Piala Dunia 1950: Timnas AS Pernah Diperkuat Sopir & Pegawai Pos

Piala Dunia Brasil 1950 memang kaya akan cerita. Selain “Maracanazo”, ada juga tentang kemenangan mengejutkan Amerika Serikat atas tim bertabur bintang Inggris di fase grup. Sebuah kisah yang baru kembali ditelusuri oleh media-media beberapa tahun belakangan atas sebuah alasan: romantisme masa lalu.
Memulai cerita, kita harus membahas betapa sangarnya Inggris jelang pesta sepak bola akbar keempat itu. Pasca Perang Dunia II berakhir, The Three Lions memang begitu perkasa. Rekor mencatat mereka sanggup membukukan 23 kemenangan, 4 kali kalah dan 3 hasil imbang dalam seluruh laga uji coba. Julukan “Raja Eropa” pun disematkan.
Nama-nama dalam skuat pun diisi para pesepakbola yang sudah punya nama di level klub, apalagi kualitas kompetisi First Division (Cikal bakal Premier League) waktu itu sudah diakui secara luas.
Ada striker tajam Stan Mortensen (Blackpool), sayap lincah Tom Finney (Preston North End), pemain tengah serbabisa Laurie Hughes (Liverpool) hingga bek tangguh Alf Ramsey (Tottenham Hotspur).
1. Amerika Serikat bertolak ke Brasil dengan skuat berisi pemain-pemain amatir

Bagaimana dengan skuat AS? Prestasi mereka waktu itu tidak bisa dibanggakan sama sekali. Mereka kerap kalah dalam laga uji coba dengan kebobolan minimal lima gol. Pada cabang olagraga sepak bola Olimpiade 1948 (dua tahun sebelum PD Brazil), AS kembali kalah telak. Tak tanggung-tanggung, Italia yang menjadi lawan di babak gugur pertama memborong sembilan gol tanpa balas!
Melihat materi pemain The Yanks pun sama prihatinnya. Mereka terdiri dari para pemain amatir yang punya pekerjaan lain di luar sepak bola. Gelandang Walter Bahr adalah seorang guru olahraga SMA, kiper Frank Borghi adalah sopir mobil jenazah, bek Harry Keough bertugas sebagai pegawai pos.
Tiga pemain lain yakni Joe Maca, Ed McIlvenny, dan Joe Gaetjens bahkan bukan warga AS. Mereka dikumpulkan dengan tergesa-gesa dan hanya berlatih sekali sebelum bertolak ke Brasil.
Saat melihat daftar pemain AS beserta latar belakangnya, tak diragukan lagi mereka akan kembali menjadi lumbung gol. Harian The Belfast Telegram menulis “(ini adalah) sekelompok orang tanpa harapan yang dicomot dari sembarang tempat”.
Dilansir dari History.com dan Theguardian.com, surat kabar lain bahkan menyebut mereka “tim teraneh sepanjang sejarah Piala Dunia”.
2. Berhadapan dengan Inggris, "The Yanks" diperkirakan akan menjadi bulan-bulanan

Selain Inggris dan Amerika Serikat, ada juga Spanyol (yang waktu itu diperkuat penyerang haus gol milik Athletic Bilbao, Telmo Zarra) serta Chili sebagai pengisi Grup 2. Di laga pertama fase grup, AS bertemu dengan La Furia Roja.
Sempat memimpin 0-1 di babak pertama, tiga gol Spanyol di sepuluh menit akhir membuyarkan kemenangan yang sudah di depan mata. Sementara itu, Inggris menang meyakinkan 2-0 atas Chili.
Kamis sore 29 Juni 1950, AS akhirnya bertemu dengan sang favorit juara Inggris di Estadio Independencia kota Belo Horizonte. Sadar tanpa harapan jika dibandingkan materi mentereng tim lawan, Bill Jeffrey selaku pelatih timnas AS menyebut skuatnya sebagai “domba-domba yang siap dibantai”.
Surat kabar Inggris Daily Express mengulas dengan nada simpatik: “mengizinkan AS mencetak tiga gol adalah perbuatan yang adil”.
Laga dimulai. Inggris bermain menyerang seperti biasa. AS bertahan sejak menit pertama. Tendangan demi tendangan mengarah ke gawang AS seolah tanpa henti.
Namun Frank Borghi si sopir mobil jenazah bermain apik, dengan menggagalkan semua shot on target. Peluang-peluang lain mengenai mistar gawang atau bahkan melayang tinggi.
3. Momen saat Joe Gaetjens (Kanan) menyarangkan bola ke jala gawang Inggris yang dijaga Bert Williams (Kanan)

