Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bagaimana China Bisa Jago di Olimpiade?

Atlet China mendominasi perolehan medali di cabor badminton Olimpiade 2024. (instagram.com/bwf.official)
Atlet China mendominasi perolehan medali di cabor badminton Olimpiade 2024. (instagram.com/bwf.official)

Bersama Amerika Serikat, China hampir selalu mendominasi perolehan medali Olimpiade dari satu edisi ke edisi berikutnya. Alasan paling mudahnya, kedua negara itu pula yang selalu mengirim kontingen terbanyak pada tiap edisi. Kalau Indonesia hanya mengirim puluhan atlet, AS dan China bisa punya ratusan wakil di pesta olahraga sejagat itu.

Di Olimpiade 2024 Paris, China mengirim 388 atlet untuk berkompetisi di 30 cabor. Ini jelas posisi yang menguntungkan dan jadi jawaban sederhana bagaimana China bisa mendominasi Olimpiade. Sebelum bisa mengirim atlet sebanyak itu, apa yang China lakukan untuk mendukung dan menemukan bakat-bakat terbaik di bidang olahraga? Berikut jawabannya!

1. Sejak era Mao Zedong, China gencar melakukan scouting dengan mendirikan sekolah-sekolah atlet

default-image.png
Default Image IDN

Merujuk tulisan Hwang dan Chang berjudul "Sport, Maoism and the Beijing Olympics" dalam jurnal China Perspectives, revolusi olahraga di China mulai gencar dilakukan sejak era Mao Zedong. Filosofinya berakar dari rasa malu karena kekalahan China dalam dua Perang Candu. Tragedi itu akhirnya melahirkan ide, China butuh membangun masyarakat baru yang kuat dan sehat. Sejak itu, olahraga dan aktivitas fisik mulai dipromosikan dan digalakkan di China. Mao berkali-kali menyebut retorika itu dalam berbagai pidatonya. 

Untuk melancarkan program nation-building-nya itu, Mao banyak berkiblat ke Uni Soviet. Masih merujuk sumber yang sama, China sering mengirim delegasinya ke Soviet untuk belajar tata laksana pendidikan olahraga. Mengadopsi cara Soviet, sekolah asrama dan asosiasi-asosiasi olahraga mulai didirikan. Semuanya di bawah kontrol dan dukungan finansial dari pemerintah. Sepeninggal Mao, revolusi olahraga tak berhenti. Mereka mulai serius berkompetisi di Olimpiade sejak 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat. Mereka mengirim 216 atlet dan berhasil meraih medali emas pertama di ajang tersebut. Sejak itu, jumlah perolehan medali mereka cenderung konsisten, bahkan naik, terutama saat Olimpiade 2008 Beijing di rumah sendiri.

2. Strategi mengawinkan olahraga dengan politik yang sering dipakai negara-negara komunis

default-image.png
Default Image IDN

Langkah China memprioritaskan olahraga sebagai bagian dari strategi nation-building sebenarnya tak mengejutkan. Pola itu dipakai negara-negara komunis di dunia, seperti Uni Soviet, Yugoslavia, bahkan Jerman Timur. Dalam sejarah, ketiga negara itu punya reputasi baik saat berpartisipasi di berbagai turnamen internasional, termasuk Olimpiade. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa olahraga dianggap krusial oleh negara-negara komunis menurut James Riordan dalam tulisannya, "The Impact of Communism on Sport" di jurnal Historical Social Research.

Pertama, olahraga di negara komunis yang kebanyakan rakyatnya bekerja sebagai pekerja kerah biru bisa jadi agen perubahan sosial, yakni kendaraan untuk mengubah nasib karena bisa menaikkan status sosial dan memberi jaminan finansial. Kedua, ini sejalan dengan konsep Marxisme yang menekankan ada interdependensi antara kondisi mental dan fisik seseorang. Ketiga, negara-negara komunis kebanyakan punya wilayah besar dan penduduknya beragam sehingga olahraga bisa jadi salah satu elemen pemersatu. 

