Apakah Data Analysis dan Cognitive Science Berhubungan?

- Ilmu kognitif adalah bidang yang mempelajari kecerdasan manusia dan memiliki keterkaitan dengan analisis data.
- Analisis data merupakan ekstensi dari proses mental manusia, seperti sensemaking, dan menggunakan schemas atau model mental untuk mengolah informasi.
- Analisis data memerlukan bantuan alat eksternal untuk mengurangi bias kognitif, serta memerlukan tahap pra-pemrosesan yang mirip dengan cara otak manusia menyaring informasi sensorik.
Akhir-akhir ini, ilmu kognitif (cognitive science) menjadi topik yang hangat dibicarakan karena merupakan salah satu keahlian yang dimiliki oleh Wakil Menteri Dikti Saintek (Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu Profesor Stella Christie. Prof. Stella Christie sendiri adalah seorang profesor di Tsinghua University, China. Menurut Britannica, ilmu kognitif adalah bidang yang mempelajari kecerdasan manusia yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu (interdisipliner), seperti psikologi, linguistik, filsafat, ilmu komputer, kecerdasan buatan, ilmu saraf, dan antropologi. Istilah "kognitif" mencakup berbagai aspek berpikir, termasuk persepsi, pemecahan masalah, pembelajaran, pengambilan keputusan, penggunaan bahasa, serta pengalaman emosional.
Jika dikaitkan dengan proses analisis data, ilmu kognitif memiliki keterkaitan yang cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh fokus keduanya pada bagaimana data (baik data manusia maupun data digital) diolah, dianalisis, dan dimanfaatkan untuk menghasilkan keputusan yang lebih optimal. Sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan di International Statistical Review tahun 2014 mencoba mengeksplorasi hubungan antara analisis data (data analysis) dan ilmu kognitif (cognitive science). Tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang keterkaitan keduanya? Mari simak lebih jauh dalam artikel ini!
1. Data analysis dipandang sebagai proses kognitif

Grolemund dan Wickham dalam artikel ilmiah mereka yang berjudul A Cognitive Interpretation of Data Analysis (2014) menyatakan bahwa analisis data bisa dilihat sebagai ekstensi dari proses mental manusia, yaitu sensemaking. Penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memahami realitas meskipun input sensoriknya terbatas. Ilmu kognitif mengungkap bahwa otak manusia memanfaatkan schemas atau model mental untuk mengolah informasi sehingga membentuk pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia di sekitarnya. Dalam analisis data, para analis menerapkan pendekatan serupa dengan sensemaking, di mana mereka berusaha mengidentifikasi pola dan keterkaitan dalam data untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai fenomena yang diteliti.
Sebagai contoh, John Tukey dan George Box menggambarkan analisis data sebagai proses iteratif. Ini serupa dengan cara otak manusia mengolah informasi, membandingkan teori dengan data yang tersedia, mengidentifikasi ketidaksesuaian, lalu memperbarui teori atau model berdasarkan temuan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa analisis data pada dasarnya adalah upaya kognitif yang mengintegrasikan fakta dan interpretasi.
2. Peran schemes dalam data analysis

Dalam cognitive science, schemas adalah struktur mental yang membantu otak manusia mengatur dan menyimpan informasi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Otak menggunakan schemas untuk memprediksi dan menafsirkan informasi baru. Hal ini mirip dengan bagaimana seorang data analyst menggunakan model atau teori untuk memahami dataset yang kompleks.
Sebagai contoh, saat menganalisis data, seorang analis mungkin mengawalinya dengan menyodorkan hipotesa atau model awal (confirmatory data analysis). Mereka kemudian mencari data yang sesuai atau yang tidak sesuai dengan model tersebut. Jika ditemukan ketidaksesuaian, analis akan memperbarui model tersebut, mirip dengan bagaimana otak manusia memperbarui schemas berdasarkan informasi baru yang ditemukan. Proses ini membantu dalam membangun pemahaman yang lebih akurat tentang data dan fenomena yang sedang dipelajari.
3. Adanya proses sensemaking dan eksplorasi data

