Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perubahan Iklim dan Efek Domino Masa Depan Sepak Bola

potret Piala Dunia 2022 Qatar (commons.wikimedia.org/Korea.net/Korean Culture and Information Service (Heo Manjin))
potret Piala Dunia 2022 Qatar (commons.wikimedia.org/Korea.net/Korean Culture and Information Service (Heo Manjin))
Intinya sih...
  • Perubahan iklim mengancam keberlanjutan stadion sepak bola di seluruh dunia, dengan risiko banjir, kerugian finansial, dan ancaman keselamatan penonton.
  • Peningkatan suhu global meningkatkan risiko kesehatan pemain, memerlukan pedoman mitigasi, dan telah menyebabkan kematian pemain sekolah menengah.
  • Tantangan dalam pemeliharaan lapangan sepak bola alami dan sintetis, serta emisi karbon tinggi dari perjalanan tim dan penggemar.

Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan. Dampaknya sudah nyata dan merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia sepak bola. Peningkatan suhu global, cuaca ekstrem, dan bencana alam kini turut memengaruhi jalannya pertandingan, kenyamanan penonton, hingga keberlangsungan kompetisi. Sepak bola, yang selama ini jadi pemersatu lintas negara dan budaya, kini menghadapi tantangan besar yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Di balik gemuruh stadion dan sorak-sorai pendukung, ada realitas bahwa krisis iklim telah mengganggu ekosistem olahraga ini. Mulai dari jadwal pertandingan yang kacau akibat cuaca buruk, risiko kesehatan pemain yang meningkat, hingga infrastruktur stadion yang terancam rusak. Situasi ini menjadi sinyal bahwa dunia olahraga tak bisa lagi menutup mata terhadap urgensi krisis iklim. Berikut lima dampak nyata perubahan iklim terhadap dunia sepak bola.

1. Stadion terancam banjir dan kerusakan akibat cuaca ekstrem

Perubahan iklim telah menimbulkan ancaman serius terhadap infrastruktur stadion sepak bola di seluruh dunia. Di Inggris, laporan dari Rapid Transition Alliance memperkirakan bahwa seperempat stadion di empat divisi teratas sepak bola Inggris akan mengalami banjir total atau sebagian dalam 25 tahun ke depan akibat naiknya permukaan laut dan cuaca ekstrem. Stadion-stadion seperti Craven Cottage (Fulham), Stamford Bridge (Chelsea), dan London Stadium (West Ham United) termasuk yang paling rentan karena kedekatannya dengan badan air. Kondisi ini berpotensi mengganggu jadwal pertandingan dan membahayakan keselamatan penonton dan pemain. ​

Analisis dari Climate X menunjukkan bahwa 37 stadion FIFA, termasuk 12 venue Piala Dunia 2026 di Amerika Utara dan 25 stadion terbesar di Eropa, berisiko mengalami kerugian sebesar 800 juta dolar AS atau setara Rp13 triliun akibat bahaya iklim, seperti banjir permukaan dan panas ekstrem pada 2050. Hampir 40 persen dari total kerugian ini diperkirakan akan terkonsentrasi pada tiga stadion dengan risiko tertinggi. Stadion-stadion di Florida, seperti Hard Rock Stadium di Miami, termasuk yang paling terancam karena lokasinya yang rawan terhadap kenaikan permukaan laut dan badai tropis. ​

Kasus nyata dari dampak perubahan iklim terhadap stadion sepak bola dapat dilihat pada stadion baru Everton di Bramley-Moore Dock yang mengalami banjir akibat hujan deras dan sistem drainase yang belum selesai. Dilansir TalkSport, insiden ini menimbulkan kekhawatiran tentang kesiapan infrastruktur stadion menghadapi cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Kejadian serupa juga pernah dialami oleh stadion-stadion lain di Inggris, seperti Brunton Park milik Carlisle United yang terpaksa ditutup selama tujuh minggu akibat banjir pada 2015.

2. Risiko kesehatan pemain meningkat akibat suhu ekstrem

​Peningkatan suhu global telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan performa pemain sepak bola. Paparan panas ekstrem dapat menurunkan kemampuan fisik dan kognitif atlet serta meningkatkan risiko penyakit serius seperti heat stroke. Sebuah tinjauan ilmiah berjudul "Consensus recommendations on training and competing in the heat" yang diterbitkan di National Institutes of Health menunjukkan bahwa stres panas dapat mengganggu performa aerobik, mempercepat kelelahan, dan meningkatkan tekanan kardiovaskular, terutama jika disertai dehidrasi. Kondisi ini menjadi lebih berbahaya dalam pertandingan dengan intensitas tinggi dan jadwal padat.​

FIFPRO, serikat pemain sepak bola dunia, telah mengeluarkan pedoman untuk melindungi pemain dari kondisi panas ekstrem. Mereka menekankan bahwa kombinasi suhu tinggi, kelembapan, dan paparan sinar matahari dapat menurunkan performa dan meningkatkan risiko penyakit terkait panas. Pedoman ini mencakup 11 strategi mitigasi, termasuk penyesuaian jadwal pertandingan, pemberian waktu istirahat tambahan, dan penyediaan fasilitas pendingin. Namun, implementasi pedoman ini masih bervariasi di berbagai negara dan liga.​

Kasus tragis seperti kematian Phillip "Trey" Laster, seorang pemain sepak bola sekolah menengah di Brandon High School, Mississippi, Amerika Serikat, kian mendorong penanganan isu ini. Laster, 17 tahun, meninggal dunia setelah pingsan saat latihan dalam suhu mencapai 39°C (102°F) pada Agustus 2022. Meski autopsi menyebutkan aritmia jantung sebagai penyebab kematian, keluarganya meyakini bahwa panas ekstrem dan kurangnya tindakan pencegahan juga menjadi pemicu kematian Laster.