Alasan berikutnya adalah kaitan erat antara kekuatan fisik dengan strategi pertahanan mereka. Tak heran bila militer punya peran erat dalam pengembangan olahraga di negara-negara komunis. Entah lewat afiliasinya dengan klub olahraga atau normalisasi peran ganda atlet dan personel militer sekaligus. Riordan juga melihat program revolusi olahraga ini bisa jadi cara efektif menjauhkan anak-anak muda dari kegiatan nirfaedah yang bisa merusak bangsa. Berikutnya, emansipasi perempuan, dan terakhir, taktik untuk melawan reputasi negatif yang melekat pada negara komunis. Komunisme selalu dipotret sebagai sebuah akal-akalan rezim untuk mendirikan pemerintah diktator yang jauh dari kata adil seperti ide murni Karl Marx. Penganutnya sering kali diboikot dan dirundung di level internasional. Prestasi olahraga bisa dipakai sebagai alat untuk membungkam kritik tersebut.

3. Ada harga yang harus dibayar untuk kesuksesan itu

China mendapat medali emas pertama mereka di cabor akuatik Olimpiade 2024. (instagram.com/world_aquatics)
China mendapat medali emas pertama mereka di cabor akuatik Olimpiade 2024. (instagram.com/world_aquatics)

Membanggakan dan sering diromantisasi, tentu ada harga yang harus dibayar China untuk mencapai gelar kontender di Olimpiade. Dilansir liputan Hannah Beech untuk The New York Times, atlet China harus mengorbankan beberapa hal untuk bisa jadi profesional dan berkompetisi di turnamen-turnamen bergengsi. Ini termasuk komitmen untuk tidak punya hubungan romantis, peraturan ketat soal izin bepergian ke luar negeri, hingga kewajiban dan tinggal di asrama khusus yang biasanya terpisah dari keluarga. Menariknya, regulasi ketat ini bertahap mulai dilonggarkan. Zheng Haohao, atlet termuda China di Olimpiade 2024 Paris, tak perlu tinggal di asrama. Ia dan beberapa atlet China di Olimpiade 2024 juga terlihat punya akun Instagram. Media sosial tersebut bersama beberapa platform buatan Meta lainnya harusnya tak bisa diakses di negara itu. 

Namun, indikasi penyalahgunaan kekuasaan di akademi olahraga China pernah menyeruak beberapa kali. Pertama, lewat Jessica Shuran Yu, pemain sekat indah yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah atlet China. Ia mengungkap berbagai abuse yang dialaminya alami sejak belia. Kekerasan fisik dan paksaan untuk melakukan diet ketat adalah beberapa yang ia sebutkan. Pada usia dewasa, Yu memilih beralih aliansi ke Singapura setelah dapat kewarganegaraan dari pihak ayah. Pada 2021, giliran atlet tenis Peng Shuai yang melaporkan kekerasan seksual oleh petinggi Partai Komunis China, Zhang Gaoli. Tak seperti Yu yang sudah aman karena tinggal di luar negeri, beberapa waktu setelah tuduhannya menyeruak, Shuai tak pernah tampak di publik lagi dan kasusnya menguap begitu saja. Skandal doping juga sempat mewarnai persiapan tim akuatik China jelang Olimpiade 2024. Bukti penggunaan doping oleh sejumlah atlet cabor akuatik itu sempat ditutup-tutupi sampai media Jerman dan Amerika Serikat membongkarnya.

Memang tak ada data resmi soal abuse di akademi-akademi olahraga China karena sistem mereka yang sangat tertutup. Belum ada badan independen yang bisa melakukan pengawasan, apalagi investigasi soal skandal dan berbagai keganjilan dalam akademi dan asosiasi olahraga China. Namun, beberapa testimoni di atas bisa jadi bukti kalau program pengembangan olahraga di China tak luput dari penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi. Tentu, perilaku ini tidak eksklusif terjadi di China. Ada beberapa kasus yang berhasil diungkap, yakni di Amerika Serikat (lewat dokumenter Athlete A) dan Jepang (dalam laporan Human Rights Watch). Ada komitmen kuat dari pemerintah, tetapi ada pula harga yang harus dibayar atlet-atlet China untuk mencapai prestasi di Olimpiade.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us