5 Alasan Indonesia Belum Siap Menggelar Pemilu Sistem E-Voting

Pemilu di Indonesia diadakan setiap lima tahun sekali. Dari dulu sampai sekarang, sistem pemilu di Indonesia selalu menggunakan metode konvensiinal. Padahal, teknologi zaman sekarang sudah terbilang canggih. Lalu, kenapa pemilu di Indonesia belum menggunakan sistem online atau e-voting?
Sebenarnya, sistem pemilu menggunakan e-voting sudah bisa dilakukan, namun ini terlalu beresiko dan Indonesia belum siap untuk melakukannya. Bahkan, pemilu di Amerika Serikat masih banyak yang menggunakan metode konvensional. Hanya beberapa negara bagian di AS yang masih menggunakan e-voting. Lantas, apa alasan Indonesia belum siap menggelar pemilu sistem e-voting? Yuk, kita bahas bersama-sama!
1. Jaringan internet dan pasokan listrik belum merata

Akses internet masih menjadi masalah di negeri ini. Sebab, infrastruktur pendukung internet masih belum merata di seluruh Indonesia. Masih banyak daerah yang belum kebagian akses internet secara layak. Ini akan menyulitkan pemilih di daerah yang akses internetnya masih minim. Hal itu ditambah dengan masih adanya daerah Indonesia yang belum dialiri listrik, terutama untuk wilayah Indonesia bagian timur. E-voting memerlukan pasokan listrik agar perangkat di TPS bisa beroperasi.
2. Masalah keamanan siber yang sangat krusial

E-voting menggunakan internet akan sangat beresiko. Sistem seperti ini akan menggunakan sebuah server yang akan menampung data pemilih dan penghitungan suara. Rekam jejak keamanan siber di Indonesia terbilang cukup mengecewakan. Kita sering mendengar adanya hacker yang meretas situs-situs dan server pemerintahan yang memuat data penduduk. Jika keamanan siber masih lemah, maka peretas akan sangat mudah menjebol keamanan untuk mengacaukan pemilu, bahkan melakukan kecurangan.
3. Ketidakpercayaan publik karena sistem tidak transparan

Dalam pemilu dengan sistem konvensional seperti sekarang, sebenarnya cukup sulit untuk melakukan kecurangan. Sebab, mulai dari pemungutan suara di TPS, sampai dengan rekapitulasi tingkat nasional, semuanya akan dikawal dan dilihat langsung oleh saksi dari masing-masing peserta pemilu. Semuanya terlihat secara fisik dan ada buktinya. Sekarang kita bandingkan dengan sistem e-voting yang serba digital dan tidak terlihat secara fisik. Ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik dan menyebabkan kecurigaan jumlah suara telah dimanipulasi.
4. Pengetahuan teknologi digital masih rendah di masyarakat

Masih banyak masyarakat yang tidak familiar dengan teknologi digital, sehingga dapat kesulitan menggunakan sistem e-voting. Sosialisasi tentang sistem e-voting juga harus gencar dilakukan, sehingga lebih banyak masyarakat yang mengetahui tentang sistem ini. Selain itu, mungkin akan sulit untuk meyakinkan masyarakat kalau sistem seperti ini bisa bersih dari kecurangan.
5. Biaya sangat tinggi dan menguras APBN

Meskipun terdengar simpel dan tidak ada bedanya dengan sistem polling biasa di media sosial. Namun, budget untuk melaksanakan pemilu e-voting sebenarnya bisa sangat tinggi. Biaya dibutuhkan untuk membangun infrastruktur internet, memperkuat keamanan siber, dan pengadaan perangkat yang tidak murah. Ini akan menguras keuangan negara. Belum lagi, harus ada rancangan UU yang akan memicu kontroversi dan pro kontra di kalangan masyarakat.
Kesimpulannya, ada alasan Indonesia belum siap menggelar pemilu sistem e-voting karena dinilai terlalu berisiko. Bahkan, mungkin tidak akan pernah bisa dilakukan karena ketidakpercayaan publik, serta rawan dimanipulasi. Sejumlah negara maju juga masih menggunakan pemilu konvensional karena dianggap lebih mudah dan transparan. Akan tetapi, teknologi digital zaman sekarang masih bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti basis data informasi digital para peserta pemilu, memantau hasil penghitungan suara via website KPU, hingga mengecek DPT. Kalau menurutmu, bagaimana?