Menelisik Gerakan Akar Rumput Sayap Kiri dalam Sepak Bola

Sepak bola dan ideologi sayap kiri (sosialisme, Marxisme, komunisme, dan lain sebagainya) adalah dua hal yang bertolak belakang. Sebaliknya, sepak bola erat dengan nilai-nilai kapitalisme, meritokrasi, bahkan ultranasionalisme. Contoh mudahnya adalah dengan melihat eksistensi hooligans (penggemar fanatik yang identik dengan agresivitas, militerisme, rasisme dan nilai-nilai politik sayap kanan lainnya) di banyak klub sepak bola Eropa macam Ferencvarosi, Lazio, Dinamo Zagreb, Legia Warsaw, Anderlecht, dan lain sebagainya.
Namun, bila ditelisik lebih jauh, ternyata tak sedikit klub sepak bola di dunia yang berpegang teguh pada nilai-nilai sosialisme. Apa yang memungkinkan fenomena ini terjadi? Tim-tim apa pula yang punya basis suporter sayap kiri? Berikut secercah sejarah terbentuknya gerakan akar rumput sayap kiri dalam sepak bola.
1. Jerman salah satu negara dengan suporter sepak bola sayap kiri tersolid di dunia

Dikenal sebagai tempat lahirnya Marxisme (akar dari sosialisme dan komunisme), langgengnya ideologi sayap kiri di Jerman tentu bukan hal mengejutkan. Tak lupa, sebagian dari wilayah Jerman juga pernah jadi negara satelit Uni Soviet setelah Perang Dunia II. Tak heran kalau kamu bisa menemukan banyak jejak gerakan akar rumput sayap kiri di Jerman, termasuk di ranah sepak bola.
Ada beberapa klub di Jerman yang cukup vokal dan terbuka soal ideologi ini, yakni Union Berlin dan FC St Pauli. Berlokasi di Jerman Timur saat pembentukannya, mereka jadi simbol perlawanan rakyat yang tak merasa terwakili oleh BFC Dynamo, sebuah klub yang dimiliki Stasi (lembaga keamanan negara Jerman Timur saat itu). Mereka dibentuk oleh asosiasi pekerja kelas menengah bawah yang menjelaskan pemilihan nama union (persatuan). Kini dengan menurunnya prestasi BFC Dyanmo dan reunifikasi Jerman Timur dan Barat, rival sengit mereka berpindah kepada Hertha Berlin. Bertolak belakang dengan Union Berlin, klub rival sekota itu identik dengan kalangan menengah ke atas.
FC St Pauli yang bermarkas di sebuah kawasan yang terkenal dengan kelas pekerja menengah ke bawah dan mahasiswa sayap kiri di Kota Hamburg jauh lebih vokal. Secara kasat mata, kita bisa menemukan tanda-tanda kesetiaan mereka kepada ideologi sayap kiri, terutama antifasis. Misalnya lewat mural Ernesto "Che" Guevara hingga slogan-slogan progresif yang menyuarakan kepentingan kelompok marginal seperti perempuan, komunitas LGBTQ+, pengungsi, bahkan tuna wisma. Mereka juga aktif melakukan kegiatan amal dan penggalangan dana. Selain dua tim besar tadi, masih ada Chemnitzer FC dan SV Babelsberg yang juga dikenal dengan tradisi sayap kiri mereka.
Tak hanya di bidang politik, nilai-nilai sayap kiri juga mempengaruhi kebijakan ekonomi sepak bola Jerman. Jerman adalah salah satu negara yang cukup ketat soal komersialisasi dan privatisasi. Salah satunya lewat kebijakan 50+1 yang berfungsi mencegah kepemilikan tunggal dan memastikan klub melibatkan penggemar untuk mengambil keputusan-keputusan krusial.
2. Gerakan serupa bisa ditemukan di negara Eropa lain, tetapi tak sesolid Jerman