Sensemaking adalah proses kognitif di mana otak berusaha memahami data yang diterima dari lingkungan. Dalam data analysis, terutama exploratory data analysis (EDA), proses ini sangat penting. Ilmuwan menyarankan bahwa proses EDA adalah tentang menjelajahi data untuk menemukan pola yang menarik tanpa hipotesis awal yang kaku. Dalam hal ini, data analyst bertindak seperti seorang sensemaker yang memulai proses dengan data mentah dan mencoba mencari schemas atau pola yang masuk akal dari data tersebut.
Ini mencerminkan pendekatan kognitif dalam memahami informasi yang baru dan tidak terstruktur. Ketika data analyst mengeksplorasi dataset, mereka mencari anomali atau pola tidak terduga yang bisa dianggap sebagai bentuk “insight” dalam terminologi sensemaking. Dengan cara ini, analisis data dapat dianggap sebagai upaya sistematis untuk memahami data seperti halnya otak mencoba memahami dunia melalui proses sensemaking.
4. Mengurangi bias melalui representasi eksternal

Analisis data sering kali memerlukan bantuan alat eksternal untuk mengurangi bias kognitif dan meningkatkan objektivitas. Dalam ilmu kognitif, diketahui bahwa otak manusia cenderung mengalami bias ketika menginterpretasi data yang ambigu. Sebagai ilustrasi, studi yang dilakukan Tversky & Kahneman menemukan bahwa perubahan kecil dalam penyajian informasi bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda secara signifikan.
Dalam praktik analisis data, penggunaan alat eksternal seperti perangkat lunak statistik, grafik, dan model matematis membantu mengurangi bias tersebut dengan menyediakan representasi yang lebih netral. Pendekatan berbasis data yang terukur dan analisis logis dapat mengurangi subjektivitas sehingga mampu meningkatkan keandalan hasil analisis. Oleh karena itu, integrasi alat-alat ini memperkuat proses pemahaman data secara lebih objektif dan sistematis.
5. Pentingnya pemahaman kognitif dalam pra-pemrosesan Data (data pre-processing)

Sebelum data dapat dianalisis, umumnya diperlukan tahap prapemrosesan untuk membersihkan, menyusun, dan menyiapkan data. Cognitive science memberikan wawasan tentang bagaimana proses ini mirip dengan cara otak manusia menyaring dan mengorganisir informasi sensorik sebelum membentuk pemahaman yang lebih dalam. Misalnya, otak menggunakan schemas untuk menyaring informasi yang tidak relevan dan fokus pada data yang penting. Dalam data analysis, proses ini serupa dengan bagaimana data analyst membersihkan dataset dari anomali atau outliers yang dapat mengganggu hasil analisis. Pemahaman tentang bagaimana otak menyaring informasi dapat membantu data analyst mengembangkan strategi prapemrosesan yang lebih efektif sehingga data yang digunakan dalam analisis menjadi lebih bersih dan relevan.
Hubungan antara data analysis dan cognitive science menunjukkan bahwa analisis data lebih dari sekadar penerapan metode statistik. Ini melibatkan proses kognitif kompleks. Memahami bagaimana otak manusia memproses informasi membuat para analis mampu meningkatkan kualitas analisis data mereka dan mencapai hasil yang lebih bermakna. Pemahaman ini tidak hanya membantu dalam tahap analisis, tetapi juga dalam interpretasi hasil sehingga keputusan yang diambil berdasarkan data menjadi lebih akurat dan relevan.
Dalam lingkup pemerintahan, kepakaran Prof. Stella Christie di bidang cognitive science yang sudah dijelaskan di atas tentu dapat berpotensi besar untuk diaplikasikan dalam menyusun kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy) dan berlandaskan kajian-kajian ilmiah. Apakah kamu juga tertarik menyelami lebih dalam dua bidang yang saling punya keterkaitan ini?