Mengenang Soeratin II: Sisa Hidup Sang Revolusioner yang Memilukan

Soeratin sempat menjadi kolonel di TKR

Jakarta, IDN Times - Ada jejak perjalanan sepakbola Indonesia di Komplek Pemakaman Umum Muslim Sinaraga Bandung, Jawa Barat. Di tempat itulah pendiri Persatuan Sepakbola Indonesia (PSSI), Ir Soeratin Sosrosoegondo, beristirahat dengan tenang setalah meninggal dunia pada 1 Desember 1959.

Memoar perjalanan Soeratin dalam sepenggal kisah hidupnya memang tak mudah. Usai mendirikan federasi sepakbola tertinggi Tanah Air dan masuknya Jepang di medio 1940-an, jejaknya memang tak banyak diketahui. Maklum, hanya beberapa literasi saja yang sedikit membahas tentang kehidupan Soeratin setelah keluar dari ingar-bingar sepakbola Indonesia.

1. Soeratin menghilang setelah PSSI mati suri saat masa pendudukan Jepang

Mengenang Soeratin II: Sisa Hidup Sang Revolusioner yang Memilukanhttps://javapost.nl

Terakhir, ia menghilang tahun 1942 setelah melepas jabatannya sebagai Ketua Kehormatan PSSI usai dipilih saat kongres pada 1931. Dikabarkan, ia memilih hengkang ke Bandung hingga akhirnya namanya benar-benar tak terdengar lagi.

Setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1946, Soeratin tiba-tiba muncul lagi. Kali ini bukan di lapangan hijau lagi, ia muncul dengan seragam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berpangkat Letnan Kolonel. Ia memimpin pasukan untuk mengangkat senjata melawan agresi militer Belanda setelah kemerdekaan.

Baca Juga: Demi Sepak Bola Tanah Air, Soeratin Rela Tinggalkan Zona Nyaman

2. Soeratin muncul kembali dengan seragam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berpangkat Kolonel

Mengenang Soeratin II: Sisa Hidup Sang Revolusioner yang Memilukansteemit.com/Buku Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepakbola

Usut punya usut, dirinya dipilih menjadi Kolonel lantaran sebelumnya Soeratin mendapat perintah dari Markas Besar TNI di Yogyakarta untuk menguasai beberapa pabrik kopi dan teh untuk dijadikan pabrik persenjataan atau mesiu sebagai perlengkapan melawan agresi Belanda. Hingga akhirnya ia dipercaya jadi kepala pabrik senjata di Jawa Barat hingga karier militernya melesat.

Hal itu tak berlangsung lama. Sebab, Soeratin yang saat itu usianya sudah berkepala empat harus pensiun dari militer, tepatnya setahun sebelum agresi militer Belanda selesai. Maklum, ia sudah terlihat renta karena dimakan usia.

3. Soeratin sempat bekerja di Djawatan Kereta Api

Mengenang Soeratin II: Sisa Hidup Sang Revolusioner yang Memilukanromadecade.org

Atas jasa yang telah ia berikan kepada bangsa Indonesia, di waktu bersamaan, Soeratin mendapatkan pekerjaan baru sebagai salah satu pemimpin Djawatan Kereta Api (DKA). Ia diberikan tugas itu langsung oleh Menteri Perhubungan saat itu, IR. Djoeanda, hingga tahun 1949.

Akan tetapi, dengan tubuh yang semakin renta, pekerjaan itu sedikit berat. Apalagi, ketika itu perjuangan fisik melawan Belanda terus terjadi sehingga dirinya tak kuat dan terpaksa menepi dari pekerjaannya tersebut.

4. Soeratin hidup miskin hingga akhir hayat

Mengenang Soeratin II: Sisa Hidup Sang Revolusioner yang Memilukanpssi.org

Namun siapa sangka, penentu sejarah sepakbola Indonesia itu harus hidup tertaih di sisa umurnya usai bekerja di DKA. Dikutip dari buku “70 Tahun PSSI: Mengarungi Milenium Baru”, setelah Soeratin tak memiliki pekerjaan, dirinya harus rela hidup dalam kesulitan ekonomi hingga akhir hayat.

Soeratin jatuh sakit di usia senjanya. Ia serba kesulitan, bahkan untuk sekadar menebus obat saja tak bisa. Oleh sebab itu, penyakitnya yang diderita pun semakin parah lantaran tak memiliki biaya hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir di usia 60 tahun.

Atas jasanya dalam persepakbolaan nasional, namanya diabadikan dalam nama trofi yang diperebutkan dalam kompetisi sepakbola kelompok umur tingkat nasional, Piala Soeratin yang rutin digelar setiap tahun.

Baca Juga: Mengenang Soeratin I: Melawan Penjajah Lewat Sepak Bola

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria
  • Satria Permana
  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya