Mengenang Magis Claudio Ranieri Melalui Potongan Pizza

Salah satu cerita terbesar sepanjang penyelenggaraan Premier League ialah keberhasilan Leicester City meraih gelar juara musim 2015/2016. Di tengah ketatnya persaingan tim big six, Leicester tiba-tiba muncul membawa kejutan.
Di balik kombinasi pemain yang luar biasa, tersimpan seorang maestro yang mengatur taktik dari keberhasilan tersebut. Dia adalah pelatih berkebangsaan Italia yang bernama Claudio Ranieri, otak di balik semuanya.
Sebuah cerita menarik kala Ranieri selalu memotivasi para pemainnya melalui sebuah pizza yang ditawarkan setiap akhir pertandingan. Bagaimana kisahnya? Simak kisahnya berikut ini, check this out!
1. Leicester City sebelum 2015

Penahbisan Leicester City sebagai juara Premier League musim 2015/2016 adalah sebuah dongeng besar yang sulit dipercaya layaknya dongeng Cinderella. Pasalnya, tidak banyak yang mengenal mereka sebelumnya.
Leicester yang dulu hanya dianggap sebagai tim medioker lebih sering berkutat di papan bawah klasemen ataupun Divisi Championship. Anggapan tersebut bisa dikatakan sepenuhnya benar karena sebelum mereka memenangkan gelar juara Premier League musim 2015/2016, prestasi terbesar mereka hanya mentok di Piala Liga. Itu pun terjadi 15 tahun sebelum mereka juara di musim tersebut.
2. Dua musim sebelum merajai Premier League

Keperkasaan mereka di musim 2015/2016 seperti sebuah keajaiban dan juga kebetulan yang terus berlanjut. Mungkin tidak ada yang menyangka nama-nama yang asing kala itu, seperti Wes Morgan, Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N’Golo Kante, ataupun Danny Drinkwater bisa menjadi tulang punggung tim dan membawa Leicester juara Premier League.
Padahal, 2 musim sebelumnya, Leicester merupakan kontestan Divisi Championship atau kasta kedua Liga Inggris. Namun, di tahun tersebutlah mereka berhasil juara dan promosi ke Premier League. Dengan status sebagai juara Championship musim 2013/2014, mereka tidak ingin datang sebagai tim pelengkap kompetisi saja. Mereka ingin diperhitungkan sebagai kompetitor bagi tim-tim juara.
3. Hadirnya The Tinkerman

Di musim pertamanya sebagai tim promosi, penampilan Leicester City memang biasa saja layaknya sebuah tim medioker. Mereka hanya mampu finish di posisi ke-14 di klasemen akhir Premier League musim 2014/2015. Sebuah hal yang tidak mengejutkan.
Namun, di awal musim 2015/2016, manajemen Leicester melakukan sebuah perubahan dengan menunjuk Claudio Ranieri untuk menggantikan Nigel Pearson yang tidak bisa melebihi ekspektasi. Sebuah terobosan yang memang jitu mengingat pelatih berjuluk The Tinkerman ini sudah kenyang pengalaman. Juventus, Valencia, dan Chelsea adalah beberapa tim yang pernah Ranieri latih sebelumnya.
Namun, sebagai sebuah catatan, Claudio Ranieri merupakan pelatih yang hobi bergonta-ganti taktik dan sering memaksakan kondisi pemain untuk terus berlari. Tak heran jika tim yang ia latih kerap naik-turun dan pemain yang ia asuh kerap mengalami cedera.
4. Pakem formasi 4-4-2

Ranieri memang sudah lama malang melintang di sepak bola Eropa. Tak heran jika ia paham dalam memperlakukan pemain-pemainnya agar bisa klop dengan taktiknya. Kala mengarsiteki Leicester, Ranieri menggunakan pakem formasi klasik, yakni 4-4-2.
Dengan menyelaraskan peran setiap pemain, Ranieri berhasil menciptakan skema menyerang yang menakutkan dan lini pertahanan yang kokoh melalui formasi tersebut. Terbukti dengan kompaknya N'Golo Kante dan Danny Drinkwater di lini tengah, lincahnya Riyad Mahrez di lini sayap, dan tajamnya seorang Jamie Vardy di lini serang. Leicester sangat ditakuti pada musim tersebut.
5. Magis dari sepotong pizza

Selain taktiknya yang jitu, Ranieri juga berhasil memotivasi para pemainnya dengan sebuah cara yang unik. Salah satu cara yang ia lakukan ialah melalui sebuah pizza. Ranieri berjanji akan mentraktir pizza untuk para pemain Leicester bila Leicester meraih clean sheet dalam sebuah pertandingan. Sebenarnya, apa yang dilakukan Ranieri pada Leicester ini adalah sebuah bukti kejeniusan dalam mengelola sebuah tim dan menjadikannya lebih menyenangkan.
Dengan iming-iming tersebut, para pemain Leicester akhirnya termotivasi dalam menjalani setiap pertandingan. Dengan selisih 10 poin dari Arsenal yang berada di posisi kedua, Leicester akhirnya menutup musim dengan raihan trofi Premier League pertamanya sejak berdiri pada tahun 1884.
6. Akhir yang buruk bagi Ranieri

Namun, kurang dari setahun setelah membawa Leicester City juara, Ranieri harus dipecat. Alasannya masih simpang siur. Ada yang menganggap bahwa alasan dipecatnya Ranieri disebabkan performa Leicester di musim 2016/2017 yang menurun drastis dan mengancam keberadaan Leicester City di Premier League. Ada pula yang menyebutkan bahwa masalah internal dengan para pemain senior di skuad Leicester membuat dirinya harus angkat kaki dari King Power Stadium. Sebuah ironi di balik keberhasilannya.
Namun, setidaknya gelar yang didapat oleh Leicester dan Claudio Ranieri di musim 2015/2016 adalah tonggak awal perubahan cara pandang penggemar sepak bola terhadap The Foxes yang dikenal kuat seperti saat ini.
Dengan jasa besarnya, Ranieri seolah-olah memberi sebuah legacy bagi Leicester sehingga menjadi daya tarik lebih para pesepak bola dunia untuk bergabung dengan klub berlogo kepala rubah ini. Bagaimana menurutmu?