Namun hal yang kedengaran mustahil terjadi di menit ke-37. Bek Walter Bahr melakukan tembakan jarak jauh. Bola kemudian berhasil dikonversi menjadi gol melalui sundulan Joe Gaetjens, seorang mahasiswa asal Haiti yang bekerja paruh waktu sebagai pencuci piring untuk sebuah restoran di New York.
Gaetjens menaklukkan Bert Williams, kiper yang setahun sebelumnya merasakan gelar juara FA Cup bersama Wolverhampton Wanderers.
Babak pertama ditutup dengan skor 1-0 untuk keunggulan AS. Di luar dugaan, penduduk Belo Horizonte yang terkesima dengan laporan langsung pertandingan dari radio berduyun-duyun mendatangi stadion.
Mereka ingin melihat dengan mata kepala sendiri perjuangan sekumpulan permain tarkam yang berusaha menundukkan 11 pemain berkualitas dari tanah Britania.
AS mulai bermain dengan rasa percaya diri di babak kedua. Mereka bisa menciptakan beberapa peluang meski Inggris tetap menyerang total. Lagi-lagi, Borghi menunjukkan kesigapannya sebagai kiper.
Hingga 90 menit rampung, gawang AS tetap perawan. Ketika peluit panjang dibunyikan oleh wasit, tepuk tangan membahana dari 13 ribu penonton. Inggris kalah dengan memalukan.
4. Satu pahlawan kemenangan AS atas Inggris, Joe Gaetjens, diarak keliling lapangan oleh para penonton saat laga usai

Ratusan penonton menghambur ke lapangan kemudian mengarak dua bintang pada laga itu, Frank Borghi dan Joe Gaetjens, keliling lapangan. Suporter The Three Lions yang hadir di stadion tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Hasil ini pun amat mengejutkan media massa di Inggris. Atau lebih tepatnya, tidak percaya.
Ketika menerima kabar kekalahan timnasnya dari AS lewat telegram, beberapa editor di London bahkan ragu dan berasumsi ada salah pengetikan. Mereka yakin skor sebenarnya adalah 10-0 atau 11-0.
Namun belakangan, British Newspaper Archive membuktikan bahwa mitos “10-0/11-0” itu tak pernah terjadi.
Bagaimana dengan respon pers di Amerika Serikat sendiri? Hanya ada satu surat kabar yang memberitakan kemenangan sensasional tersebut yaitu St Louis Post-Dispatch. Wartawan mereka, Dent McSkimming, adalah satu-satunya dari AS.
Dent berangkat ke Brazil dengan biaya sendiri sebab tak mampu meyakinkan editornya bahwa Piala Dunia adalah ajang penting yang harus diliput.
Pamor olahraga sepak bola di tanah AS waktu itu memang kalah dibandingkan American football dan baseball. Soccer (Istilah Amerika untuk sepak bola) baru mencuat pada 1980-an. Terlebih perhatian seluruh surat kabar waktu itu tersedot dengan kabar pengumuman Presiden Harry S Truman, yang menyatakan campur tangan AS dalam Perang Korea.
5. Sempat terlupakan, kenangan akan kejutan AS di Piala Dunia 1950 kembali mengemuka pada era 90-an

Di partai fase grup terakhir, AS ditundukkan 3-5 oleh Chili sekaligus mengakhiri dongeng mereka di tanah Brasil. Nasib Inggris bahkan lebih tragis, mereka kalah 0-1 dari Spanyol dalam laga yang harus mereka menangkan.
Taring Tiga Singa tercerabut tanpa ampun, Raja Eropa pulang dari Brazil dengan rasa malu. Beberapa pemainnya bahkan memutuskan berhenti membela Inggris.
Ketika timnas AS pulang ke negaranya, tidak ada sambutan istimewa yang diterima. Saat diwawancarai oleh New York Times tahun 2009 lalu, Walter Bahr mengatakan bahwa satu-satunya yang menyambut di bandara adalah sang istri.
New York Times sendiri mengaku sempat berasumsi bahwa kabar kemenangan AS atas Inggris waktu itu adalah palsu.
Dari tiga pemain “dadakan”, hanya Joe Maca yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat. Ed McIlvenny kembali ke Inggris dan bermain untuk Manchester United. Riwayat sang pencetak gol kemenangan Joe Gaetjens berakhir menyedihkan.
Berdasarkan penelusuran ESPN, Gaetjens yang kembali ke Haiti menghilang setelah ditangkap oleh rezim diktator Francois Duvalier di tahun 1957. Dia pun diasumsikan tewas dalam penahanan.
Sempat dilupakan beberapa tahun, cerita heroik AS di Piala Dunia 1950 baru menjadi buah bibir setelah buku “The Game of their Lives” yang ditulis seorang jurnalis-profesor bernama Geoffrey Douglas terbit pada 1996.
Kisah kemenangan dramatis mereka pun difilmkan dengan judul "Miracle Match" di tahun 2005 lalu.
