3. Pemeliharaan lapangan sepak bola dihadapkan dengan berbagai tantangan

​Perubahan iklim telah menimbulkan tantangan dalam pemeliharaan lapangan sepak bola, baik yang alami maupun sintetis. Kondisi cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir semakin sering terjadi dan memengaruhi kualitas dan keberlanjutan lapangan. Di Inggris, survei yang dirilis oleh The Guardian terhadap lebih dari 180 klub sepak bola akar rumput menunjukkan bahwa 70 persen dari mereka khawatir tentang keberlanjutan finansial akibat meningkatnya biaya pemeliharaan dan cuaca buruk yang merusak lapangan.

Lapangan rumput alami sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kekeringan yang berkepanjangan dapat menyebabkan rumput mengering dan mati. Sementara curah hujan yang berlebihan dapat menyebabkan banjir dan kerusakan pada sistem drainase. Hal ini menuntut penggunaan air dan sumber daya tambahan untuk menjaga kualitas lapangan, yang pada gilirannya meningkatkan biaya operasional dan jejak karbon. Di Inggris, sekitar seperempat dari 92 stadion menghadapi risiko kekeringan yang cukup parah.

Sementara itu, lapangan sintetis menawarkan keunggulan dalam hal ketahanan terhadap cuaca dan intensitas penggunaan yang lebih tinggi. Namun, penggunaan infill berbasis karet daur ulang atau bahan sintetis lainnya dapat menyebabkan pelepasan mikroplastik ke lingkungan sekitarnya. Di Eropa, diperkirakan antara 18 ribu hingga 72 ribu ton granulat mikroplastik lepas dari lapangan sintetis setiap tahunnya. Penggunaan bahan infill berbasis bio, seperti serat kelapa atau gabus, dapat mengurangi dampak negatif ini.

Lapangan sintetis juga cenderung menyerap dan mempertahankan panas lebih lama dibandingkan dengan rumput alami. Ini dapat meningkatkan risiko cedera akibat suhu permukaan yang tinggi. Riset yang dilakukan oleh Kimo International menunjukkan bahwa suhu permukaan lapangan sintetis dapat mencapai 60°C pada hari yang panas dibandingkan dengan sekitar 30°C pada rumput alami. 

4. Tingginya jejak karbon dari perjalanan tim dan penggemar

Perjalanan tim dan penggemar menyumbang emisi karbon yang tinggi dalam industri sepak bola. Dilansir Earth.org, industri sepak bola global diperkirakan menghasilkan lebih dari 30 juta ton karbon dioksida setiap tahunnya atau setara dengan emisi tahunan negara seperti Denmark. Selain itu, laporan dari Scientists for Global Responsibility dan New Weather Institute mencatat bahwa jejak karbon sepak bola mencapai sekitar 64-66 juta ton CO₂e, mencakup penggunaan energi stadion, perjalanan, dan produksi merchandise.​

Salah satu penyumbang terbesar emisi ini adalah perjalanan tim dan penggemar. Misalnya, Piala Dunia 2022 di Qatar menghasilkan sekitar 3,63 juta ton CO₂e dengan 52 persen berasal dari transportasi, termasuk penerbangan internasional dan perjalanan darat. Selain itu, pembangunan dan renovasi stadion menyumbang 23 persen dari total emisi acara tersebut. Perjalanan udara para pemain dan penggemar ke berbagai pertandingan internasional menambah beban emisi yang drastis.

Selain itu, sponsorship dengan perusahaan tinggi emisi, seperti maskapai penerbangan dan produsen kendaraan, juga berkontribusi besar terhadap jejak karbon sepak bola. Contohnya adalah Emirates yang mensponsori klub seperti Arsenal dan Real Madrid, Etihad Airways yang bekerja sama dengan Manchester City, serta Qatar Airways dengan Paris Saint-Germain. Di sisi lain, produsen mobil seperti Volkswagen (sponsor Euro 2020) dan Audi (mitra Bayern Munich) juga termasuk dalam deretan sponsor utama. Laporan dari New Weather Institute menunjukkan bahwa sekitar 75 persen dari total emisi sepak bola berasal dari sponsorship dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Sponsorship ini mendukung kegiatan sepak bola serta mempromosikan gaya hidup tinggi karbon kepada penggemar di seluruh dunia. Untuk mengurangi dampak lingkungan ini, beberapa organisasi sepak bola mulai mengambil langkah-langkah berkelanjutan. UEFA telah mengalokasikan dana sebesar 7,6 juta dolar AS atau setara Rp12,8 miliar untuk mengurangi jejak karbon EURO 2024, termasuk dengan mempromosikan transportasi berkelanjutan dan efisiensi energi di stadion.

Perubahan iklim telah membawa tantangan nyata bagi dunia sepak bola, baik dari sisi operasional hingga kesehatan pemain dan pengalaman penonton. Untuk memastikan keberlanjutan olahraga ini, diperlukan langkah-langkah proaktif dari semua pihak, baik klub, pemain, penggemar, dan otoritas terkait untuk mengadaptasi dan mengurangi dampak lingkungan. Sepak bola, sebagai olahraga yang menyatukan jutaan orang, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dalam menghadapi krisis iklim global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Alvin Pratama
EditorAlvin Pratama
Follow Us