ilustrasi membeli HP (freepik.com/ASphotofamily)
Meski tampak sederhana, penerapan kebijakan IMEI sejatinya tidak lepas dari berbagai tantangan. Sistem pemblokiran perangkat memerlukan koordinasi teknis lintas lembaga seperti Polri, operator seluler, hingga asosiasi yang menaungi transaksi jual-beli perangkat. Di sisi lain, infrastruktur digital yang menopang sistem blokir dan aktivasi ulang harus berfungsi agar tidak ada celah ketika perangkat berpindah jaringan atau dijual ke wilayah lain. Tanpa integrasi yang kuat, potensi penyalahgunaan tetap terbuka lebar. Misalnya, pelaku menghindari pemblokiran dengan berpindah ke operator lain.
Selain kesiapan teknis, partisipasi masyarakat juga memegang peran penting. Pengguna perlu memahami pentingnya melaporkan HP yang hilang dan bersikap kooperatif dalam proses pendaftaran ulang bila dibutuhkan. Jika tingkat partisipasi rendah, efek jera bagi pencuri tidak akan maksimal. Bahkan, ada risiko munculnya praktik calo atau pungutan liar bila prosedur administratif tidak diatur dengan jelas.
Masalah lain yang harus diantisipasi adalah rendahnya pemahaman publik mengenai fungsi IMEI itu sendiri. Banyak pengguna yang belum mengetahui bahwa IMEI bisa menjadi alat perlindungan perangkat pribadi. Karena itu, edukasi publik menjadi prioritas agar kebijakan ini tidak disalahartikan sebagai aturan birokratis baru. Pemerintah perlu memastikan sosialisasi berjalan efektif seperti menjelaskan bahwa layanan ini bersifat mandiri, mudah diakses, dan opsional. Dengan demikian, manfaatnya dapat benar-benar dirasakan tanpa menimbulkan kebingungan atau kekhawatiran di masyarakat.
Jika dijalankan dengan tepat, kebijakan daftar ulang dan pemblokiran IMEI dapat menjadi langkah maju dalam memperkuat keamanan digital Indonesia. Sistem ini memungkinkan HP curian kehilangan nilai jual, mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan, dan memberikan rasa aman bagi pengguna perangkat resmi karena data serta garansi tetap terjamin. Tujuan akhirnya bukan menambah beban administratif, melainkan menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat.
Namun, keberhasilan kebijakan ini tetap bergantung pada kejelasan komunikasi dan kesiapan sistem di lapangan. Jika publik salah memahami wacana ini sebagai balik nama HP, resistensi sosial bisa muncul. Karena itu, Kemkomdigi menegaskan kembali bahwa pendekatan yang ditempuh bersifat sukarela dan terbuka terhadap masukan masyarakat. Alih-alih membebani pengguna, kebijakan ini justru diharapkan membuat pencuri benar-benar gigit jari karena HP hasil curian tak lagi bernilai cuan. Bagaimana menurutmu? Apakah sistem ini layak diterapkan atau justru berpotensi menambah beban bagi masyarakat?