Kebijakan kekanak-kanakan ini tidak hanya merusak citra Real Madrid, tetapi juga merugikan pemain. Nama-nama besar, seperti Jude Bellingham, Kylian Mbappe, hingga Thibaut Courtois, kehilangan panggung global ketika klub menolak mengirim delegasinya. Padahal, sekadar nominasi sudah memberi dampak komersial dan kebanggaan personal yang sangat penting bagi karier seorang pemain.
Kekecewaan itu juga dirasakan sponsor. Nike, misalnya, sudah menyiapkan sepatu edisi khusus dan acara perayaan untuk Vinicius Junior jika menang, tetapi semua itu dibatalkan karena Madrid memilih mundur. Alih-alih mengubah luka menjadi motivasi, Los Blancos justru memperdalam kesan: mereka tidak bisa menerima kenyataan. Ini tentu meninggalkan rasa pahit, baik bagi pemain maupun pihak-pihak yang telah berinvestasi dalam kesuksesan mereka.
Rival abadi Real Madrid, Barcelona, justru mengambil kesempatan untuk tampil elegan. Mereka hadir di gala, berterima kasih kepada penyelenggara Ballon d’Or meski tak menang, hingga Lamine Yamal yang turut memberi ucapan selamat kepada Ousmane Dembele. Kontras inilah yang makin menegaskan Real Madrid mungkin tetap akan mengoleksi trofi kejuaraan, tetapi tertinggal dalam hal martabat dan sportivitas. Dunia sepak bola bukan hanya menilai hasil, melainkan juga cara sebuah klub menghadapi kemenangan maupun kekalahan.
Boikot karena luka ego membuat Real Madrid tampak kerdil di panggung sebesar Ballon d’Or, apalagi dengan politik melawan dunia yang terus dipelihara Florentino Perez. Pertanyaannya, sampai kapan Los Blancos akan mempertahankan sikap seperti ini? Hanya mereka yang tahu.