencana pensiun yang menarik. Atlet sering kali punya agenda. Misalnya Megan Rapinoe yang setelah berhasil mendulang sukses di Piala Dunia Sepak Bola Perempuan menggunakan platformnya untuk mengampanyekan tuntutan kesetaraan gaji untuk atlet perempuan.
Serena Williams juga memanfaatkan prestasinya untuk menyuarakan agenda antidiskriminasi. Tak sedikit pula atlet high-profile macam David Beckham, Xavi, hingga Iker Casillas yang aktif dalam program-program amal dan nonprofit. Kedekatan mereka dengan isu sosial dan agenda politik rasanya cukup menjelaskan bagaimana politikus jadi profesi magnet buat para atlet setelah pensiun.
3. Tak sedikit yang kehilangan idealismenya

Sayangnya, walau diawali dengan keinginan untuk jadi agen perubahan positif, tak sedikit dari mantan atlet ini yang kehilangan idealismenya. Mundur ke ke kasus George Weah. Meski memenangkan pemilu secara sah, ia tak berhasil mengatasi korupsi di negaranya. Sebaliknya, Weah bahkan terindikasi terlibat dalam skema korupsi di Liberia sejak menjabat. Ini yang kemudian membuatnya gagal memenangkan pemilu 2024.
Kakha Kaladze pun tak luput dari kontroversi. Partai yang menaunginya berpotensi kehilangan suaranya karena dianggap makin konservatif dan jauh dari ide demokrasi yang mereka usung pada awal pendirian. Salah satu kebijakan paling kontroversial yang partai Kaladze usulkan adalah keharusan organisasi dan instansi yang dapat bantuan dana dari luar negeri untuk menyatakan diri sebagai agen asing. Regulasi yang disebut media Georgia dan Barat sebagai Hukum Rusia itu sempat memicu demonstrasi besar di Tbilisi pada April sampai Mei 2024. Kebijakan yang akhirnya disahkan itu membuat proses aksesi keanggotaan Uni Eropa Georgia dihentikan sementara.
Politik memang hal yang susah dicerabut dari hidup kita. Tak terbatas kepada atlet, siapa pun dengan kepentingan dan dukungan bisa saja merambah profesi politikus. Hanya saja, atlet memang punya modal sosial yang besar untuk mengakses profesi itu.