Tak hanya di Jerman, klub dan suporter sayap kiri bisa ditemukan di banyak negara Eropa. Jumlah dan konsistensinya memang tak sebesar Jerman. Di Italia, jumlah mereka kalah telak dari penggemar beraliran ultranasionalis (sayap kanan). AS Roma pernah punya kelompok fans sayap kiri pada 1970—1980-an. Bahkan ada satu grup penggemar mereka yang bernama Fedayn. Nama itu terinspirasi dari istilah Arab "fedayeen", yakni julukan untuk kelompok militan pejuang kemerdekaan di beberapa negara Timur Tengah, termasuk di Palestina. Namun, Fedayn sudah dilebur dengan dua kelompok fans lain dan kini jumlah fans sayap kiri Roma sudah berkurang drastis.
Hanya ada satu klub Italia yang dikenal satu suara soal ideologi kiri, yakni US Livorno (dahulu AS Livorno). Saat bertanding, tribun suporter mereka akan dipenuhi spanduk-spanduk aktivisme. Itu termasuk dukungan terhadap Palestina, hingga solidaritas dengan dua klub "saudara" mereka yang satu nilai, yakni Olympique de Marseille dan AEK Athens. Kaitan Marseille dengan ideologi sayap kiri dipengaruhi oleh komposisi penduduk kota mereka yang multikultur dan didominasi kelas pekerja. Ini yang kemudian mendasari rivalitas mereka dengan Paris Saint-Germain yang dapat akses langsung kepada pemilik modal.
Sementara, AEK Athens punya sejarah menarik karena didirikan oleh komunitas imigran beretnik Yunani yang dulu hidup di wilayah Ottoman dan harus pindah karena Perang Yunani/Turki pada 1919—1922. Latar belakang itu membuat mereka memegang teguh nilai antifasis dan antirasisme (pro pengungsi). Kisah AEK Athens mirip dengan Celtic FC yang juga didirikan komunitas pengungsi Irlandia di Skotlandia akibat okupasi Inggris atas Ulster dan bencana kelaparan di Irlandia. Berbasis sejarah pahit itu, mereka pun menjelma jadi klub yang memihak kelompok marginal dan minoritas. Fans mereka bahkan aktif dalam berbagai gerakan aktivisme, termasuk salah satunya membela perjuangan kemerdekaan Palestina.
Di Irlandia, kamu bisa menemukan klub progresif serupa bernama Bohemian FC. Beda dengan Celtic yang lebih berhati-hati saat bicara politik lewat platformnya, Bohemian lebih mirip FC St Pauli yang manajemennya tak ragu bertindak layaknya pejuang keadilan sosial alias social justice warrior (SJW). Di Spanyol, ada Rayo Vallecano yang saking kirinya terpaksa membatalkan proses peminjaman pemain Ukraina, Roman Zozulya. Ini karena fans mereka percaya sang pemain punya kaitan erat dengan kelompok Neo-Nazi yang berkembang di Ukraina sejak 2014. sebagai respons atas munculnya gerakan separatis yang disokong Rusia.
3. Bukti kalau sepak bola tidak selamanya soal uang dan komersialisasi

Beberapa klub dan suporter sayap kirinya tadi seolah melawan hukum alam yang memasangkan sepak bola dengan kapitalisme dan eksklusivitas identitas. Peter Kennedy, dalam tulisannya, "Left Wing Supporter Movements and the Political Economy of Football" di jurnal Soccer and Society menyatakan, gerakan sayap kiri dalam sepak bola membuktikan kalau sepak bola tidak selamanya soal komersialisasi, komodifikasi, dan konsumerisme. Sebaliknya, contoh-contoh di atas adalah cerminan dari kekuatan sebuah komunitas dalam mengontrol laju kapitalisasi.
Meski tak bisa dimungkiri kalau pemain tetap mengalami alienasi dan eksploitasi atas tubuhnya demi sebuah gelar serta status, dan penggemar masih jadi target kapitalis yang hendak mengambil profit, gerakan sayap kiri memastikan semua masih di bawah kendali dan kesadaran pihak yang terlibat. Nilai-nilai kiri dalam sepak bola juga memastikan klub mengambil keputusan-keputusan dengan asas keberlanjutan. Itu yang kemudian menjelaskan keberadaan klub-klub kecil bahkan lemah secara prestasi, tetapi tak kehabisan penggemar setia.
Dikenal karena kumpulan fans fanatik yang cenderung agresif dan ultranasionalis, bahkan jadi kepanjangan tangan penguasa dan pemilik modal, ternyata sepak bola bisa jadi medium gerakan akar rumput alternatif seperti sosialisme. Sepak bola dan ideologi sayap kiri memang bukan pasangan yang diduga orang bakal langgeng, tetapi beberapa kasus di atas jadi buktinya.